Sumber gambar, pinterest |
Di situasi tertentu, sawer itu amat diharapkan. Dalam pertunjukkan seni, para penyanyi dangdut, dalang topeng, berokan, atau sinden, sangat senang disawer. Sawer, bagi mereka adalah penghormatan dan wujud kepedulian. Juga yang membuat grup seninya tetap bertahan hidup. Dapur para senimannya tetap ngebul.
Kadang saya amati para penyawer. Mereka banyak yang terlihat ingin unjuk diri. Artis dan panggung yang merupakan pusat perhatian semesta pertunjukkan, dibetot olehnya.
Mata penonton pun teralihkan. Tepuk tangan mengikuti tingkah genit para penyawer. Dalam pertunjukkan organ dangdut, dia tampil sebagai penjoged. Joged bareng artisnya. Nayub. Berlama-lama di sana, berbagi panggung. Di sanalah, decak kagum penonton sering ditujukan untuk penjogednya. Sesaat, dia serasa jadi raja dan ratu panggung. Rasa itu bikin nagih.
Tapi kita tak bisa melihat fenomena sawer sebagai semata-mata perebutan kuasa panggung. Ada seniman yang bahagia di situ. Karena dapat banyak uang. Lestarilah sawer menyawer itu. Menyatu dalam setiap jenis pertunjukkan. Itu semua terjadi di daerah saya. Sejauh yang saya pahami.
Sialnya, pertunjukkan wayang juga kena sawer. Mereka menyawer sinden, tidak menyawer dalangnya. Saya tidak tahu, kenapa yang disawer adalah para penyanyi? Kalau tidak sinden, ya dalang organ. Sebagai penonton saya tentu kecewa. Pertunjukkan wayang di kampung saya penuh distraksi. Tidak ada lagi cerita utuh. Karena hampir sepanjang pertunjukkan, “jambu alasan” mengambil porsi paling banyak.
Apa itu “jambu alas”? Ia sejenis sawer. Bahkan lebih menggangu dibandingkan sawer. Di daerah saya, penonton tertentu memberikan uang sambil meminta sinden menyanyikan lagu tertentu. Dalam nyanyian, nama tertentu disebut dalam lagu, sebagai “dermawan seni”. Bisa dibayangkan jika yang doyan jambu alasan adalah si kaya dan para pejabat desa yang banyak duit. Jadi panjang sekali durasi jambu alasan-nya. Ah, sudahlah, tamat saja cerita wayangnya. Sebagai penonton kere, saya jelas merasa tergganggu. Sangat kirik sekali.
Tapi apa mau dikata, kesenian kita amat tergantung para penanggapnya. Penanggap-penanggap itu juga kadang merasa terpanggil untuk turut serta mendirikan panggung. Merasa bertanggung jawab atas kelangsungan pertunjukkan. Meski tak terasa mereka sesekali membetot dan menginterupsi kehendak seniman.
Pernah saya dengar cerita, salah seorang dalang sepuh yang disegani menolak untuk jambu alasan. Mungkin baginya, jambu alas itu sudah sedemikian mengganggu. Kekukuhannya itu berujung peristiwa yang tudak mengenakkan. Dia dikalungi clurit oleh salah seorang penontonnya sendiri. Konon katanya, sejak kejadian itu, dia berhenti ndalang.
Jika melihatnya sepintas, seniman merdeka itu sekarang seperti utopia. Mereka terikat dan amat bergantung pada pasar. Pada penanggap dan masyarakatnya. Tapi seniman yang cerdas biasanya tidak sepenuhnya tunduk pada permintaan pasar. Dia cerdik untuk menawarkan, mengemas, dan mempertunjukkan seninya. Pertunjukkan, pada akhirnya, adalah sebuah kompromi dari banyak pihak, seniman, penanggap, aparat, dan masyarakatnya.
Kemarin ramai di twitter, sawer juga dilakukan di panggung acara keagamaan. Sawer ditujukan bagi qari yang sedang membacakan ayat Qur’an. Banyak orang kemudian protes dan marah. Bahkan ada yang mengatakan peristiwa sawer itu adalah penghinaan.
Saya sendiri tak paham, apakah bagi mereka, lantunan ayat suci itu dianggap sebagai panggungan? Sebuah tontonan, hiburan, sebuah nyanyian? Tentu saja itu salah besar. Qari bukan penyanyi, bukan artis organ, bukan sinden wayang. Qari itu mulia, mungkin tidak semulia para seniman keliling, seperti pemain berokan dan topeng. Tak patut jika cara kita memuliakan qari disamakan dengan cara masyarakat menghormati dalang organ. Dengan sawer.
Pikiran saya tidak bisa membayangkan. Qari disamakan dengan dalang organ yang seronok itu.
Kalau ada yang ngomong sawer dan seni pertunjukkan adalah tradisi, adalah budaya, jangan dihiraukan. Kalau itu jelek, jangan dilanjutkan. Seperti tradisi temoan di daerahku. Banyak yang bilang itu adat tradisi. Tapi saya selalu tak setuju padanya.
Tunggu, tunggu… atau jangan-jangan si penyawer qari itu sebenarnya meniru dan belajar dari tradisi masyarakat Pakistan dan negara lainnya. Mereka memberikan uang kepada qari sebagai penghormatan. Sebagai penghargaan dan pemuliaan. Ya, para penyawer itu meniru menjadi seperti mereka itu.
Saat perilaku dan tradisi itu diduplikasi di sini, meski tidak persis sama, mereka paksakan menyebutnya dengan yang sebelumnya sudah ada: sawer. Sesuatu yang sebenarnya sangat berbeda. Sawer ada dalam panggung hiburan, sementara yang dari sana itu ada di panggung yang berbeda. Jelas, itu bukan sawer.
Saya tidak tahu, apa nama perilaku itu di Pakistan sana. Mungkin tidak seseram “sawer” atau “jambu alas”. Mungkin dengan bahasa Arab yang indah. Saya tidak tahu.
Tapi, pikirku tiba-tiba tergoda: kenapa kita gampang marah dan menyalahkan seni tradisi? Atau itu hanya perasaanku saja. Ya Sudahlah.
Tulisan,
Abdul Rosyidi (Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA-Jakarta)