![]() |
Ilustrasi: Google.com |
Hidup akan terasa hambar jika di dalamnya tidak terdapat seni. Peradaban akan sangat lambat jika seni tidak sama sekali ada di diri pada seseorang maupun komunitas atau kelompok.
Plato mengartikan seni sebagai suatu interaksi manusia dengan alam dan seisinya. Maksudnya, seni tidak serta merta tercipta dengan sendirinya. Relasi alam manusia mendorong adanya karya dan karsa dari seorang manusia atau kelompok untuk menghasilkan suatu keindahan dari hasil visualisasinya dengan alam sekitar. Hasil observasi panca indera terhadap alam dan seisinya inilah yang kemudian tertuang ke dalam gerak, musik, sastra, rupa, dan lain sebagainya.
Seni merupakan entitas dari sebuah komunitas. Dari seni, kita dengan mudah untuk saling kenal mengenal. Selain itu, seni juga merupakan kekayaan yang tak terhingga. Seni tari tradisional merupakan ekspresi jiwa yang sifatnya indah. Menari bukan hanya menggerakkan badan semata, beragam makna penting tersirat dalam aktivitas yang satu ini.
Selain merupakan seni gerak tubuh juga merupakan pengejawantahan dari pemahaman nilai budaya. Gerakan tari yang lemah gemulai mengajarkan seseorang untuk bersabar, bertutur lembut, dan berkonsentrasi tinggi, memadukan gerakan dengan irama.
Joke adalah salah satu seni tari yang lahir mewakili ekspresi batin masyarakat Bintauna. Gerak yang begitu estetik menggambarkan sikap masyarakat Bintauna. Tarian ini muncul pada tahun 1783 era Raja Patilima Datunsolang (Raja ke-3 Bintauna). Joke adalah gerakan spontanitas yang lahir dari ekspresi masyarakat Bintauna yang begitu bahagia menyambut kepulangan Raja Patilima. Rasa bahagia itu dituangkan lewat gemulai gerak badan laki-laki dan perempuan Bintauna. Mereka sangat berbahagia atas kepulangan Patilima yang juga membawa hadiah alat musik, payung kerajaan, keris, dan tumbak sepulangnya dari Tarnate.
Atas peristiwa ini, Raja Patilima kemudian menetapkan Joke sebagai tarian penyambutam tamu. Baik tamu besar di kerajaan itu sendiri maupun tamu besar dari luar kerajaan. Sejurus dengan itu, Joke juga diperuntukan pada saat pesta pernikahan putra-putri Raja serta keturunan-keturunan berikutnya.
Joke menyimpan filosofi dari tiap gerakannya. Gerakannya yang gemulai, menggambarkan rasa aman kepada tamu-tamu yang datang berkunjung di negri Bintauna. Masyarakat akan sangat antusias menjamu dan menjaga tamu yang datang. Sehingga tamu merasa betah dan nyaman saat berada di Bintauna.
Filosofi dari tarian Joke ini sudah mendarah daging ke dalam sikap sehari-hari masyarakat Bintauna. Pelayanan terbaik akan mereka usahakan untuk setiap tamu yang hadir. Rasa ‘malu’ yang tinggi, adalah cerminan masyarakat Bintauna. Makanya, jangan heran jika setiap tamu yang berkunjung akan dangat merasa betah, aman, dan nyaman.
Hingga sekarang, tarian Joke tetap lestari meski tidak membumi. Pergeseran zaman membuat Joke kurang diminati. Masyarakat yang bisa menarikan Joke bisa dihitung jari. Para pelaku tari hampir semuanya sudah ‘beruban’. Kaum milenial terlelap dengan budaya impor. Terhegemoni dengan kemahsyuran zaman, yang padahal, tarian Joke mestinya mereka warisi dan lestarikan.
Hal di atas mesti patut diseriusi. Semua lapisan harus terlibat aktif untuk menjaga tari Joke agar tetap membumi. Hal ini bisa dimulai dari dunia Pendidikan kita. Siswa harus dibekali pengetahuan Lokalitas, terutama Budaya. Pelajaran tari harus diajarkan kepada siswa.
Untung saja, saya bertemu dengan beberapa tokoh adat yang masih hapal betul setiap gerakan Joke dan melatih beberapa siswa untuk keberlangsungannya. Semoga saja, kolaborasi antara anak-anak milenial dan para Tetua Bintauna akan selalu terjaga. Agar tak ada keterputusan dalam silaturahmi dan khususnya wsrisan pengetahuan perihal sejarah, adat, budaya, dan seni yang ada di Bintauna.
Terlepas dari itu, pemerintah juga tak boleh mengedekapkan tangan di dada dan memangku kaki di atas kursi. Sejauh apapun ikhtiar dari anak muda untuk membumikan peradaban lokalitasnya, tapi tak ada satupun sentuhan daripada Pemerintah, sekali lagi, ini sia-sia.
Dan, yang terakhir, kesadaran tiap individu sangat diperlukan demi menjaga dan memajukan peradaban Vintauna. Tanamkan rasa cinta akan budaya kita. Bubuhkan rasa malu dalam sanubari kita. Kita sudah teramat lupa diri dengan jati diri orang Bintauna. Jika tidak, kita hanya akan menjadi “Pembual” terhadap sejarah, adat, budaya Bintauna pada generasi selanjutnya.
Penulis,
Ryan Laurestabo,
Koordinator Pusat Studi Sejarah, Adat dan Kebudayaan Bintauna-Inomasa Studi Club (PUSSAKABin-ISC)