![]() |
Sumber gambar, Mbah Google |
Untuk mengidentifikasi suatu wilayah atau etnis, jejak peradaban adalah salah satu syarat mutlak. Ia adalah penanda dari setiap apa yang dihasilkan manusia yang ada di dalamnya.
Jamak yang ditinggalkan nenek moyang. Warisan berharga yang tak dapat ditakar dengan nominal.
Sebagai wilayah bekas kerajaan, Bintauna begitu syarat akan local wisdomnya. Tak ayal, tata cara atau pola berkehidupan, pondasinya adalah dari warisan peradaban manusia Bintauna dahulu.
Relasi antara alam dan manusia menghantarkan kita menjadi manusia-manusia kreatif. Makanan, minuman, pakaian, hingga tempat berteduh adalah salah satu dari banyaknya kreasi yang dihasilkan.
Dari banyaknya peninggalan, ada satu hal yang menggoda saya, yakni Vahunda’o. Masyarakat Bintauna menyebutnya “nasi bulu”. Nasi bulu adalah makanan tradisional yang menjadi favorit masyarakat Bintauna. Karena rasanya yang gurih, dan perpaduan rempah yang pas, olahan makanan yang satu ini menjadi kenikmatan tersendiri.
Cara membuatnya terbilang cukup sulit. Sebab mesti melibatkan lebih dari satu orang. Selain itu, proses pembuatannya hingga siap disuguhkan, itu memakan waktu lama. Sistem “Tiayo (Gotong royong)” adalah kunci keberhasilan dari hidangan satu ini.
Pembuatan nasi bulu atau “Vahunda’o” ini, tidak setiap waktu. Ada waktu-waktu tertentu makanan ini untuk dihidangkan.
Mengapa?
Ini dikarenakan, bambu sebagai wadah dari makanan tradisional ini, tumbuh agak jauh dari pemukiman. Selain itu, untuk tetap menjaga agar bambu ini tidak habis. Karena jumlah jenis bambu yang dapat digunakan untuk mengolah nasi bulu sudah mulai berkurang.
Dari sisi ini, jika kita mencermati alasan di atas, maka, bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat Bintauna sangat menghargai alam. Tidak “serakah” dalam memanfaatkan. Menyimpan cadangan untuk keperluan hari esok. Sifat Qonaah (merasa cukup) sudah tertambat di hati.
Seturut dengan itu, dalam proses pembuatan nasi bulu, sikap sabar dan disiplin kita diuji.
Kedua sikap ini tercermin dari ruas bambu yang diletakan berjajar. Dengan sangat hati-hati membolak-balikkan bambu dengan waktu yang tak sedikit. Belum lagi ditambah dengan panasnya bara api. Tak boleh lengah jika ingin hasilnya matang merata. Keseriusan dan sikap tanggung jawab juga tak luput dari sini.
Satu hal yang membuat saya kagum dari penyuguhan “Vahunda’o” ini, yakni sikap berbagi. Orang yang membuat Vahunda’o” tadi, akan membagikan ke orang-orang disekitar rumah dan keluarga. Karena masyarakat Bintauna sangat tahu bahwa, makanan juga termaksud rezeki dan harus berbagi serta ada sebagian hak orang lain pada rezeki kita. Selain itu, ini juga merupakan upaya mempererat tali silaturahmi.
Salam mokusato.
Penulis:
Rian Laurestabo
PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah, Adat & Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club)
Editor:
Panji Datunsolang