Tradisi Masyarakat Muslim Bolaang Mongondow: Awal dan Akhir Ramadan

3 min read

Sumber foto dari penulis 

Bulan ramadan adalah bulan suci yang penuh berkah dan ampunan bagi umat Islam. Datangnya bulan suci ramadan selalu disambut antusias oleh seluruh masyarakat muslim di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, beragam tradisi dan adat istiadat sudah menjadi ciri khas tersendiri dalam menyambut datangnya bulan suci ramadan. Di Indonesia, tradisi yang kerap kali dilakukan menjelang dan di akhir ramadan ini bisa ditemui di beberapa daerah di Indonesia, khusunya daerah saya, Bolaang Mongondow (Bolmong).


Memasuki bulan suci ramadan, suasana sering disajikan dengan suka cita serta tradisi sebagai nilai-nilai religius dalam corak keislaman yang turut mewarnai budaya serta tradisi Islam yang terbentuk di setiap daerah. Uniknya, setiap daerah memiliki tradisi dan khasnya masing-masing. Daerah saya contohnya, ada beberapa tradisi yang sampai sekarang masih terawat jelas sebagai tradisi Islam Nusantara.


Pertama: tradisi mandi safar, diakukan sehari sebelum memasuki bulan suci ramadan. Mandi safar adalah kegiatan yang sudah dilakukan sejak zaman dulu. Tradisi tahunan ini dilakukan oleh ratusan orang yang datang beramai-ramai, biasanya bersama keluarga atau kerabat dekat, menuju ke tempat pemandian; di pantai atau di sungai. Mandi di sini dilakukan secara “berjamaah”. Tradisi ini dilakukan dengan maksud spiritual: untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.


Banyak yang berpendapat bahwa mandi safar bertujuan untuk membersihkan serta mensucikan diri baik secara lahir maupun batin dalam menyambut datangnya bulan suci ramadan. Hingga sampai saat ini, kegiatan mandi safar masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat Bolmong.


Kedua: tradisi doa harwah (doa arwah). Tradisi doa harwah adalah tradisi di mana selain memanjatkan doa jelang memasuki bulan ramadan (semacam doa agar menjalankan ibadah puasa dengan sehat-sehat), tradisi ini bertujuan untuk mendoakan orang-orang terdahulu yang sudah wafat (arwah), dengan disertakan pembacaan zikir dan tahlilan dalam pelaksanaanya. 


Selain itu, dalam menyambut bulan yang penuh kemuliaan dan ampunan ini, masyarakat biasanya melakukan ziarah kubur dengan mengunjungi makam saudara atau kerabat, lalu mendoakannya. Aktivitas ini sebagai pengingat bagi kita, bahwa kelak kita juga akan menempati tempat yang sama. Tempat terakhir sesudah kematian: sebagai ruang refleksi dan introspeksi.


Ketiga: tradisi monunjulo lambu yang artinya “pasang lampu”, atau “malam pasang lampu” – di bagian daerah Bolmong yang lain sering juga disebut monuntul. Arti dan tujuan serta praktek tetap sama. 


Perlu diketahui bahwa tradisi ini tidak jauh berbeda dengan salah satu tradisi yang ada di daerah Gorontalo, yaitu dengan istilah tumbilotohe, yang kalau diartikan tumbilo artinya “pasang”, dan tohe artinya “lampu”. Pemaknaan dan prakteknya tetap sama seperti di daerah Bolmong. 


Praktek ini, monunjulo lambu, monuntul, atau tumbilotohe, dilakukan pada malam ke dua puluh tujuh bulan suci ramadan (tiga malam terakhir ramadan), yaitu dengan memasang lampu di depan rumah. Bukan sembarang lampu, lampu ini dibuat dari botol kaca kecil lalu ditaruh sumbu kain dengan bahan bakar minyak tanah (sekarang bisa menggunakan solar atau minyak kelapa). Uniknya, lampu rakitan ini jumlahnya disesuaikan dengan jumlah penghuni dalam rumah. Lampu dipasang setelah berbuka puasa. Pemasangannya pun harus dengan melafazkan surah Al-Qadr.


