![]() |
Cover Film, Sumber : Wikipedia |
The Act of Killing adalah film dokumenter karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer. Dokumenter ini menyorot bagaimana pelaku pembunuhan anti-PKI yang terjadi pada tahun 1965–1966 memproyeksikan dirinya ke dalam sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik.
Film ini adalah hasil kerja sama Denmark-Britania Raya-Norwegia yang dipersembahkan oleh Final Cut for Real di Denmark, diproduseri Signe Byrge Sorensen, diko-sutradarai Anonim dan Christine Cynn, dan diproduseri eksekutif oleh Werner Herzog, Errol Morris, Joram ten Brink, dan Andre Singer. Ini adalah proyek Docwest dari Universitas Westminster.
Film ini memperoleh berbagai penghargaan, diantaranya Film Dokumenter Terbaik pada British Academy Film and Television Arts Awards 2013 dan nominasi Film Dokumenter Terbaik pada Academy Awards ke-86.
Pemerintah Indonesia pun menanggapi negatif film tersebut. Juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri, Teuku Faizasyah, mengklaim bahwa film tersebut menyesatkan sehubungan dengan penggambaran Indonesia. (Wikipedia)
Ulasan Film
Film dibuka dengan pemandangan kota Medan. Nampak suasana sebuah sudut jalan raya. Di beberapa adegan, kamera diam tak bergerak, seperti seseorang yang diam terpaku menatap jalan yang di dalamnya ada kehidupan yang bergerak. Pemandangan berganti dengan sebuah papan reklame besar. Di sini juga diam, kamera tak menoleh ke mana pun, kecuali ke satu arah. Adegan ini seperti mengajak saya membayangkan, seperti apa tempat ini di masa lalu.
Flm ini berkisah mengenai pengakuan beberapa orang yang telah menjadi eksekutor untuk menghabisi orang-orang yang disebut PKI di tahun 1965-1966. Para eksekutor itu hingga sekarang masih hidup, sehat dan bugar serta hidup sejahtera.
Film ini tidak beredar secara bebas, untuk keselamatan para pembuatnya. Pemutarannya diatur oleh para pembuat film ini yang kebanyakan nama mereka ditulis sebagai anonymous dalam credit titlenya, kecuali produser dan sutradaranya yang ditulis sebagaimana adanya, Joshua Oppenheimer. Setelah pemutaran perdananya di Canada pada bulan Oktober tahun 2012, film ini memang menghasilkan kontroversi dan bahkan membuat beberapa orang menjadi terganggu, terutama yang menjadi pelaku dan juga sederetan master mind dari peristiwa pembantaian PKI di masa itu. Film ini hingga kini terus diputar di kalangan terbatas untuk menghasilkan wacana yang semakin luas terutama di Internet dan social media. Para pembuatnya berharap suatu waktu film ini diharapkan menjadi film yang “bebas” diputar di mana saja.
Anwar Congo, sebagaimana pengakuannya sendiri di dalam film ini, dan beberapa kawannya dulu saat muda, mungkin di awal umur 20-an, bekerja sebagai calo karcis bioskop di kota Medan. Anwar sangat menggemari film-film Holywood, seperti jenis coboy dan mafia. Kegemarannya itu masih tampak di umurnya sekarang yang saya perkirakan di atas 70 tahunan, karena Anwar gemar menggunakan western suit lengkap dan sepatu kulit mengkilap serta topi ala mafia Amerika di tahun 30 hingga 60-an. Anwar bahkan masih lincah menarikan tarian Cha-cha-cha. Saat menjadi calo karcis bioskop itu Anwar muda sangat diuntungkan dengan film Amerika. Namun ketika PKI semakin berkuasa dan semakin menempati berbagai posisi strategis di pemerintahan Sukarno, film Holywood kemudian dilarang diputar. Padahal film itu yang paling laris ditonton dan membuat kantong Anwar dan kawan-kawan menjadi selalu tebal. Itulah yang membuat Anwar dan kawan-kawan termotivasi menerima pekerjaan untuk menghabisi orang-orang PKI dan Cina setelah peristiwa G30 S PKI terjadi. Dalam film ini tidak digambarkan dengan tegas siapa yang memberi order atau pekerjaan itu kepada Anwar dan kawan-kawan.
