Foto Penulis, Rifki Tegila |
Setelah melewati berbagai fase seleksi, tahap demi tahap yang dilalui, pelantikan jabatan Sekda di tandai dengan pembacaan pengumuman SK (Surat Keputusan) dan sumpah jabatan. Dengan demikian, dr. Jusnan Mokoginta MARS resmi menjadi Sekretaris Daerah definitive setelah pada Jumat 11 Maret 2022 dilantik oleh Bupati Bolmut Drs. Hi. Depri Pontoh. Yang sebelumnya Sekda Bolmut dijabat oleh pejabat Sekda kurang lebih 3 bulan oleh Racmat R. Pontoh, SH.,M.Si sejak bulan Desember 2021.
Sekretaris Daerah adalah pimpinan Sekertariat Daerah, yaitu adalah unsur pembantu pimpinan pemerintah daerah dalam hal ini berkaitan dengan system pelaksanaan birokrasi, eksekutif pemerintahan. Sekretaris daerah bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sederhananya, dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Kepala Daerah adalah Bupati dan Wakil Kepala Daerah adalah Wakil Bupati.
Dr. Jusnan sudah berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bolaang Mongondow Utara, beberapa jabatan strategis sudah pernah di embannya, termasuk sebelumnya menjabat Kepala Dinas Kesehatan Bolmut. dr. Jusnan diangkat menjadi Sekda dengan kualifikasi memenuhi persyaratan. Dr. Jusnan menjabat sebagai Sekda yang merupakan jabatan paling puncak dalam karier PNS di Daerah. Jabatan yang kemudian diatur dalam regulasi negara, yakni Peraturan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah.
Gambaran birokrasi dan pemerintahan di Bolaang Mongondow Utara teramat kaku, birokrasi yang terlihat sebagai aktifitas yang membosankan. Ketika mengingat birokrasi, hal yang akan kita temui adalah situasi dimana setiap orang pernah dijadikan seumpama bola pimpong. Kita berhadapan dengan sebuah sistem dan tata kelola, kita dihadapkan dengan sosok-sosok di balik meja yang semuanya menganggap dirinya penting dan ingin menghambat kita. Ketika kita ingin menghadap pejabat tertentu, maka siap-siap untuk menjumpai wajah birokrasi yang penuh sengkarut.
Selama ini, organisasi birokrasi kita, khususnya di kalangan masyarakat secara dipahami sebagai sebuah organisasi yang melayani masyarakat dengan stereotipe yang negatif antara lain, yaitu proses pengurusan surat atau dokumen lain yang berbelit-belit, tidak ramah, tidak transparan, mempersulit dan memperlama pelayanan, dan terkadang tidak adil. Tidak salah masyarakat menggambarkan birokrasi dengan hal-hal seperti itu karena memang pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan yang dialami secara langsung oleh masyarakat seperti itu, misalnya saat pembuatan KTP, akte kelahiran, mengurus sertifikat tanah, membuat paspor, memungut retribusi, dan sebagainya.
Dalam khasanah ilmu pengetahuan perbedaan pendapat dan pandangan sangat amat perlu dan dihargai. Demikian juga dengan perbedaan pandangan tentang birokrasi. Bagi saya, birokrasi menjadi tanah lapang yang dipenuhi ruang-ruang kosong yang arus di tempati dan dihuni oleh orang-orang yang tentu meski memiliki kompetensi dan kualitas, serta etos kerja. Sebagai satu pengaruh sosial control kita harus memandang birokrasi secara positif juga secara negatif.
Saya teringat buku yang ditulis Rina Martini dengan judul Birokrasi dan Politik (2012:11). Menurutnya birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal-rasional yang bekerja secara efisien dan efektif. Artinya adalah, birokrasi tercipta karena kebutuhan akan adanya penghubung antara negara dalam hal ini adalah pejabat pemerintah dengan masyarakat, untuk kemudian bertujuan mengejawantahkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam pandangan sederhana, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara maupun oleh rakyat. Dan birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif, korupsi, dll. Birokrasi adalah alat penindas (penghisap) bagi kaum yang lemah (miskin) dan hanya membela kepentingan orang kaya. Artinya, briokrasi hanya menguntungkan kelompok orang kaya saja.
Bagi saya, birokrasi yang ideal, konon kemudian dijadikan sebagai jargon pemerintah Bolmut “Bolmut Ideal”, seharusnya menjadi birokrasi yang berdasarkan pada sistem peraturan yang rasional, dan tidak berdasarkan pada paternalisme kekuasaan dan kharisma.
