Menu

Mode Gelap
 

Esai · 3 Mei 2022 11:59 WITA ·

Tentang Maaf Lahir Batin


 Tentang Maaf Lahir Batin Perbesar

Sumber gambar mbak google 


Berapa banyak ungkapan maaf lahir batin sebelum maupun pada saat hari lebaran Idul Fitri? Tentu banyak sekali.


Coba kita ambil satu segmen saja. Misalnya, ungkapan maaf lahir batin yang muncul di media sosial kita, baik di Facebook, Instagram, Whatsapp dan Twitter, tentu dengan bentuknya yang bermacam – macam ; Ada yang berbentuk pesan status ada pula semacam komentar balasan.


Coba kita bayangkan apabila ungkapan itu adalah koin dengan harga Rp 100 saja. Jika kita kumpulkan semua ungkapan itu dari semesta dunia maya dan ditukarkan dengan permen atau keripik. Mungkin kita akan memiliki satu truk kontainer permen atau satu truk kontainer keripik.


Sayangnya, ungkapan maaf lahir batin bukanlah kepingan uang dengan harga tertentu sebagaimana bayangan di atas. Namun bukan berarti ungkapan ini tidak punya nilai sama sekali, semua tergantung perspektif kita.


Ungkapan seperti itu apabila diletakan pada konteks politik lima tahunan bisa mengandung sebuah nilai yang biasa kita sebut sebagai citra.


Barangkali kita sering melihat ucapan maaf lahir batin yang dipajang di atas spanduk calon kepala daerah. Ada harapan lewat publikasi ‘meminta maaf’ seperti itu, image/citra positif si calon bisa dikonstruksi. Dan kita semua tahu citra positif penting bagi kompetisi politik praktis kan (?) 


Seringkali kita temui di atas spanduk ucapan maaf lahir batin itu terpampang foto si calon dengan menggunakan peci/kerudung, dan dengan ekspresi wajah yang sedang senyum. Seperti tidak ada rasa bersalah sama sekali, padahal sebelumnya pernah dipanggil KPK atas dugaan korupsi. Atau nanti setelah terpilih malah korupsi.


Atau pernahkah kita sedang menuliskan ungkapan maaf lahir batin di media sosial (beranda facebook) dengan kondisi emosi yang tidak stabil. Keadaan itu membuat kita berada pada kondisi meminta maaf tapi marah – marah, seperti masih ada dendam yang disimpan dalam – dalam.


Disinilah letak obrolan kita, saya melihat ungkapan maaf lahir batin secara terpisah dan terkadang dilematis.


Maaf lahir, Batin belum (?).


Baik maaf secara lahir maupun secara batin adalah satu ungkapan tapi sesungguhnya beda makna. Maaf secara lahir itu adalah sebuah ungkapan nyata, meminjam istilah agama disebut zahir. Artinya, maaf secara lahir itu bisa di lihat penampakannya. Seperti kata – kata yang bisa kita baca, ucapan yang bisa kita dengar, jabatan tangan atau sentuhan pipi yang bisa kita rasa ketika kulit kita saling bertemu. Dan bibir ? (Ayolah, baru selesai ramadhan euyy, hehehe)


Dengan kata lain, ungkapan maaf secara lahir adalah tentang sesuatu yang nampak.


Sedangkan maaf secara batin berbeda 180 derajat terbalik dari yang di atas. Dia bukan sesuatu yang selalu bisa diungkap dengan kata-kata. Maaf secara batin melibatkan ruang terdalam dari kita manusia.


Walaupun terkadang keduanya saling mengkonfirmasi ; dimana permohonan maaf berangkat dari dalam batin dan diungkapkan melalui kata – kata. Akan tetapi ada pula yang lain, dimana ekspresi fisiknya memohon maaf namun batin menyatakan sebaliknya. Artinya secara lahiriah dia telah memohon maaf atau memaafkan namun secara batiniah sesungguhnya belum.


Dengan demikian ungkapan maaf secara batin adalah tentang sesuatu yang cenderung tidak tampak.


Antara maaf secara lahiriah (tampak) dan secara batiniah (tidak tampak) seringkali di salah posisikan. Terkadang ketika ungkapan maaf lahir batin telah terkatakan seolah hal itu telah mewakili keseluruhan batin. Padahal sering pula sebaliknya.


Dalam konteks politik elektoral seperti contoh yang saya gambarkan di atas. Meminta maaf cenderung menjadi pajangan saja. Ketika calon kepala daerah terpilih kembali melakukan korupsi. Disitulah maaf lahir batin hanya sekedar kata-kata. Ungkapan maaf lahir batin kehilangan kesungguhan.


Kita tidak perlu menangis tersedu – sedu untuk membuat orang lain ibah dan percaya bahwa kita telah sungguh – sungguh meminta maaf secara lahir batin. Sebab, mungkin yang lebih memahami diri kita sendiri adalah kita.


Tapi upaya konsistensi terhadap kata – kata atau ungkapan barangkali bisa turut membuktikan sebuah kesungguhan. Apakah itu dari batin? Kurang tau.


Semoga ungkapan maaf lahir batin benar sungguh-sungguh.



Penulis,    

Zainuddin Makasaehe Pa’i

Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kempo Mania Club: “Pergi Biaya Sendiri, Pulang Panen Medali”

6 Januari 2025 - 14:55 WITA

Kempo Bolmut Gelar Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) Kyukenshi Tingkatan Kyu VI Sabuk Putih

13 November 2024 - 13:59 WITA

Disabilitas: Pergulatan Tubuh Minoritas

6 Desember 2023 - 00:13 WITA

Saudagar dari Boeko, ‘Ajoeba Saidi’

15 November 2023 - 07:14 WITA

Demokrasi Radikal, dan Komedi Tunggal

11 Juni 2023 - 16:59 WITA

Idealisme Politik

2 Mei 2023 - 17:18 WITA

Trending di Esai