Joshua mungkin harus disebut hebat, karena ia mampu menggiring Anwar dan kawan-kawan untuk berkisah mengenai apa yang dilakukannya pada orang-orang PKI dan Cina di masa lalunya. Kisah mengerikan itu termasuk bagaimana ia menggunakan cara yang menurut Anwar lebih “manusiawi” dalam menghabisi orang-orang yang disebut penghianat oleh Anwar dan kawan-kawan, yaitu dengan kawat sebagaimana ia saksikan di dalam beberapa film Holywood kegemarannya. Joshua bahkan mampu merekam sedikit kisah tentang Pemuda Pancasila di Medan sejak masa PKI itu dan sekarang. Bahkan hubungan Anwar dengan beberapa pejabat pemerintahan di Sumatra Utara, seperti gubernur Syamsul Arifin yang pernah dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun karena menyelewengkan dana bantuan sosial.
Joshua dalam pembuatan film ini yang dimulai sejak tahun 2005 lalu itu telah menggiring Anwar dan kawan-kawan untuk mendokumentasikan kisah atau pikiran mereka tentang pembantaian itu dengan sangat polos. Padahal pengakuan itu bisa menjadi bumerang bagi mereka. Joshua di dalam official web-nya (http://theactofkilling.com) menyebut seperti di bawah ini, bahwa mereka digiring pada sebuah harapan untuk membuat sebuah film fiksi berjudul “Arsan dan Aminah” yang ditulis sendiri oleh Anwar dan kawan-kawan dan bahkan mereka membintanginya sendiri film itu yang berkisah tentang kiprah Anwar dan kawan-kawan di seputar pemberantasan PKI di tahun 1965-1966. Namun Joshua ternyata juga mendokumentasikan proses pembuatan film fiksi itu, yang di dalamnya kaya dengan pernyataan dan kisah mengerikan yang tak terbayangkan oleh kebanyakan orang:
In The Act of Killing, Anwar and his friends agree to tell us the story of the killings. But their idea of being in a movie is not to provide testimony for a documentary: they want to star in the kind of films they most love from their days scalping tickets at the cinemas. We seize this opportunity to expose how a regime that was founded on crimes against humanity, yet has never been held accountable, would project itself into history.
And so we challenge Anwar and his friends to develop fiction scenes about their experience of the killings, adapted to their favorite film genres – gangster, western, musical. They write the scripts. They play themselves. And they play their victims.
Anwar kemudian menyebut Joshua menipunya, karena ia tak pernah melihat hasil dari film fiksi yang dibintangi dan ditulisnya sendiri itu. Namun Joshua malah menghasilkan film dokumenter tentang pembuatan film fiksi itu yang diberi judul oleh Joshua: The Act of Killing yang bahkan sudah diputar di festival film internasional, di Toronto Canada pada Oktober 2012 lalu.
Ya, film ini adalah film tentang pengakuan polos beberapa orang yang telah menghabisi nyawa orang-orang PKI dan Cina di Medan di masa 1965-1966. Film yang layak tonton untuk merenungkan mengapa orang biasa begitu mudah untuk direkayasa untuk menjadi eksekutor yang “efisien”. Bagian akhir film ini menjadi menarik untuk direnungkan juga, karena ada drama perubahan watak Anwar, sang eksekutor, yang mulai merasa bersalah.
Apa yang sebenarnya terjadi di masa itu? Pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah lama bergaung, namun semakin besar bergaung setelah menonton film ini. Indonesia harus menonton film ini, karena Indonesia harus mengenali sejarah kelamnya sendiri jika ingin melangkah maju ke masa depan yang lebih baik. Ini mungkin film yang akan memicu film selanjutnya seputar pengungkapan berbagai peristiwa di tahun 1965-1966.