Dalam pandangan ini, saya bisa mengatakan seharusnya birokrasi di Bolmut harus dibentuk secara rasional sebagai organisasi sosial yang dapat diandalkan, terukur, dapat diprediksikan, dan efisien. Penciptaan birokrasi secara rasional ini adalah tuntutan demokratisasi yang mensyaratkan diimplementasikannya law enforcement dan legalisme formal dalam tugas-tugas penyelenggaraan pemerintah. Maksudnya adalah, birokrasi di Bolaang Mongondow Utara harus diciptakan sebagai sebuah organisasi yang terstruktur, kuat, dan memiliki sistem kerja yang terorganisir dengan baik. Termasuk adalah contoh penerapannya, seharusnya birokrasi berpengaruh baik terhadap publik dan masyarakat dengan tipe kepemimpinan yang dominan.
TATA KELOLA APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)
Seperti yang kita ketahui, dalam pelaksanaanya, sistem pemerintahan dipraktekan dalam 3 unsur kelembagaan, atau yang kita kenal dengan istilah trias politika. Yakni eksekutif adalah pemerintah sekertariat daerah, legislative adalah lembaga DPR dan DPRD, serta yudikatif adalah lembaga kehakiman dan peradilan. Tentu masing-masing lembaga tersebut dilatarbelakangi dengan fungsi dan tujuan yang berbeda. Sekertariat Daerah dibawah kepemimpinan Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Sekertaris Daerah adalah lembaga eksekutif.
Sekertaris Daerah dalam hal ini adalah jabatan struktural yang juga adalah sebagai ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) di daerah yang dibentuk dengan keputusan kepala daerah. Badan penganggaran yang membijaksanai dan mengelola APBD disetiap daerah disetiap tahunnya. Dilansir dari media online beritamanado.com, dengan APBD Bolaang Mongondow Utara tahun 2021 berkisar sebesar Rp. 716.000.000.000. Analoginya adalah anggaran yang sejumlah miliaran tersebut akan dikelola dan diperuntukan ke berbagai aspek lewat lembaga kedinasan di bawah koordinasi Sekertariat Daerah ketika disahkan dan dibahas bersama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD. Pendidikan, kesehatan, infrastuktur, pembangunan sumber daya pemuda, bantuan sosial, dan pengembangan usaha masyarakat. Serta banyak lainnya yang mesti menjadi prioritas realisasi APBD Bolaang Mongondow Utara.
Tidak bisa dipungkiri, masyarakat Bolang Mongodow Utara secara umum hari ini mengantungkan kehidupan dan aktifitas ekonomi pada APBD. Sehingga ketika APBD kemudian disalahgunakan dengan dibahasnya program prioritas realisasi APBD yang tidak tepat sasaran, maka akan sangat berpengaruh dan berimbas terhadap masyarakat.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan pengaruhnya, lembaga eksekutif yakni Sekertaris Daerah, yang juga sebagai kontrol utama realisasi APBD menempati posisi yang sangat penting dan sekaligus menjadi institusi yang paling dibutuhkan (the most important dominant institution) dalam masyarakat.
Hampir dapat dikatakan tidak mungkin proses kehidupan dan keberlangsungan masyarakat yang sejahtra dan adil berlangsung tanpa adanya intervensi peran Sekertaris Daerah. Pertumbuhan dan perputaran ekonomi, antisipasi masyarakat miskin, lapangan kerja, program pemerintah yang berhubungan dengan pendidikan, pengembangan sumber daya masyarakat lewat organisasi; apakah itu organisasi agama, bisnis, pendidikan, LSM, partai politik, jasa industry, paguyuban seniman, dari pedalaman hutan sampai metropolitan, dari puncak gunung sampai pesisir, semuanya dalam ranah garis kekuasaan dan pengaruh kebijakan dan kualitas peran birokrasi, yang dalam hal ini saya sebut adalah sekertris Daerah sebagai ketua TAPD Bolaang mongondow Utara.
Kenyataannya, yang terjadi adalah birokrasi Bolaang Mongondow Utara hari ini merupakan institusi yang paling dibutuhkan. Ironisnya, ia juga sekaligus merupakan institusi yang paling dibenci oleh sebagian besar masyarakat. Tidak heran diberbagai aspek, sebagian besar masyarakat memandang buruk citra birokrasi Bolaang Mongondow Utara. Bantuan pemerintah kepada masyarakat yang tidak tepat sasaran. Kualitas sumber daya manusia yang menjabat lembaga-lembaga pemerintah dalam hal ini adalah dinas-dinas terkait jauh dari kompetensi dan kualitas. Perputaran ekonomi yang tidak merata. Praktik oligarki yang mencengkram kebijakan dan cenderung menempatkan peraturan, fasilitas, dan kewenangan untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya pribadi.
REKRUTMEN PERENCANAAN DAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
Lembaga kedinasan menjadi ukuran paling prioritas dalam pelaksanaan fungsi birokrasi yang akan menghantarkan evaluasi kebijakan publik secara merata kepada masyarakat. Satu daerah seluas dan sebesar Bolaang Mongondow Utara sebagai Kabupaten, yang di dalamnya tebagi menjadi enam wilayah administratif kecamatan. Harusnya birokrasi Bolmut mampu dan tertib dalam rangka penempatan sumber daya manusiannya. Mengapa saya katakan lembaga kedinasan sangat penting, sebab dinas adalah cakupan khusus yang melakukan tindakan dan praktiknya harus berdasarkan konsep, ide dan gagasan. Lembaga kedinasan adalah pelayan publik.
Sebaliknya, yang terjadi hari ini di Bolmut adalah kewenangan yang teramat besar itu akhirnya menonjolkan peran dinas sebagai pembuat kebijakan daripada pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar jika kemudian lembaga dan tata kelola penyelenggaraan kedinasan kita lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat dari pada sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi penyelenggaraan sistem birokrasi di Bolaang Mongondow Utara dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja dari pada pamong praja. Bahkan, kemudian terjadi politisasi birokrasi. Hari ini, yang nampak terlihat birokrasi di Bolaang Mongondow Utara menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Dengan menempatkan jabatan-jabatan strategis di setiap jenjang lebih kepada personal atau orang-orang yang tidak memiliki standar kompetensi dibidangnya. Padahal, pengangkatan dan penempatan orang-orang di setiap jabatan itu harus berdasarkan profesionalitas, akuntabilitas, serta independensi.
Setiap jenis pekerjaan, pada dasarnya menuntut tanggung jawab, yang berbeda hanya besar-kecilnya ukuran dan ruang lingkup dari tanggung jawab tersebut. Semakin rendah posisi/ jabatan seseorang dalam organisasi, semakin kecil ruang lingkup dan ukuran atas tanggung jawabnya. Demikian pula dengan jabatan apa pun termasuk organisasi pemerintah, jabatan tidak bisa dilepaskan dari peran pejabat di dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu, setiap pejabat dalam organisasi pemerintah mulai dari level eselon IV, eselon III sampai dengan eselon I, tentu terikat pada hal-hal yang berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan posisi dan jabatannya.
Drs. Muhammad, M.Si dalam bukunnya Birokrasi: Kajian Konsep Teori Menuju Good Governance (2018:27) menyebutkan, bahwa perencanaan tenaga kerja pada dasarnya dimaksudkan sebagai instrumen untuk memutuskan jumlah dan kualifikasi tenaga yang dibutuhkan untuk kurun waktu tertentu pada masa depan. Perencanaan tenaga kerja dilakukan berdasarkan: 1. Klasifikasi jabatan yang tersusun secara akurat, 2. Uraian pekerjaan yang terperinci dalam arti mencakup semua jenis pekerjaan yang ada atau diperkirakan akan timbul, 3. Analisis pekerjaan yang matang, baik dalam rangka pelaksanaan tugas pokok maupun kegiatan penunjang, 4. “Peta” ketenagakerjaan yang menggambarkan masa kerja para pegawai dikaitkan dengan pensiunan, 5. Perkiraan tenaga kerja yang berhenti atas permintaan sendiri (turn over) berdasarkan kecenderungan masa lalu, 6. Kebijaksanaan promosi yang dianut, apakah semata-mata promosi dari dalam atau dimungkinkannya “pintu masuk lateral” (lateral entry points) tertentu, terutama untuk jabatan pimpinan, 7. Kualifikasi pengetahuan dan keterampilan berdasarkan pendidikan formal dan pelatihan yang pernah diikuti oleh tenaga kerja yang akan direkrut. Atas dasar rencana kerja itulah, dijadikan pedoman untuk langkah berikutnya.
Demikianlah berbagi episode kejadian hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan aparatur pemerintah (birokrasi). Banyak kasus dan masalah baru yang muncul setiap tahun, dengan jenis-jenis yang beragam. Tapi bagi saya, intinya adalah sampai dengan hari ini ketika saya meyelesaikan tulisan ini, pelayanan birokrasi di Bolaang Mongondow Utara masih saja sama, stagnan dan tidak ada inovasi yang signifikan. Tidak “menyebalkan”, tetapi “membosankan”.
Membahas berbagai keboborokan birokrasi kita tidak akan pernah selesai dari masa ke masa. Setiap saat selalu saja ada keluhan terhadap perilaku mereka. Mengapa hal seperti itu terjadi? Akankah hal ituterus terjadi? Mungkinkah birokrasi akan berubah?
Karena birokrasi yang sebenarnya tidaklah seperti itu, malah dengan birokrasi yang konon “ideal”, akan membuat masyarakat puas dan kinerja pemerintah tercapai. Pada akhirnya, kita semua akan selalu mempertanyakan, sejauh mana pemerintah berpihak kepada masyarakat Bolaang Mongondow Utara. Lalu, kita harus membedakan, apakah Sekertaris Daerah dalam peruntukannya, adalah jembatan birokrasi ataukah politik.
Penulis,
Mohamad Rifki Tegila, Mahasiswa Pascasarjana UNIMA dan Alumni Pendidikan Lembaga RI Tahun 2015