Dalam masyararakat tertindas lagi terhina, keluhuran jiwa dan kekuatan kalbu dapat menjadi pulau di negeri danau dan merusaknya adalah dona tanpa ampun. Itulah kebudayaan kita
“Sindarta Gautama”
Selama dua setengah juta tahun, berbagai spesies manusia hidup dan punah di bumi, sampai akhirnya tersisa satu, homo sapiens, manusia bijaksana, sejak ratusan ribu tahun lalu. Namun spesies ini bisa menyebar ke seluruh dunia dan beranak pinak hingga berjumlah 7 miliar, dan kini menjadi kekuatan alam yang dapat mengubah kondisi planet. Meminjam pola pemetaan Youval Harari Seorang professor sejarah menjabarkan pembabakan peradaban melalui tiga fase revolusi; Kognitif, pertanian, dan sains.
Kognitifitas manusia secara berurutan berdasarkan fase sejarah ditandai dengan kemampuan akal manusia untuk meletakan alam sebagai objek pemikiran. Akal daif manusia mulai menyanggupi untuk mempertanyakan gejala-gejala alam dan keluar dari dogma dewa-dewi. Fase ini didaulat sebagai era kosmosentris. Pada tahapan selanjutnya, akal daif manusia Kembali disandra oleh alam pikir Teosentrisme yang meletakan tuhan sebagai zat atau sumber tertinggi dalam semua ajaran moral dan etika bagi manusia. Abad pertengahan mulai menyingsing sebagai era baru dimana akal kemudian sekedar berperan sebagai pendukung paham dogmatisme. Dengan kata lain, akal turut menjadi instrument pembenaran atas kepentingan tuhan dimuka bumi. Tanggapan terhadap kondisi itu, manusia mulai tersadar Kembali dan mempertanyakan faktualitas dirinya dan dunia. Atas nama kesadaran manusia kemudian dengan segenap potensinya melakukan aotokritik terhadap dirinya dan keyakinannya.
Kritik terhadap keyakianan itu mendudukan kembali kemampuan manusiawi atas realitas semesta. Antroposentrisme sebagai angin baru terhadap gejala potensialitas manusia itu. Maka konsekuensinya adalah dengan kesadaran, manusia harus berihktiar untuk menemukan sebjek keakuannya. Fase antroposentrisme benar – benar menjadi suasangka untuk melahirkan manusia – manusia baru. Kondisi ini pernah dicatat oleh Franky Budi Hardiman bahwa sekonyong – konyongnya kota Italia di abad ke – 16 dipenuhi oleh individu – individu yang sadar bahwa dirinya adalah manusia seutuhnya. Akibatnya dengan besarnya keakuan manusia melahirkan kritik sebagai tanda kemampuan manusia itu dalam rangka menanggapi semesta dan dirinya. Kritisisme sebagai modal individu maupun manusia secara umum untuk merayakan kemajuan. Demikianlah atas nama kemajuan manusia baru yang dicita-citakan oleh antroposentrisme, menghendaki cara baru sebagai bentuk pencapaian atas kemajuan. Cara baru tersebut memuluskan manusia untuk mengekspoitasi semesta realitas dan sesamanya.
Kemajuan akal daif manusia benar – benar membuka gerbang modernitas sebagai era baru bagi segenap masyarakat manusia. Tentu modernitas merupakan bagian dari peradaban manusia yang tak bisa dihindari. Peradaban baru ini benar – benar menghendaki rasionalitas dan sains sebagai pemandu utama kemajuan manusia. Dengan mengutip Imanuel Kant: “Modernitas benar – benar melahirkan manusia dewasa semenjak abad pertengahan ditinggalkan”. Disisi lain, wilayah terjauh dari alam modernitas itu masi menghendaki bahkan memutlakkan feodalisme sebagai kebudayaan dominan. Situasi ini menurut catatan sejarah terjadi di negeri – negeri bawa angin (bangsa – bangsa timur).
Feodalisme menjadi pakem utama yang berkontribusi pada pembentukan citra peradaban negeri – negeri bawa angin. Hal ini menandaskan bahwa negeri – negeri timur secara jeniun melahirkan dan memelihara khasanahnya sendiri. Dengan demikian, kebudayaan – kebudayaan timur jauh memiliki ciri khas yang berbeda dengan baratsentris. Khasanah tersebut kemudian meberibentuk pada cara fikir manusia – manusia timur dengan kesejatiannya. Manusia timur sebenarnya adalah bentuk labelisasi dari manusia – manusia barat yang rasional modernitas. Pada tahapan ini, seolah – olah barat memiliki Hasrat untuk mengglorifikasi segenap manusia timur beserta kebudayaannya.