Ini memang film yang mendokumentasikan pengakuan para eksekutor itu. Cara mendokumentasikannya sangat cerdas. Tidak ada adegan yang sadis, tapi membayangkan apa yang terjadi di tahun 1965-1966 itu sangat mengganggu sekali. Saya menjadi mual. Para eksekutor di Medan itu kebetulan adalah satu kelompok preman (seperti yang diakui sendiri oleh Anwar dan kawan-kawan, bahwa mereka memang preman) yang kemudian direkayasa dengan sangat berhasil menjadi eksekutor yang “efisien”. Para eksekutor di Indonesia tahun 1965-1966 memang bukan hanya preman tapi ada beberapa macam kelompok masyarakat yang lain, seperti misalnya di Jawa Timur adalah para santri. Namun film ini hanya mendokumentasikan pengakuan eksekutor di Medan dan yang dilakukan oleh preman.
Film ini ditutup dengan adegan yang absurd. Anwar bersama dengan beberapa perempuan muda yang mengelilingi Anwar dan juga beberapa lelaki menari dengan tangan ke atas di sebuah tempat yang indah dan damai. Mereka nampak dalam keadaan bahagia. Di belakang mereka nampak sebuah air terjun. Angin meniup rambut dan pakaian mereka. Suasana terlihat begitu religius. Anwar menggunakan pakaian seperti kain yang diselempangkan ke tubuh secara sederhana. Begitu juga dengan pakaian beberapa perempuan muda lainnya di sekeliling Anwar. Mungkin maksud dari adegan ini adalah menggambarkan suasana di surga kelak sebagaimana yang mungkin diidamkan oleh Anwar. Kemudian salah seorang lelaki dari beberapa lelaki yang juga berpakaian sederhana itu mengalungkan sebuah medalion ke leher Anwar sambil berkata (kira-kira begini, karena saya tak ingat persisnya: “Saya berterimakasih karena anda telah membantu saya untuk cepat dan mudah berada di surga ini”. Nampaknya Anwar berimaginasi, kelak ia masuk surga dan bahkan korban-korban yang dihabisinya malah berterimakasih, karena Anwar telah memberi jalan yang mudah dan cepat bagi mereka untuk ke surga.
Aalasan Tidak Tayang di Indonesia
Alasan kenapa film ini tidak berhasil tayang di Indonesia dikarenakan film ini mengandung kekerasan dan beberapa adegan merekonstruksi adegan kekerasan dan pembunuhan di masa lampau. Hal ini jelas melanggar regulasi yang berlaku.
The Act of Killing (2012) ini tidak tayang di Indonesia, dikarenakan melanggar Pasal 9 huruf a Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019.
Dalam film ini jelas menayangkan beberapa adegan Anwar Congo yang memeragakan bagaimana dirinya melakukan eksekusi kepada tersangka.
Dan beberapa adegan lainnya yang merupakan adegan rekonstruksi pembantaian tersangka komunis pasca terjadinya tragedi G30 S PKI.
Selain itu alasan lain film ini tidak ditayangkan di Indonesia karena ketakutan pemerintah akan munculnya kembali aliran kiri di Indonesia.
Penghargaan Film
Walaupun film ini dilarang tayang di Indonesia, namun film ini banyak meraih penghargaan di luar negeri, berikut penghargaan film The Act of Killing (2012):
1. Penghargaan film dokumenter terbaik di BAFTA Award 2014
2. Penghargaan film dokumenter terbaik di Penghargaan Film Independen Gotham 2013
3. Penghargaan film dokumenter terbaik di Penghargaan Film Eropa 2013
4. Penghargaan film dokumenter terbaik di Penghargaan Robert 2013
5. Penghargaan film non-fiksi terbaik di Penghargaan National Society of Film Critics Award 2014
6. Bodil Special Award 2013
Masih banyak penghargaan lainnya yang telah film ini raih dalam tingkat internasional.
Bagaimana, tertarik untuk menonton film dokumenter The Act of Killing (2012) ini? atau mungkin kalian sudah menontonnya?
Bagaimana, tertarik untuk menonton film dokumenter The Act of Killing (2012) ini? atau mungkin kalian sudah menontonnya?***
________________
Herman Dunggio,
Penulis ini masih malu-malu untuk menceritakan dirinya. Dapat ditemui di instagram @dunggio94_