![]() |
Foto Ajoeba Saidi (Pria berpeci hitam ketiga dari kiri) dan Keluarga. (sumber: Ismail Hasan) |
Buko cukup populer di paruh awal abad
ke-20 M. Wilayahnya tidak menjadi sentrum pemerintahan dalam Kerajaan Kaidipang
Besar, namun ada satu magnet yang membuatnya menarik banyak macam mata untuk
melirik, yaitu Ajoeba Saidi. Selain itu, kartografi di abad yang sama dengan judul Economische Schetskaart van de
Minahasa en Bolaang – Mongondou, merekam Buko sebagai salah satu pelabuhan
penting di Sulawesi Utara. Setelah berkembangnya zaman, Buko kini berganti nama
menjadi Pinogaluman, sebuah kecamatan paling Barat di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara.
Keberadaan pelabuhan di Buko juga
menjadi saksi bagaimana sepak terjang Ajoeba Saidi dalam membangun ekonomi. Sosok
itu bukanlah seorang yang tinggal dalam istana, namun perannya cukup kuat untuk
menggerakan roda kehidupan di Buko, bahkan di Kaidipang Besar saat itu. Ia
mempunyai sebuah kapal dengan nama Tjendrawasih bermerk 602 KM 212T No. 286 KK,
yang beroperasi dalam bongkar muat barang, serta membantu penyebrangan antar pantai.
Kapal ini mengantongi izin yang ditandatangani oleh Raja Kaidipang Besar, Ram
Soeit Pontoh, tertanggal 18 Oktober 1925.
Ihwal Ajoeba Saidi, dikenal sebagai
seorang dermawan. Rumahnya, terletak di desa yang kini dikenal dengan nama
Dalapuli Timur. Perkebunannya seperti kelapa, dan hasil bumi lainnya tersebar
tak jauh dari rumah tersebut. Hal itu juga berlaku sama bagi ternak
kepunyaannya. Dengan kekayaan seperti itu, dituturkan, bahwa pria yang berasal
dari Gorontalo ini kerap bersedekah.
Kehadiran peran-peran Ajoeba Saidi
ini adalah gambaran bagaimana pergantian pola ekonomi sejak abad ke-16 M, saat awal
kedatangan bangsa Eropa, yang menekankan politik dagang dengan komoditi rempah,
menuju abad ke-19 – 20 yang berorientasi politik produksi. Gagasan ini karena
jatuhnya rempah di pasaran dan perkembangan teknologi. Bentuk-bentuknya seperti
penciptaan perkebunan baru di Indonesia saat itu. Sehingganya, hal ini
memungkinkan desentralisasi laba yang lebih terbuka. Artinya, membuka peluang
orang luar kerajaan berperan penting dalam menciptakan kondisi sosial ekonomi
yang terdesentralisasi.
Wajah ekonomi rakyat di abad itu
dapat dibuktikan dengan sepenggal surat yang disimpan baik oleh ahli waris
Ajoeba Saidi. Isi surat tersebut adalah persetujuan pengoperasian sebuah koperasi
oleh Raja Kaidipang Besar, tertanggal 1 Januari 1926. Nama dari koperasi
tersebut adalah Coopratie Boeko dengan modal pokok minimum saat itu
berjumlah tiga ribu rupiah. Koperasi tersebut bersifat terbuka, dengan
mengundang investor, dan apabila bangkrut, Ajoeba Saidi telah menyiapkan kelapa
sejumlah 800 pohon yang telah berproduksi untuk dijadikan jaminan dan ganti
kerugian.
Lebih jauh lagi, Ajoeba Saidi
berperan dalam menggerakan masyarakat di luar sendi-sendi ekonomi. Sebelum
mendirikan Coopratie Boeko, pada bulan Januari 1921 Ajoeba Saidi telah
diangkat menjadi Sangadi (Kepala Desa) Buko oleh Raja Kaidipang Besar. Hal ini
sekaligus menekankan sumbangsih yang luas oleh Ajoeba Saidi. Ia menjalankan
pemerintahan di Buko, bekerjasama dengan seorang Majoor Cadato Buko bernama, J.
Van Gobel.
Tahun ini (2023) salah satu saksi
penting bagaimana sepak terjang Ajoeba Saidi, yaitu sebuah rumah yang pada
masanya dianggap begitu mewah, telah direkomendasikan oleh Tim Ahli Cagar
Budaya Kab. Bolaang Mongondow Utara, untuk menjadi Cagar Budaya. Jejak tersebut
menegaskan satu bentuk tersendiri bagi sejarah di Bolaang Mongondow Utara yang
didominasi oleh pembicaraan tentang sentrum raja. Peran-peran di luar kerajaan,
memungkinkan menghadirkan warna baru bagi sejarah di Bolaang Mongondow Utara,
sebagai sebuah sejarah sosial. Hal ini sekaligus melengkapi kompeksitas dalam
kelampauan.
Sumber:
Arsip Keluarga Ajoeba Saidi.
Wawancara terbatas dengan keturunan
Ajoeba Saidi, Ismail Hasan. 12/11/2023.
Penulis,
Ersyad Mamonto (Inomasa Study Club)