Barat dengan segenap kemajuannya dengan membonceng pada ideologi modernisme menghantam khasanah ketimuran dengan kekuatan kapital dan rasionalitasnya. Pada fase ini, negeri – negeri bawa angin yang kaya dengan kebudayaan dan khasanahnya, yang apa bila meminjam istilah Huntington; “menjadi tersublimasi”. Semangat modernitas pada hakikatnya menyeru manusia pada pembebasan dengan instrument akal budinya. Tetapi, buruknya negeri – negeri bangsa timur menyerap semangat modernitas bukan sebagai semangat pembebasan atas dirinya dan sesamanya. Lebih lanjut, feodalisme yang seharusnya ditinggalkan dan digantikan dengan modernisme kembali menjadi martir penindasan.
Modernitas hadir dengan agenda – agenda globalisme yang menawarkan pakem – pakem konsumtif dan hedonistic. Secara sederhana globalisme menawarkan kemudahan atas masalah – masalah yang dihadapi oleh segenap umat manusia. Gencarnya arus globalisasi yang diikuti kecanggihan teknologi pada realitasnya benar – bernar menerpa khasanah peradaban Negeri ini. Kecurigaan perlu dimunculkan! Jangan – jangan negeri ini akan dipikul ke arah gaya hidup baratsentris. Gejala ini jika ditelusuri secara factual maka benar – benar sudah menjadi cara pandang dalam laku hidup masyarakat negeri ini. sehingga peradaban yang tercipta merupakan duplikasi budaya masyarakat barat yang cenderung berjiwa konsumtif dan hedonis. Berbagai macam fenomena kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini, telah mengilustrasikan suatu keadaan yang mencerminkan layaknya kehidupan masyarakat dunia barat dan telah menggeser kedudukannya dari budaya kelokalan Indonesia telah eksis sebelumnya.
Indonesia dengan kelokalannya telah hadir sebagai dunia yang benar – benar asli berdasarkan citra manusiaya. Hal ini kerap ditinggalkan oleh generasi belakangan yang sudah terbiasa dengan pakem jejaring media yang menyediakan kemudahan – kemudahan yang instan.
Pola ini memang sengaja dilakukan oleh para penguasa media yang melahirkan dan mempopulerkan pola hidup semacam itu lewat pengaruh produknya yang notabene sebagai cerminan kebudayaan lebih modern serta digembar-gemborkan melalui jejaring medianya yang telah mereka bangun sebelumnya, hingga masyarakat khususnya generasi muda terkena dampak dan bertekuk lutut meniru secara mentah-mentah tanpa adanya koreksi diri dari produk di balik tayangan medianya dari lansiran kaum kapitalis. Industri media yang menguasai jaringan cyber digital space itu, memang telah sengaja mengobrak-abrik tatanan hidup bangsa Indonesia yang terkenal satun itu, dan telah menjadi bagian dari jatidiri bangsa Indonesia selama bangsa ini didirikan oleh para pendahulunya.
Kini diganti dengan kebudayaan life style kebarat-baratan, dangkal pemikiran, berjiwa pragmatis, instanis, konsumtif serta hedonis. Jaringan media entah dalam bentuk televise atau film yang harusnya sebagai alat pencerahan hidup masyarakat, kini telah mengambil alih posisiya, sehingga budaya luhur dan norma kesantunan yang sudah mapan warisan dari nenek moyang itu, kini keberadaanya digantikan dengan budaya baru sebagai cerminan realitas palsu yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat melalui berbagai sarana jaringan media yang ada, hingga pada akhirnya lahir peradaban baru dengan keragaman bentuk hasil replika dari kebudauaan barat di tanah Indonesia.
Catatan tersebut di atas, jika kita renungkan dengan sejenak maka sungguh pasti sebagai problem besar dalam keberlanjutan peradaban manusia Indonesia, terutama para pemudanya hari ini fenomena ini mengajarkan kita bahwa konsekuensi menerima modernitas dengan segenap kemajuannya memerlukan penguatan identitas sebagai daya tahan sekaligus sebagai benteng dari perbudakan antar sesame. Dengan kata lain menghayati budaya Indonesia yang merupakan bagian dari khasanah bangsa – bangsa timur adalah bentuk upaya dalam rangka menguatkan identitas kita.
Gorontalo, 9 Februari 2023
Penulis,
Jelantik HInur