sumber mbak google |
Tidak disengaja, saya berselancar disalah satu kanal layanan penyedia film online. Dengan modal koneksi wifi, di saluran itu saya dapat memilih banyak film yang beragam untuk ditontoni secara gratis. Action, Mandarin, hingga Horor sekalipun. Pilihan saya jatuh pada film Bollywod (India). Mulanya saya hanya tertarik dengan cover film tersebut, hingga akhirnya saya melanjutkan untuk mendownload film itu setelah melihat pemeran utamanya yang terpampang dalam cover film adalah Hrithik Roshan.
Film “Super 30”, saya mengira film ini adalah adegan action ketika sepintas membaca kata super pada judul film, terlebih yang jadi tokoh utamanya adalah actor selevel Hrithik Roshan.
So, Don’t just book by cover baby. Saya ditampar keras sesaat setelah film ini mulai diputar. Super 30 adalah Kisah Nyata Kelas Anand Kumar yang Luar Biasa, satu dari sekian gambaran pendidikan yang membuat saya mengangguk-anggukan kepala. Saya mendapati film yang edukatif, sangat-sangat edukatif.
Super 30 sejatinya adalah sebuah kelas. Namun bukan kelas biasa, ruang ini telah mengubah kehidupan banyak orang. Bukan lewat kekuatan super power, tapi lewat pendidikan. Bukan kisah pahlawan melawan monster, tapi kisah inspirasi luar biasa tentang seorang guru dengan murid-muridnya.
Film ini diangkat dari kisah nyata guru dan matematikawan asal Patna, Bihar, India. Anand Kumar namanya. Sepanjang film ini diputar, karakter dan perjalanan seorang Anand membuat banyak decak kagum.
Anand adalah siswa beprestasi dibidang matematika. Anand menjuarai debat Ramunajan. Dihadapan menteri pendidikan, dia disematkan sebagai kalkulator manusia, kalkulator Patna, Bihar, India. Semua orang yang hadir bersorak. Ia memperoleh apresiasi yang tinggi dan sejumput janji-janji dari menteri pendidikan setempat. Sang Menteri sangat bangga pada Anand, dan berjanji untuk membantu Anand Kumar kapan pun dibutuhkan.
Satu dari kebiasaan Anand memupuk pengetahuan tentang kecintaanya terhadap sains dan matematika itu, membawanya seminggu sekali pergi dan menyendiri di perpustakaan Banaras Hindu University yang letaknya jauh dari Patna. Ia pergi ke perpustakaan itu untuk memecahkan salah satu rumus matematika yang akan diajukannya sebagai jurnal agar dirinya bisa terdaftar masuk di Cambridge University, Inggris.
Suatu hari, dia diusir oleh manajer perpustakaan, karena bukan siswa dari sekolah tersebut. Satu hal yang Adnan sampaikan kepada manajer perpustakaan adalah, “Setiap orang berhak atas pendidikan, Tuan.
Setelah kejadian itu, Ia melatih diri, melewati hari-hari dalam eksperimentasi. Lalu pergi ke kantor pos, ditemani ayahnya yang bekerja sebagai kepala Kantor Pos untuk mengirimkan artikel yang berisi solusi masalah matematika yang sulit yang tak seorang pun dapat memecahkan sebelumnya. Adnan berhasil, artikel atas namanya dimuat pada Jurnal Ilmiah Internasional “The Mathematical Gazette”.
Saya menyaksikan, betapa film ini juga menghadirkan kegigihan setiap orang tua untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya. Sang ayah meninggal dunia dan Anand harus menggagalkan kepergiannya ke Cambridge karena kematian ayahnya dan kondisi keuangan keluarganya. Ia pun harus tunduk dengan keadaan. Anand Kumar, seorang saintis matematik menyambung hidup dengan menjual papads (roti pipih bulat khas India).
Super 30 adalah kisah nyata, dibuka secara flashback oleh Fugga Kumar, mantan murid Anand Kumar (Hrithik Roshan) yang memperoleh penghargaan dalam bidang teknologi kedirgantaraan. Ia sekaligus berlaku sebagai narator di awal film yang menceritakan kilas balik kesuksesan gurunya, Anand Kumar, dalam mendidik 30 orang muridnya dari kalangan rendah hingga berhasil masuk Indian Institute of Technology (IIT).
Anand memperlihatkan sekeping harapan kita terhadap pendidikan. Seorang saintifik dan ahli matematika, tentu tidaklah mudah membuatnya mendapat pekerjaan dengan keuntungan yang berlimpah. Lebih dari itu, Anand ternyata memilih mendirikan pusat pelatihan, sebuah lembaga bimbingan belajar yang dikhusukan untuk anak-anak miskin.
Pusat pelatihan belajar yang di inisiasi Anand Kumar lalu di huni oleh 30 orang dari berbagai kalangan. Anak-anak yang bertaruh hidup sebagai pemulung hingga pekerja kasar buruh bangunan.
Sebuah kelas yang diatapi bekas-bekas genteng yang lubang ini menjadi ruang belajar yang menyenangkan, mudah dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Saya melotot, menyaksikan, ketika 30 murid ini membuat sebuah LCD dari alat seadanya, layar pembesar menancap ke dinding, memantulkan hasil robekan buku-buku dengan tingkat kecerahannya hamper menyerupai proyektor modern yang kita gunakan saat ini.
Di balik kondisi serba kekurangan, film ini memperlihatkan bagaimana seharusnya kreativitas itu melejit. Anand membuat 30 muridnya menyiasati kelaparan, kedinginan, dengan imajinasi liar tanpa batas.
Adegan ketika para siswa Super 30 menjalani kompetisi bersama siswa dari bimbingan belajar yang lain, menjadi salah satu bagian yang paling menarik dari film ini. Kita diperlihatkan bagaimana potret ketimpangan dalam dunia pendidikan saat ini.
Betapa kita dibuat jauh oleh jarak antara siswa miskin dan kaya. Penampilan, perlengkapan sekolah, bahkan sampai gaya bahasa. Sekali lagi, kenyataannya pendidikan selalu di benturkan dengan kondisi ekonomi. Pendidikan tak ubahnya dijadikan sebagai komoditi pasar belaka.
Kisah-kisah mengharukan datang ketika menyoroti perjuangan Anand. Ada perang batin dalam diri Anand. Ia tidak hanya diperhadapkan dengan ketimpangan pendidikan. Bahkan, Ia harus merelakan seorang kekasihnya. Seakan, pria miskin pantang untuk seorang wanita kaya
Saya suka sekali adegan ketika para siswa Super 30 pentas dalam merayakan hari Holi atau festifal warna. Melalui pertunjukan teater yang kemudian diiringi tari dan lagu, mereka mengungkapkan bahwa “Bahasa asing itu penting, tapi bukan berarti lantas harus lupa pada bahasa sendiri.
Hingga film Super 30 berakhir, sepanjang film ini diputar kita semua akan selalu menyenangi karakter Anand yang diperankan Hrithik Roshan itu. Ia membawa kita pada pemahaman dan konsep manusia yang sebenarnya. Yaitu manusia yang belajar dari sesamanya, menghargai semua orang, menjadikan alam semesta sebagai ruang belajar.
Pada akhir film itu, satu pesan yang bisa kita ambil adalah, “kita bisa saja miskin, tak punya uang, kumuh, dan lapar. namun, teruslah jadi dirimu yang kau inginkan. Jadilah sang pangeran atau orang miskin. Karena untuk menjadi raja tak harus dimulai dari menjadi pangeran”.
Penulis:
Rifki Tegila
Editor:
Panji Datunsolang