Menu

Mode Gelap
 

Esai · 26 Okt 2021 05:41 WITA ·

Sangihe Itu (Bag. 1)


 Sangihe Itu (Bag. 1) Perbesar

Foto: Sangihe

Dalam sebuah kelas yang membincang tentang studi literatur peradaban Islam, seorang dosen membicarakan Islam lokal, hingga sebuah pertanyaan sampai kepada saya–yang berasal dari Sulawesi Utara. Adalah Sangihe yang menjadi perhatian pada kelas tersebut. Satu hal menjadi fokusnya adalah Islam Tua. Pertanyaan tentang hal tersebut beruntun diarahkan ke saya.

Sangihe akhirnya menjadi salah satu fokus yang saya minati saat itu setelah mencari tahu tentang Islam Tua. Dari penelusuran tersebut bukan hanya Islam Tua (Kaum Tua) yang saya dapat tentang gambaran Sangihe, ditambah lagi saat diberi kesempatan untuk mengikuti SWRF (Sangihe Writers & Readers Festival). Sengihe menjadi sangat kompleks untuk diurai dalam beberapa paragraf.


Kepulauan Rempah & Bumi Porodiso

Perjalanan ke Sangihe memakan waktu semalam dari pelabuhan Manado. Ini kali pertama saya menempuh jalur laut. Jalur itu membuat saya berkhayal tentang setting peradaban Sulawesi abad ke-13 M -17 M. Peradaban yang dikenal dengan jalur rempah, menempatkan laut sebagai satu-satunya penghubung antara Sangihe dan dunia luar. Karena hal tersebut pula “drama” sejarah terjadi di Sangihe.

Ada beberapa kepulauan di timur jauh yang dikenal dengan pulau rempah: Maluku, Banda, Buruh, Siau hingga Sangihe. Sangihe menjadi rebutan karena Pala dan Cengkeh yang terkenal. Cengkeh Sangihe menjadi momok menakutkan bagi monopoli dagang saat itu, sehingganya VOC meminta untuk Cengkeh Sangihe dibakar.

Karena rempah inilah membuat Portugis menginjakan kakinya ke Sangihe, hingga menyebutnya sebagai paradise, karena takjub dengan keindahan alamnya. Kata paradise ini kemudian mengalami pembahasa lokalan berubah menjadi porodiso. Fakta ini memang tak perlu diragukan, teluk yang ramah terhadap pelancong laut, membuat sangihe nyaman disinggahi. Gunung, hewan endemiknya pun menyiratkan setiap pengunjung untuk ditarik dalam nuansa khas pulau porodiso ini.

Saat Venesia dan Genoa menjadi gerbang penting rempah-rempah dari Timur Nusantara abad ke-13, Sangihe juga menjadi bagin penting dari hal tersebut. Roederich Ptak menulis tentang jalur rempah ke utara abad ke-14-16 M, menggambarkan Sangihe dan kepulauan sekitarnya menjadi jalur utama pelayaran langsung ke Maluku dari Cina era periode Ming (1368-1400 M).


Kosmopolit

Jika ada satu kata yang bisa mendefinisikan Sangihe, saya memilih kosmopolit. Aroma kebudayaan laut Sangihe yang sangat kuat menyimpan sejarah persentuhan Sangihe dengan dunia luar. Perentuhan ini membuat tanda sangihe bagian dari peradaban dunia. Jangan heran adanya Islam Tua atau kepulauan porodiso merupakan interaksi panjang tentang Sangihe yang terbuka, sekaligus menjadi tempat yang berbicara ke luar.

Ada sebuah pemikiran yang saya percayai, bahwa kemajuan daerah tergantung dari sikapnya ke dunia luar, terbuka atau tertutup. Jika memilih tertutup maka peradabannya berjalan tidak secepat yang berpikir sebaliknya. Namun, saat memilih terbuka, ada banyak segmen dari satu daerah yang akan maju melesat kian cepat.

Tokoh-tokoh sepertei J.E Tatengkeng misalnya, adalah bagian dari garis waktu Sangihe yang kosmopolit. Pembentukan sosok J.E Tatengkeng sebagai Perdana Menteri Indonesia Timur ke-4 sekaligus seorang penyair tidak semata hanya dilihat dari individunya dalam pembentuk dirinya. Perlu untuk menggali bagaimana Sangihe yang kosmopolit memberikan peluang luas untuknya. Jejaring sebagai orang Sangihe adalah hal yang jarang disentuh untuk menjelaskan J.E Tatengkeng atau tokoh-tokoh dunia lainnya.

Di sudut yang lain, kita bisa menemukan keberanian tokoh Bataha Santiago. Pahlawan orang Sangihe, yang berpikir multidimensi: kedalam dan keluar. Berpikir keluar sebab berinteraksi dengan dunia luar sebagai seorang raja ke tiga Kerajaan Manganitu maupun individunya sebagai pelajar di Universiras Santo Manilla Filipina. Kedalam karena kuatnya ia mempertahnkan kepulauan Sangihe dari monopoli dagang VOC.

Bataha Santiago yang terlahir dengan nama Don Jugov (Jogolov) Sint Santiago, terkenal karena sikapnya yang tak mau tunduk terhadap VOC. Ia menolak menandatangani perjanjian dagang (kontrak panjang) dengan VOC. Sikap tegasnya itu akhirnya bermuara kematian. Hingga ajal menjemput Santiago mewariskan sebuah kalimat “Biar saya mati digantung; tidak mau tunduk kepada Belanda”. Warisannya dikenang dan menggambarkan sikap kedalam orang Sangihe yang berbarengan dengan sikap keluar-terbuka, kosmopolit.

Penulis,
Ersyad Mamonto
Pembina TBM Teras Inomasa

Artikel ini telah dibaca 0 kali

Baca Lainnya

Kempo Mania Club: “Pergi Biaya Sendiri, Pulang Panen Medali”

6 Januari 2025 - 14:55 WITA

Kempo Bolmut Gelar Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) Kyukenshi Tingkatan Kyu VI Sabuk Putih

13 November 2024 - 13:59 WITA

Disabilitas: Pergulatan Tubuh Minoritas

6 Desember 2023 - 00:13 WITA

Saudagar dari Boeko, ‘Ajoeba Saidi’

15 November 2023 - 07:14 WITA

Demokrasi Radikal, dan Komedi Tunggal

11 Juni 2023 - 16:59 WITA

Idealisme Politik

2 Mei 2023 - 17:18 WITA

Trending di Esai