![]() |
Makam Raja Pertama Bintauna, Morete’o dan Permaisuri Vua Tebo. Hasil jepretan usato Rian Laurestabo. |
Pagi itu saya menemani Ibu Irna dan kawan-kawan dari Balai Arkeologi Sulawesi Utara (13/12/20), menjelajahi makam raja Bintauna, bersama juga dengan teman lainnya dari PUSSAKABin (Pusat Studi Sejarah, Adat dan Kebudayaan Bintauna) dan para tetua Bintauna.
PUSSAKABin adalah lembaga–jika patut disebut seperti itu–di Inomasa Study Club (ISC) yang fokus pada kerja-kerja intelektual dengan diskursus sejarah dan budaya Bintauna.
Penjelajahan itu cukup menurunkan lemak yang bersemayam betah di dalam tubuh. Diawali dengan menempuh jarak kira-kira 6 KM dari Hotel di dekat alun-alun Bintauna, ke negeri Pangkusa. Kemudian dilanjutkan menyusuri sungai dengan perahu menuju makam raja pertama Bintauna, Morete’o.
Makam tersebut diselumuti belukar. Seperti tanda bahwa belukar adalah teman sejati Tuan yang membuka negeri Bintauna itu, dan penegas anak cucunya (kami) jarang menziarahi.
Paduka Morete’o nampak menerima kami dengan senang hati. Dia tahu cucu-cucunya sedang ingin mencari tahu tentang Bintauna lebih dalam, dengan perangkat yang kita sebut ilmu pengetahuan.
Pertemuan dengan Paduka Morete’o diawali dengan ‘tivato’, yaitu prosesi adat (meminta izin/permisi dengan menggunakan bahasa adat) yang ingin menyampaikan:
“Kami, anak cucumu datang Paduka, rindu rasanya. Terimakasih telah menorehkan negeri seindah Bintauna”
Setelah tivato, Ibu Irna mulai mengeluarkan beberapa kertas dan mulai mensketsa makam yang ada. Patutlah ini disebut sebagai penelitian. Karena nampak teliti saat arkeolog ini meminta saya dan Pak Jamal– yang juga bagian dari tim arkeolog tersebut–untuk membentangkan meter dari sudut ke sudut makam yang ada.
“Oh, begini ya, kerja arkeolog itu. Beda tipis dengan bertani ya, yang legowo kulitnya dicubit matahari.” Celetukan saya kepada Ibu Irna.
Ibu Irna sebagai peneliti senior nampak senyum dengan analogi tersebut.
Setelah dari Morete’o, kira-kira 130 meter ke arah sungai ada Paduka Raja Patilima Datunsolang, yang memasifkan Islam kepada orang Bintauna. Saya merasa berterimakasih kepada Paduka Raja Patilima, darinyalah awal Islam menjadi masif di Bintauna dan mungkin menjadi asbab saya Muslim.
Ada lima spot makam, jika saya tidak salah menyebut jumlah makam raja yang dijelajahi, ada sembilan belas, membentang dari Ra’a Minanga sampai ke Pimpi (Bintauna sekarang). Kesembilan belas makam tersebut kami jelajahi semuanya.
Penat mungkin dirasakan, tapi ada kepuasan saat bertemu dengan leluhur kami. Terlebih saat menziarahi Kadi Sarubansa Datunsolang. Seorang pangeran kerajaan Bintauna yang menolak menjadi raja, dan memilih meleburkan diri dalam lautan ilmu yang luas, hingga akhirnya Pangeran Sarubansa didaulat jadi ulama kerajaan Bintauna (penasihat agama dengan gelar Kadi).
Saya secara khusus bertawasul kepada Pangeran Sarubansa, berharap pangeran menjadi wasilah agar Allah memberikan energi dan tidak berhenti mengarungi lautan ilmu yang luas. Juga, menjadi seperti pangeran Sarubansa yang tidak tergoda dengan kekuasaan dan lebih memilih jalan ilmu.
Sebelum menuju Vaya Sangki (Tempat persitirahatan Kadi Sarubansa, Raja Srael Datunsaolang dan Elias Datunsolang), makam yang kami singgahi ada di Lasako. Kira-kira selatan dari makam raja Salmon Datunsolang–yang terletak 10 meter utara bendungan–, yaitu, Raja Datu.
Raja Datu nampak sendiri di Lasako. Ia, membaringkan diri di sebuah bukit yang tingginya kira-kira 20 Meter. Suasana tempat raja Datu nampak Sunyi–sejauh ini hanya dialah raja yang tidak mempunyai teman pembaringan. Raja Datu adalah cikal bakal marga kerajaan, Datunsolang. Saat sudah dewasa dan telah siap menjadi raja, Datu pun digelari Datu ro no solako (Datu telah dewasa). Akhirnya kata Datu ro no solako bermetamorfosis menjadi Datunsolang.
Di hari kepulangan, Tim Arkeologi Sulawesi Utara tersebut meminta saya sekali lagi untuk melihat Komalig (Istana) Bintauna, yang kini tersisa bagian dapurnya, karena dibakar saat pecah Permesta sekitar tahun 1959. Juga di bagian paling akhir penjelajahan, kami menuju bagian utara 150 meter dari Komalig Bintauna, rumah sekretaris kerajaan C.P. Mokodenseho yang dibangun tahun 1936.
Di sela-sela penjelajahan itu, saya banyak menyaksikan dan merenung tentang orang tua kita dahulu yang hidup dengan alam. Alam memberi hidup dan manusia menghidupi alam, dengan memberikannya nilai. Sejawat dengan penamaan Bintauna, yang berasal dari pengamatan manusia terhadap alam.
Bintauna berasa dari kata Vinta Una-una atau Vinta o Una yang berarti Bintang di depan. Pemberian nama negeri ini, saat manusia awal Bintauna mencari tempat menetap, melihat Bintang dan kemudian mengatakan kata Vinta Una-una , sebagai tanda bahwa di depan–dengan petunjuk arah menggunakan Bintang–adalah tempat yang dituju.
Hal ini selain menjurus bahwa, perjalanan awal tersebut adalah penggambaran tentang penggunaan ilmu astronomi, juga menegasikan bahwa kebersatuan dengan alam, dengan mengambil Bintang (alam) sebagai nama negeri.
Penulis:
Ersyad Mamonto
PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah, Adat & Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club).
Editor:
P. S. Datunsolang