Selama ini, sejarah Gorontalo diberitakan begitu luhur. Buku, jurnal, tulisan-tulisan pendek yang saya baca, hingga pembicaraan di situs-situs publik yang saya dengar bilang begitu. Apalagi jika menyangkut basis filosofis Gorontalo dari Sultan Amai (1525) hingga Popa Eyato (1673-79) yang berisi sintesa adat-syari’at-al-Quran, sayang, tidak ada yang berani bantah. Sudah. Begitu. Titik.
Tapi tahu tidak, sejarah yang demikian itu hanya ada di bagian permukaan. Jika menyelam sedikit lebih dalam, kita akan tahu bahwa Gorontalo juga menyimpan berbagai macam kronik peristiwa yang pelik. Kisah-kisah itu ditampilkan dalam laporan peninggalan kolonial Belanda tahun 1810-1865.
Laporan-laporan ini mengurai berbagai kondisi sosial, politik, agama, dan ekonomi masyarakat Gorontalo yang tidak biasanya. Beruntung, teman saya yang baik hati dan tidak sombong memberitahu dan membagikan saya laporan ini. Untuk itu, saya bersyukur sekali. Sekarang, arsip-arsip langka ini telah simpan di lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan KITLV di Jakarta
Beberapa sejarawan Gorontalo kenamaan tentu saja punya arsip ini. Sayangnya, jangankan dibagi, memperlihatkannya pun enggan. Lebih-lebih, mereka tidak menuliskan tentang itu. Implikasinya: selain tidak ada yang tahu sepenuhnya tentang Gorontalo di masa kolonial dan raja-raja, di dalam level yang lebih luas, ilmu sosial-humaniora mandeg, stagnan, dan produksi wacananya begitu-begitu saja. Sayang sekali.
Salah satu laporan itu, misalnya, bercerita tentang perbudakan. Di dalam konstruk lokal Gorontalo, budak disebut sebagai wato atau batua. Laporan tentang sistem perbudakan oni diberitakan di dalam arsip kolonial tahun 1820-1860 jilid ke-6. Menariknya, sistem perbudakan di Gorontalo di dalam arsip itu ternyata bukan cuma menjadi habitus kolonial, melainkan sudah dipraktikkan sejak lama di Gorontalo.
Ada 4 kategori budak di Gorontalo. Pertama, yakni budak pusaka, atau erfslaven. Mereka adalah golongan budak turun-temurun (hereditable). Jika bapaknya budak, anaknya budak, dst. Erfslaven juga menjadi “barang” atau properti personal para raja yang bisa diperjual-belikan, bahkan menjadi mahar dalam pernikahan di dalam komunitas pada waktu itu. Di tahun 1820, laporan Belanda menunjukkan bahwa komposisi budak pusaka ini berkisar 15% dari total populasi masyarakat Gorontalo.
Kedua, disebut sebagai ‘budak kampung’ atau mongoohule. Ketimbang ‘budak pusaka’, mongoohule ini sedikit lebih bebas dan tidak bisa diperjualbelikan. Tidak ada penjelasan detil apakah mongoohule ini merujuk kepada salah satu jenis kelamin, wabilkhusus, perempuan. Laporan kolonial tahun 1846 menunjukkan bahwa ‘budak kampung’ ini berjumlah 36% dari total populasi Gorontalo saat itu. Ketiga adalah ilapita atau budak kerajaan. Sesuai namanya, budak-budak ini ditujukan untuk mengabdi pada raja-raja. Mereka adalah abdi-dalem yang menghibahkan seluruh hidup untuk kerajaan meski boleh jadi tidak dibayar sepeserpun. Jumlah budak ini, sesuai laporan tahun 1854, sekitar 20% dari total populasi.
Sedangkan keempat, adalah koopslaven, atau ‘budak pembelian’. Berbeda dari tiga kategori lainnya, ‘budak pembelian’ ini berada di bawah kuasa kolonial dan mereka tercatat di dalam sistem pemerintahan Belanda saat itu secara legal. Bagaimana kolonial mendapatkan budak-budak ini? Di dalam laporan tersebut, mereka diperoleh saat perang, ketahuan melakukan tindakan kriminal, atau dibeli dari raja-raja setempat. Berapa lama mereka menjadi budak di bawah tangan Belanda? Selamanya. Sampai mati.
Dari laporan ini, pertama, kita bisa tahu bahwa perbudakan tidak cuman datang dari tradisi kolonial, namun juga dari orang-orang lokal dan, paling penting, ini dipraktikkan sudah sejak lama oleh raja-raja dan elit kerajaan di Gorontalo. Pada waktu itu, ada banyak sekali keluarga-keluarga dari kalangan wato yang dijual pada orang asing. Siapa penjualnya? Ya para raja-raja atau elit kerajaan. Kedua, jika presentasi data-data itu dikalkulasi, maka, peradaban Gorontalo di era kerajaan dan kolonial ini didominasi oleh para budak!
Pertanyaannya, apakah ketika Islam di Gorontalo lewat Sultan Amai hingga puncaknya di era Popa Eyato siste perbudakan ini selesai? Tidak! Islam boleh jadi datang untuk menghapus segala perbudakan, namun praktik-praktik Muslim awal di Gorontalo tentu saja tidak ingin melepaskannya. Alasannya sederhana dan pragmatis: biar ada yang melayani para elit.
Sayangnya, catatan-catatan tentang perbudakan pada abad pertengahan ini belum saya temukan. Jejaknya ada. Tapi samar-samar. Ini misalnya disentil pada salah satu sub-bab tentang perniagaan di Teluk Tomini di dalam buku Hendri Gunawan berjudul Jaringan Perdagangan Masyarakat Tionghoa Abad 20 (AB Books, 2016). Di dalam ulasan itu, Gunawan menulis sekilas tentang perdagangan budak di Gorontalo yang sudah dimulai bahkan sejak abad ke-15. Dari Gunawan ini, kita bisa tahu sedikit bahwa perbudakan di Gorontalo sudah ada sebelum kolonialisme muncul.
Di samping itu, alasan kenapa sejarah perbudakan ini tidak disentil karena isu ini juga sensitif. Sistem komunal Gorontalo itu bersifat clan-hood yang berbasis pada marga. Klan wato tidak bisa menjadi raja. Mereka yang selalu berada di bawah, diringkas, diringkus; sedang para Olongia, atau raja-raja, adalah orang-orang terpandang. Mereka memerintah dan mempunya kepemilikan hak lebih luas daripada masyarakat biasa.
Sekarang, distingsi antara Wato dan Olongia sudah cair. Ini bisa jadi karena tidak ada lagi yang tahu asal-usul klan mereka, atau barangkali hubungan keduanya juga mulai egaliter.
Namun pertanyaannya, jika kemudian hendak dipublikasikan? siapa yang bisa menerima jika leluhurnya adalah budak?
Penulis,
Arief Abas,
Orang Gorontalo, Mahasaiswa Pascasarjana CRCS UGM.
Tulisan ini telah terbit terlebih dulu di laman Facebok penulis (4/5/21).