Foto Usato (berarti saudara dalam term Bintauna) Fahmi Karim |
Kelas sosial yang payah seperti
kita ini, saya dan Panji, tidak berolahraga dengan gaya leisure class. Kita hanya bisa mengakses olahraga yang seadanya;
memperolehnya tidak mahal, ruang untuk bermain pun tidak butuh uang banyak.
Kita bermain bulu tangkis. Olahraga ini tidak lebih murah dari sepak bola;
suatu olahraga lintas kelas. Atau olahraga lari. Hanya butuh sepatu. Lagian,
olahraga apa yang tidak butuh uang? Jika baku hantam masuk, ada juga biaya
pengobatannya, sekedar beli minyak tawon.
Setelah selesai bermain bulu
tangkis (kira-kira saat sholawat tahrim
dari pengeras suara masjid telah berbunyi), sekedar menghabiskan keringat, saya
mengajukan beberapa pertanyaan kepada Panji – berhubung dia adalah pengelola
satu blok tulisan yang sering nongol
di recent updates WhatsApp saya, Teras Inomasa.
Bau namanya bau daerah.
Apa yang kalian tuliskan di blog
itu? Pokok temanya apa?
“Soal-soal kedaerahan,” Panji
menjawab dengan hati-hati. Pikirnya seperti pertanyaan Sokrates.
Saya tidak perlu mempersulit
percakapan, sekedar bertanya apa yang dimaksud “kedaerahan” dengan “ke” dan “an”-nya.
Kategori apa yang membuat sesuatu itu identik dengan ke-daerah-an. Perdebatan
ini di Abad Pertengahan disebut sebagai universalia
dan partikularia, dimulai dari
problem filsafat Plato dan Aristoteles.
Tidak! Keringat belum kering.
Pikiran saya langsung tertuju
pada “paguyuban”; suatu entitas yang disyaratkan oleh entitas lain. Adanya paguyuban
dikarenakan adanya suatu daerah yang dirujuk: hukum persebaban di alam semesta.
Tapi apakah iya bahwa paguyuban itu syaratnya adalah adanya daerah? Sebelum itu,
apakah Indonesia adalah paguyuban?
Mengutip KBBI, paguyuban adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan,
didirikan orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan
(kerukunan) di antara para anggotanya.
Menjawab pertanyaan di atas,
Indonesia mestinya adalah paguyuban. Namun bedanya dengan paguyuban sekarang Indonesia
lahir karena alasan sepaham:
pengalaman dijajah; senasib dan sepenanggungan. Dari sini entitas Indonesia
hadir; dari rasa pahit yang sama. Kondisi objektif yang sama ini membuat
semangat perlawanan mencari titik artikulasi. Titik dimana perbedaan diartikan
sebagai kesatuan. Indonesia muncul sebagai “bangsa”.
Apa itu “bangsa Indonesia”? Apakah
benar dari kesamaan kebudayaan dan tradisi? Apa yang membuat Anda, orang
Bolaang Mongondow, merasa sebangsa dengan orang Sunda? Mengapa Malaysia dan
Singapura tidak masuk bangsa Indonesia? Mengapa Aceh satu bangsa dengan Papua? Bukan
pulau tetangganya? Terus apa yang membuat Anda teriak-teriak soal “satu nusa
dan satu bangsa”?
Yang perlu dipahami, bangsa
Indonesia lahir sebagai satu imajinasi yang dibayangkan, sesuatu yang dibentuk
oleh Intelektual Hindia Belanda, terus diproduksi oleh media cetak, terus
dikhotbahkan, untuk suatu titik artikulasi, sebagai media perjuangan
kemerdekaan. Lahir dari kondisi objektif, dengan syarat materialitas kehidupan
yang sedang kacau. Lahir dari rahim kolonialisme, untuk merespon masyarakat
yang sedang berkembang, untuk menginterupsi situasi yang tidak manusiawi. Itulah
Indonesia.
Apakah paguyuban kita demikian
adanya? Bukan revolusi, setidak-tidaknya situasi dimana kita gelisah dengan Zaman Now: era informasi, era distrupsi,
pasca-industri, 4.0., pasca-fordis, kapitalisme lanjut atau neolib, terserah
apa yang Anda nyaman.
Sudah gelisahkah Anda dalam
paguyuban? Tidak sekedar “di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung.” Di
mana kita berpijak, di situ kita bergerak!
Dari situ paguyuban menjadi
penting: sejauh kita terus gelisah, sembari perlahan menambal lubang di tanah
masing-masing.