Tradisi “malam pasang lampu” ini tidak hanya di depan rumah, namun dibuat dengan kreatif, ditaruh berjejeran sepanjang jalan. Ada juga yang membuat lampu botol ini dengan berbagai variasi: berbentuk lafaz Allah, Muhammad, dan ada juga yang berbentuk Ka’bah, kaligrafi, masjid atau simbol-simbol Islam lainnya. Tradisi ini pun telah turun termurun dilakukan sampai sekarang.


Menurut sejarah yang saya telusuri secara singkat, tradisi “malam pasang lampu” ini berhubungan dengan waktu lampau, yaitu ketika tidak adanya listrik. Jadi, dahulu, di akhir ramadan orang-orang keluar rumah untuk membayar zakat atau bersedekah dengan membawa obor. Karena di jalanan gelap maka kakek-nenek kita secara bersamaan mulai berpikir untuk menerangi jalan secara bersama-sama. 


Namun, “malam pasang lampu” tidak hanya berkaitan dengan gelapnya malam, tapi berhubungan dengan keistimewaan malam ke dua puluh tujuh bulan ramadan, yaitu malam lailatul qadar – dalam cerita-cerita rakyat tradisi “malam pasang lampu” dipercaya untuk memberikan penerangan di depan rumah karena pada malam itu malaikat akan turun ke bumi.


Di kampung saya, Saleo, tradisi “pasang lampu” tidak hanya menggunakan lampu botol kaca, tapi ada juga memakai botol lampu dari tumbler berwarna-warni, sehinggah semakin menambah daya tarik dari tradisi monunjulo lambu sebagai penambah keindahan serta kesan tersendiri di malam-malam terakhir ramadan.


Terakhir, ketiga: pawai malam takbir. Gelar pawai malam takbir merupakan salah satu tradisi di penghujung bulan suci ramadan, tepatnya malam terakhir di bulan puasa atau malam takbir.


Kegiatan ini dimulai saat malam menjelang hari raya Idul Fitri (atau memasuki 1 Syawal). Masyarakat beramai-ramai memeriahkan takbir di masjid-masjid. Tradisi tersebut diisi dengan melantunkan takbir dan berdzikir sebagai upaya untuk menyambut hari kemenangan setelah menahan diri selama sebulan.


Dalam tradisi malam takbir di Bolmong, masyarakat hadir dan memeriahkan takbir dengan mengumandangkan takbir yang kemudian diiringi dengan suara bedug. Ada juga beberapa kampung yang melakukan takbir keliling untuk memeriahkan malam terakhir, sebagai tanda kemenangan.


Ragam tradisi di atas menunjukan bahwa dalam penyebaran Islam di Bolmong tidak terlepas dari perkawinan antaran agama, budaya, dan sosial masyarakat sehingga melahirkan berbagai ekspresi dalam beragama. Berkat nilai religius dan keunikannya tradisi-tradisi tersebut menarik dan menjadi corak tersendiri yang dimiliki oleh masyarakat Bolmong dan perlu untuk dilestarikan sebagai sesuatu kekayaan dalam beragama; sebagai suatu ciri khas keislaman dan keindonesiaan: sebagai corak Islam Nusantara.


Penulis,

Yessi Talibo

Ramadhan dan Bola Api

www.terasinomasa.club Selepas shalat tarawih saya dan kaka tertua, duduk berbincang di depan Rumah tempat di mana kami bermain dulu. Di tempat itu, yakni sebuah...
admin
2 min read

LONG-LONG : Mainan Tradisional Bulan Ramadhan yang Hilang di…

Ilustrasi, Teras Inomasa Salam sejahtera sahabat TI, dan apa kabar kalian semua, semoga semuanya senantiasa dalam kondisi sehat wal afiat, dan terus dapat melakukan...
admin
3 min read

Sawer, dan Sekelumit Mengapa

Sumber gambar, pinterest Di situasi tertentu, sawer itu amat diharapkan. Dalam pertunjukkan seni, para penyanyi dangdut, dalang topeng, berokan, atau sinden, sangat senang disawer....
admin
2 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *