Foto Koleksi Penulis. Makam Raja Morete’o (Raja Ke-I Kerajaan Bintauna) |
Memasuki Juni 2021 saya bersyukur dapat kesempatan bergabung dengan tim peneliti dari Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Utara dalam rangka penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Utara biasa disebut Balar Sulut, merupakan salah satu lembaga di bawah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bergerak dalam penelitian arkelogi di wilayah Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Ketua tim penelian ini Bapak Asmunandar, merupakan Arkeolog dan juga dosen di Program Studi Pendidikan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Makassar. Sedangkan tim peneliti lainnya merupakan arkeolog dari Balar Sulut, Pusat Kajian Arkeologi untuk Makassar, Universitas Dayanu Ihsanuddin dan saya dari Universitas Hasanuddin. Selain arkeolog juga dilibatkan sejarawan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Utara, serta pamong budaya dari Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara.
Lokasi penelitian ini yaitu wilayah bekas Kerajaan Bintauna, salah satu kerajaan yang dulu pernah ada di Bolaang Mongondow Utara. Saat ini Bintauna menjadi kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Sebelum tim melakukan eksplorasi di wilayah Bintauna ini, dengan bantuan Ibu Fatmawati Ngadi, M.Pd dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, tim peneliti bertemu dengan teman-teman dari organisasi Inomasa Study Club (ISC) melalui lembaga di bawahnya PUSSAKABin (Pusat Studi Sejarah, Adat dan Kebudayaan Bintauna).
Kami bertemu komunitas ini di sekertariat yang juga menjadi tempat berkumpul mereka sekaligus ruang diskusi dan ruang baca. Tempat ini mudah diakses karena tidak berada jauh dari jalan trans Sulawesi, penandanya adalah papan informasi yang terpasang di pagar rumahnya. Komunitas ini digawangi anak-anak muda Bintauna yang memiliki perhatian pada penelusuran sejarah dan budaya Kerajaan Bintauna. Mereka sangat semangat saat kami sampaikan maksud dan tujuan penelitian, bahkan mereka siap mengantar tim ke lokasi-lokasi yang terkait dengan sejarah Kerajaan Bintauna. Salah satu hal yang mereka sampaikan bahwa sebelum berkunjung ke situs-situs tersebut kita harus bertemu dengan para tetua adat Bintauna sebagai bagian dari adat dan budaya. Hal ini tentunya merupakan hal yang penting, apalagi penelitian arkeologi merupakan salah satu upaya untuk mengungkap sejarah dan budaya masa lalu, maka tentunya selaian harus memperhatikan kaidah ilmiah juga harus sejalan dengan norma adat dan budaya yang berlaku di masyarakat di mana kita melakukan penelitian.
Hasil diskusi dengan komunitas tersebut, diputuskan objek yang akan disurvei yaitu lokasi yang merupakan awal mula berdirinya Kerajaan Bintauna yang tempatnya berada di wilayah yang bernama Pangkusa yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Sangkub. Mengingat hari sudah sore maka tim pun memutuskan kembali ke basecamp di Boroko, dan kembali besok pagi untuk menuju ke Pangkusa bersama-sama teman-teman PUSSAKABin-ISC.
Tepat pukul 05.30 wita, kami meninggalkan basecamp di Boroko menuju ke Kecamatan Bintauna, menelusuri jalanan aspal yang cukup mulus dan berkelok. Jalan yang kami lalui dari Boroko menuju Bintauna ini merupakan Jalan Trans Sulawesi sehingga merupakan jalan nasional yang ditandai dengan garis median jalan yang berwarna kuning. Dikatagorikan jalan nasional karena Jalan Trans Sulawesi ini merupakan akses jalan yang menghubungkan antar provinsi dalam hal ini Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo.
Kami tiba di Bintauna sekitar pukul 07.15, disambut langsung teman-teman PUSSAKABin-ISC. Sambil menunggu kedatangan tetua adat kami ngobrol santai mengenai Kerajaan Bintauna. Ersyad Mamonto salah seorang pendiri komunitas ini mengatakan bahwa komunitas ini merupakan wadah bagi generasi muda Bintauna dalam mempelajari dan mengkaji sejarah dan budaya Bintauna. Dalam aktifitasnya selain diskusi rutin juga secara berkala melakukan pendataan situs-situs bersejarah di Bintauna, termasuk juga kerja bakti membersihkan situs-situs tersebut. Hal yang dilakukan komunitas ini merupakan sesuatu yang keren dan pastinya bermanfaat dan perlu kita dukung bersama, termasuk oleh pemerintah. Keberadaan komunitas ini dapat menjadi mitra bagi Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dalam upaya pelestarian warisan budaya dan sejarah.
Pukul 08.00 wita para tetua dan tokoh masyarakat yaitu Bapak Imin Tinumbia, Bapak Abdurrahman Bata, Bapak Sadly Datunsolang & Ibrahim Paulus bergabung bersama kami, sehingga jumlah kita bertambah menjadi 18 orang yang terdiri dari 6 orang tim peneliti, 8 orang dari komunitas dan 4 orang tokoh adat dan dan tokoh masyarakat. Setelah saling memperkenalkan diri, tepat pukul 09.30 wita kami pun berangkat menuju Pangkusa melalui jalur darat, kemudian dilanjutkan dengan naik Katinting (perahu) menelusuri Sungai Raa Minanga selama 30 menit. Tiga perahu kami pergunakan untuk memuat seluruh rombongan. Setelah itu dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 100 meter dari lokasi pendaratan perahu.
Perjalanan ke makam Raja Bintauna, dengan susur sungai menggunakan Perahu Ketinting |
Selama di perahu kita disuguhi pemandangan yang indah berupa gugusan perbukitan yang nyaman dipandang mata. Perahu yang kita naiki dilengkapi dua mesin motor, melaju melawan arus menuju ke hulu sungai yaitu ke daerah Bernama Raa Minanga, tempat dimana Paduka Morete’o, raja pertama Bintauna dikuburkan. Pertama kali tiba di lokasi kubur Paduka Morete’o, salah seorang tetua memulai ritual ‘tivato’, yaitu prosesi adat untuk meminta izin/permisi dengan menggunakan bahasa adat. Setelah itu, tim kemudian memulai perekaman data, berupa pendeskripsian, pengukuran, dan pendokumentasian. Sebelumnya kami bersama-sama membersihkan area penguburan ini dari rumput dan ilalang yang tumbuh liar di sekitar kubur.
Berdasarkan penjelasan dari para tetua, lokasi ini disebut dengan nama Jere Bintauna, jere itu artinya kuburan atau makam. Menurut masyarakat setempat Jere Bintauna merupakan lokasi makam raja pertama dari Kerajaan Bintauna, yaitu Morete’o. Kompleks Makam Jere Bintauna dibatasi pagar batu yang dilengkapi pintu disisi utara. Pagar ini sendiri baru dibuat oleh masyarakat pada tahun 2008 sebagai salah satu upaya untuk pelestarian. Makam yang memiliki ukuran paling besar merupakan makam Morete’o (1675-1720), makam yang berada di tengah merupakan makam permaisuri raja, dan dua makam lainnya adalah ibu pendeta dan bapak pendeta. Jadi total terdapat 4 makam, dimana seluruh makam memiliki arah hadap timur-barat yang mengindikasikan bahwa makam ini bukan makam Islam.
Makam Raja Morete’o, Vua Tebo, Penginjil Talahatu & Isterinya |
Makam Raja Morete’o memiliki bentuk persegi panjang dan berundak tiga yang terbuat dari susunan batu kerikil berspesi pasir, semen, karang dan kapur. Bagian puncak dibuat meruncing menyerupai atap rumah (pelana). Adapun makam permaisuri raja memiliki bentuk persegi panjang dengan bagian menonjol pada keempat sisinya serta di tengahnya terdapat batu bulat lonjong yang terbuat dari susunan batu kerikil berspesi pasir, semen dan kapur. Sedangkan kedua makam lainnya yaitu makam Ibu pendeta dan Bapak Pendeta memiliki bentuk yang sama dengan makam Permaisuri. Bentuknya persegi panjang dengan bagian menonjol pada keempat sisinya dan terdapat batu bulat lonjong ditengahnya yang terbuat dari susunan batu kerikil berspesi pasir, semen dan kapur.
Setelah selesai perekaman data di Jere Bintauna, kami melanjutkan perjalanan menuju Makam Raja Patilima Datunsolang, yang berjarak sekitar 50 meter dari Jere Bintauna. Makam ini terletak di tengah kebun jagung yang tumbuh cukup tinggi, sehingga makam tidak terlihat jelas. Patilima Datunsolang ini merupakan Raja Bintauna ke III. Makam ini ini memiliki bentuk yang unik, terutama pada bagian jirat atau pagar makamnya yang keempat buah sudutnya meruncing. Pada bagian tengah makam terdapat nisan berupa batu pipih. Menurut informasi dari tetua yang mendampingi tim, makam ini telah mengalami kerusakan akibat adanya aktifitas pencarian harta karun dengan cara membongkar makam. Lalu pada 2006 masyarakat yang merupakan keturunan dari Raja Patilima ini merenovasi makam dengan cara mempelester dinding makam menggunakan campuran pasir dan semen. Jadi bentuknya tetap dipertahankan namun materialnya sudah diganti.
Makam Raja Patilima Datunsolang |
Setelah mengukur, memfoto dan mendeskripsikan makam tersebut, kami kembali ke tempat dimana perahu kita bersandar. Sambil menunggu pemilik perahu kita istirahat dan makan siang bersama bekal makan yang kita bawa.
Kemudian perjalanan kami lanjutkan dengan menggunakan perahu menuju ke Makam Raja Bintauna Ke II di Llasako yang lokasinya berada di puncak bukit. Menurut tetua adat Raja Bintauna ke II ini merupakan putra dari Morete’o yang bernama Datunsolang. Kondisi makamnya cukup memprihatinkan karena dipenuhi dengan ilalang dan pada beberapa bagian struktur jiratnya pun sudah rusak. Beberapa tahun yang lalu pernah terjadi pengrusakan pada makam ini oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka membongkar makam dengan tujuan mencari harta karun yang diyakini ada di makam ini. Semoga tidak ada lagi kejadian seperti itu, seharusnya bukti masa lalu itu kita jaga dan lindungi karena itu merupakan warisan budaya leluhur, penanda zaman penguat identitas sejarah dan budaya.
Makam Raja Datu yang nampak tak terawat dipenuhi ilalang. |
Setelah meluangkan waktu untuk membersihkan Makam Datusolang, kami melanjutkan ke situs makam Raja Toradju Datunsolang di Vantayo. Perahu yang kami akan naiki sudah bersiap di pinggir sungai, dari tiga perahu yang kami pergunakan dua diantaranya menggunakan dua mesin motor, hanya perahu yang saya naiki yang menggunakan satu mesin motor saja. Perahu yang bermesin dua melaju membelah arus sungai menuju ke arah hilir, kedua perahu seperti berlomba menghasilkan riak dan gelombang. Perahu yang saya naiki jauh tertinggal di belakang, mungkin karena hanya satu mesin, sedangkan arus sungai saat itu cukup deras. Pemandangan yang indah membuat perjalanan menelusuri sungai ini terasa menyenangkan, walaupun cuaca cukup panas namun pepohonan yang hijau di gugusan bukit sepanjang jalur sungai yang kami lewati terasa menyejukan.
Makam Raja Toradju Datunsolang di Vantayo letaknya berada diantara sungai dan kaki bukit. Lokasinya tidak jauh dari Bendungan Sungai Pangkusa. Makam ini berupa struktur persegi panjang yang berfungsi sekaligus sebagai pagar makam. Rumput yang sudah mengering tanpa memenuhi seluruh permukaan makam, pada bagian tengah terdapat gundukan tanah yang memanjang. Penanda bahwa ini adalah makam raja yaitu keberadaan jejak tulisan yang memuat nama sang raja.
Daerah Vantayo ini berbatasan langung dengan wilayah Voa’a, tempat di mana Raja Salmon Datunsolang dimakamkan. Makam Raja Salmon ini menjadi situs kelima yang kami kunjungi, sebelum beranjak ke situs ke enam di wilayah Pangkusa. Di Pangkusa ini terdapat tiga makam bersejarah yang letaknya berdekatan yaitu Makam Raja Eliyas Datunsolang, Makam Qadi Sarubansa Datunsolang, dan Makam Raja Serael Datunsolang. Setelah dari Pangkusa kami menuju ke situs terakhir yang dikunjungi yaitu makam Raja Mohammad Toradju Datunsolang di Pimpi.
Setiap keberadaan makam raja di masing-masing lokasi tersebut, menandakan bahwa di lokasi itulah para raja berkuasa. Dengan demikian, dalam perjalanan sejarahnya pusat Kerajaan Bintauna itu berpindah-pindah mulai dari Raa Minanga, Llsakako, Vantayo, Voa’a, Pangkusa dan kemudian ke Pimpi, yang kini menjadi salah satu desa di Kecamatan Bintauna. Bukti aktifitas manusia masa lalu di masing-masing lokasi tersebut juga ditunjang dengan temuan fragmen keramik saat kami survei permukaan di lokasi tersebut.
Tinggalan arkeologi yang tersebar di kawasan bersejarah Bintauna ini tentunya selain harus dikaji dan diteliti, juga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi. Makam-makam para raja tersebut merupakan warisan budaya bendawi yang memiliki nilai penting ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan. Dengan demikian memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai cagar budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dalam konteks pelestarian cagar budaya ini, peran pemerintah sangat penting, karena dalam prosedur pelestarian dan pengelolaan cagar budaya merupakan kewenangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, dengan potensi tinggalan cagar budaya yang ada termasuk makam-makam bersejarah di Kecamatan Bintauna ini, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara perlu segera membentuk Tim Ahli Cagar Budaya yang memiliki sertifikat kompentensi. Tim Ahli Cagar Budaya ini ditetapkan oleh Bupati dan bertugas untuk melakukan kajian terhadap objek pendaftaran cagar budaya untuk kemudian hasil kajiannya direkomendasikan kepada Bupati guna ditetapkan statusnya sebagai cagar budaya. Dengan demikian setiap warisan budaya bendawi yang memiliki nilai penting dapat ditetapkan statusnya sebagai cagar budaya, sehingga menjamin upaya pelestarian dan pengelolaannya yang sesuai peraturan perundangan cagar budaya.
Dalam prosesnya, keterlibatan masyarakat termasuk tokoh adat dan komunitas dapat menjadi mitra bagi pemerintah untuk merancang model pengelolaan dari setiap situs dan kawasan cagar budaya di Bolaang Mongondow Utara. Salah satunya yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai Kawasan Cagar Budaya adalah makam-makam bersejarah di kawasan Bintauna. Makam-makam tersebut bukan hanya bernilai sejarah tapi juga terletak di lanskap atau bentang alam yang menarik, sehingga berpeluang untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya dalam konsep wisata minat khusus. Dengan demikian upaya pemanfaatannya tetap selaras dengan kepentingan pelestarian cagar budaya. Pemanfaatan cagar budaya dapat menambah kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat daerah itu, baik dari aspek pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan ekonomi serta peningkatan kebudayaan di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Untuk mewujudkan hal tersebut harus dilakukan kajian, guna menjamin pengembangan dan pemanfaatan yang terarah dan berkesinambungan. Kajian ini bertujuan agar tersusun kerangka kebijakan pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya dan langkah-langkah strategis untuk pelaksanaannya. Pada tahap kajian, dimulai dengan melakukan pengumpulan data-data mengenai kondisi fisik cagar budaya dan lingkungannya, mengumpulkan data masyarakat yang menempati cagar budaya dan sekitarnya terkait pemanfaatan cagar budaya di Kawasan Bersejarah Bintauna, sehingga dihasilkan model pengelolaan yang berwawasan pelestarian dan berbasis masyarakat. Mari kita membangun sinergi untuk menjaga, melindungi, dan melestarikan cagar budaya.
Penulis,
Yadi Mulyadi
Staf Pengajar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan Peneliti di Pusat Kajian Arkeologi untuk Masyarakat (PKAuM).
Editor,
P. S. Datunsolang