Apa benar yang Anda rasakan saat
tergabung di satu paguyuban adalah selalu dibuat gelisah dengan situasi daerah?
Atau yang paling dasar, dari lubuk hati saya yang paling dalam, seberapa jauh
kita terus mengelola titipan tradisi para leluhur yang penuh makna? Sejauh mana
kita terus memproduksi atau mereproduksi karya-karya sastra para pendahulu? Atau
adakah pegangan di tangan kita tentang materialisme historis daerah kita? –
sebelum kita beranjak ke pergolakan Zaman
Now.
Apa yang Anda dapat saat masuk
paguyuban? Jika tidak dapat apa-apa, mestinya ada apa-apa.
Yakinlah, saya tidak pesimis
ataupun sedikit sarkastis. Dulu saya punya jabatan penting di paguyuban daerah
saya, skala kecamatan. Bukan saya tinggalkan, tapi terlanjur aktif di
organisasi saya sekarang, yang nilainya sama; sama-sama untuk merespon zaman. Bedanya
di skala kota, yang lebih kompleks kekacauannya.
Saya selalu menaruh harapan pada
organisasi. Apalagi organisasi kedaerahan yang secara langsung dibuatnya kita
berpikir spesifik dengan batasan masalahnya. Tapi mari kita sama-sama
merefleksikan situasi zaman terhadap kita.
Geliat pembangunan infrastruktur
sedang mengemuka di zaman kita. Pembangunan selalu meminta wilayah yang sebelumnya
mungkin mempunyai kegunaan, baik mempunyai nilai bagi petani, ataupun wilayah
yang mempunyai nilai spiritualitas. Ada makna, ada biaya, kata Berger. Jika
terus ditarik, tema paguyuban bisa ikut masuk.
Bukan karena saya Marxis, atau
anti-pembangunan. Luruskan pikiran kita: zaman komunisme masih ada model
indomaret atau maret-maret yang lain. Masih ada bioskop, masih ada startup. Bedanya di metode pengelolaan.
Pembangunan terlebih dahulu harus
dianalisis. Dari sini kita mulai berdebat. Tidak menerima seperti buru-buru mengamini
doa imam di waktu subuh karena ingin cepat tidur lagi.
Ini satu implikasi dari imajinasi
akan kota; bahwa wilayah kota adalah satu wilayah ideal yang harus terus
diikuti model pembangunannya. Bagaimana kita maju adalah bagaimana mengikuti
pola kota; baik pembangunan maupun pola konsumsi. Imajinasi ini yang terus
menghunjam pikiran kita.
Henri Lefebvre membahas soal
imajinasi kota dan urat nadi yang bergerak di balik itu; “praktik spasial” (spatial practice), suatu produksi ruang.
Ini adalah sejenis “representasi ruang” (representation
of space). Suatu ruang yang (seolah) kita bayangkan sebagai ruang ideal. Mirip
dengan ruang yang ada di kota: estetik, efektif, efisien. Tanpa kita bertanya
kenapa bergerak di arah situ dan terus ditekan. Seolah-olah ruang ini adalah
ruang sebagaimana benar-benar kebutuhan setiap insan yang bernafas di permukaan
bumi. Padahal, baginya, ini hanyalah suatu langkah untuk mendominasi sirkuit
kapital, oleh tangan-tangan tak terlihat.
Representasi ruang hanyalah ciptaan dari kelompok dominan, tidak berangkat dari
pengalaman hidup rakyat, dari kalangan bawah.
Kita juga bisa menambal ini
dengan mengikuti logika konsumsinya Jean Baudrillard, bahwa hyperreality yang membuat kita menjadi
makhluk payah. Di balik itu ada lagi yang bekerja, dan maksud kerjanya apa.
Beberapa penelitian menganalisis
desa yang perlahan hilang dari kota. Seberapa pentingkah desa? Tentulah nilainya.
Seberapa penting nilai-nilai desa? Anda perlu tinggal lebih lama di kota,
merasakan kita yang hidup sendiri-sendiri, asing dari sesama manusia, dan
dibuat tidak berdaya dengan kebutuhannya.
Saya hanya ingin mengatakan,
penting menganalisis model pembangunan di daerah masing-masing. Belum
terlambat. Sejauh mana paguyuban berfungsi (jika rela dibilang demikian) bagi
perkembangan wilayah masing-masing. Tidak sekadar ada karena ada daerah, tapi
ada karena memang harus ada.
Kita hanya perlu peka dengan situasi.
Penting untuk menengok ke tanah.
Salam kagum saya.