Menu

Mode Gelap
 

Sosbud · 17 Feb 2021 10:17 WITA ·

Tahlil: Ibadah dan Nilai Luhur


 Tahlil: Ibadah dan Nilai Luhur Perbesar

Sumber gambar NU Online

Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, sampai dengan haul yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha. Yang kemudian, substansinya dirubah oleh para Walisongo dengan mengisi bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga akhirnya disebut tahlilan.


Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku “Syeikh Siti Jenar” tersebut, berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang kemudian dibawa oleh para musafir yang menyebarkan Islam di Indonesia (lihat: Atlas Walisongo, Agus Sunyoto). 


Dalam tradisi Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 hari. Yang ada hanya peringatan 12 tahun sekali.


Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu temannya yang beraliran Syi’ah untuk diajak tahlil. “Lho ini tradisinya kok sama dengan NU?” Pikirnya dalam hati. Selanjutnya ia melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini. 


Para musafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan memiliki tradisi tasawuf beraliran Syi’ahlah yang mengembangkan tradisi ini. Makanya tak heran ketika Imam Khumeini meninggal, orang-orang mendoakannya dengan mengadakan tahlilan.


Islam masuk di Bintauna nanti pada 1783 di era paduka Raja Patilima Datunsolang. Akan tetapi, awal mula munculnya tahlil digelar belum dapat dilacak. Namun, ada beberapa narasumber yang mengetengahkan bahwa, kemunculan Islam di Bintauna adalah tanda tradisi ini diberlakukan.


Tahlilan di Bintauna tidak berbeda dengan cara tahlilan di daerah lainnya. Yang membedakannya ialah memasukan adat dalam pelaksanaan tradisi ini. Penanaman sistem “Tiayo” adalah pertanda yang begitu jelas. Ke-Bintauna-an sangat kental dengan sistem yang satu ini. Kedua hal tadi, disematkan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat Bintauna ketika ada orang yang meninggal dunia.


Masyarakat berbondong-bondong untuk membantu proses berjalannya fardhu kifayah sang mayit. Mulai dari berbenah, menggali kubur, memandikan, menyolatkan, hingga pada prosesi pelaksanaan tahlilan dari malam pertama sampai dengan malam ketujuh.


Dalam prosesi tersebut, pemilik hajat tidak direpotkan sama sekali. Potret gotong royong sangat kentara disini. Malam tahlilan, tua-muda bergantian membawa segala yang diperlukan. Kopi, teh, gula, hingga kue, kesemuanya dibantu oleh masyarakat sekitaran orang yang sedang berduka. Begitu pun pada awal prosesi penguburan, pemilik hajat dibantu berupa bantuan uang. Masyarakat Bintauna menyebutnya “Lorio” atau uang belasungkawa. Jadi, selama tahlilan pada malam pertama sampai dengan hari ketujuh, keluarga yang berduka sangat terbantukan.


Seturut dengan itu, ada yang menarik dari tradisi tahlilan di Bintauna. Sebelum para imam memulai prosesi tahlilan, pemangku adat sudah bersiap untuk melantunkan itum-itum atau “Motivato”. 


Dengan sangat fasih pemangku adat menjalankan perannya. Merapalkan Doa bagi sang mayit juga memohon agar keluarga diberikan ketabahan serta doa-doa baik lainnya menggunakan bahasa daerah. Kolaborasi antara agama dan budaya sangatlah kental. Tidak ada pemisahan antara keduanya. Dan, ini terpelihara sudah dari sejak lampau.



Penulis:

Rian Laurestabo

PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah, Adat & Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club)


Editor:

Panji Datunsolang

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Saudagar dari Boeko, ‘Ajoeba Saidi’

15 November 2023 - 07:14 WITA

Maluku, Jejak Kelampauan dan Kekiniannya

5 Mei 2023 - 23:04 WITA

Ramadhan dan Bola Api

27 Maret 2023 - 22:04 WITA

LONG-LONG : Mainan Tradisional Bulan Ramadhan yang Hilang di Makan Zaman

27 Maret 2023 - 06:35 WITA

Lontong Medan: Cita Rasa dan Sensasi Keberagaman

12 Maret 2023 - 12:14 WITA

Sedikit Catatan Tentang Sejarah Kerajaan Kaidipang Besar

11 Maret 2023 - 13:08 WITA

Trending di Esai