panjisaputra Pelancong digital

Review Buku | Jejak Langkah: Pengorganisasian dan Perlawanan

2 min read

Sumber gambar Mbak Google

 

 “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan” 

Pramoedya Ananta Toer

Sama halnya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, buku dengan judul “Jejak Langkah” adalah episode ketiga dari kedua roman sebelumnya itu. Pada roman ketiga ini, Jejak Langkah, dengan sangat apik dan cerdas, Pram menggambarkan historis pengorganisasian dan perlawanan yang dilakukan oleh Minke (yang tidak lain adalah representatif dari tokoh pendiri Pers Nasional pertama sekaligus pelopor pengorganisasian dan perlawanan lewat kerja-kerja intelektual dan jurnalistik, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, lihat: Sang Pemulah, Pramoedya Ananta Toer) dengan gaya menulisnya yang berbaur sastra realisme (untuk sastra realisme, sahabat-sahabat/usato-usato bisa baca: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis-nya Eka Kurniawan. Sih penulis buku “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”), layaknya bagaimana Pram menulis.

Pada fase ini, adalah fase pengorganisasian dan perlawanan yang dilakukan Minke untuk melawan praktik-praktik feodalisme Jawa yang secara tidak langsung ikut menindas rakyat Hindia Belanda yang ditumpangi kolonial Belanda kala itu. Dalam melakukan perlawanan, Minke tidak memilih jalur the jungle (yang hanya bermodalkan keberanian dan fisik yang kekar agar bisa survive), tidak sederhana itu! 

Minke sadar betul bahwa politik belah bambu (devide et impera) kolonial tidak sesederhana adu jotos seperti yang dilakukan Trunodonso, seorang petani yang melawan para mafia tanah dengan hanya bermodalkan parang sahaja, pun Darsam sih penjaga setianya. Dalam hal ini, Minke memilih organisasi sebagai wadah dalam mendidik pribumi akar rumput yang tidak diberi kesempatan untuk berpendidikan, dan memilih jurnalistik sebagai senjata perlawanan. 

Meskipun Ratu Wilhelmina, dengan kebijakan politik balas budinya (Etische Politiek) yang diusulkan oleh Van Deventer, memberi kesempatan kepada pribumi untuk berpendidikan, meskipun ujung-ujungnya untuk menopang kepentingan mereka karena akan kebutuhan di bidang admistrasi dan tenaga medis. Dengan kata lain, bukan pendidikan yang membebaskan, tapi mala sebaliknya (lihat: Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire).

Medan Prijaji adalah salah satuh media pertama yang dikelola oleh pribumi, yang didirikan oleh Minke (RM Tirto Adhi Soerjo) pada tahun 1907 yang tidak hanya berfungsi sebagai pewarta, melainkan juga memiliki peran sebagai lembaga hukum yang mendampingi rakyat yang diperlakukan tidak adil yang jarang diangkat oleh media mainstream kala itu.

Lewat Minke, kiranya juga berkat dorongan dari sahabat Prancis dan Nyai Ontosoroh yang menyarankan agar Ia menulis untuk pribumi, untuk bangsanya, dalam bahasa yang dapat mereka pahami, bahasa Melajoe.

Akhirnya, kerja-kerja jurnalistik ditangan Minke menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan oleh pihak pemerintah Hindia Belanda kalah itu. Model jurnalistik yang berdiri paling depan dan melakukan pembelaan pada keadilan dan kemanusiaan yang dilecehkan martabatnya. Yang menampung dan menyalurkan berbagai bentuk keresahan yang dibungkam. 

Seakan saja Multatuli hadir dan tetap hidup dalam laku dan tindakan Minke untuk tetap mengorganisir kolonial.

Tak sampai disitu, upaya dalam melakukan perlawanan untuk mengusir kolonial makin terorganisir lewat kerja-kerja organisasi. 

Satu kesadaran akan pentingnya berorganisasi yang ia dapatkan dalam satu perjumpaan dengan seorang gadis perawakan Cina Tionghoa, yang juga adalah seorang organisatoris pergerakan Tionghoa, Meimei. Seorang gadis pergerakan yang menjadi sandaran hatinya sesudah kepergian Annelies.

Pada tahun 1906, kiranya dua tahun sebelum Boedi Oetomo berdiri, Minke terlebih dahulu menjadi pelopor organisasi pribumi pertama yang ia namai Sebagai Sarikat Priyayi, yang kemudian berubah menjadi Sarekat Dagang Islam lewat perenungan panjangnya dalam mengakomodir berbagai kalangan.

Ini menunjukkan bagaimana cara Minke dalam menumbuhkan sikap nasionalisme dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Misalnya dalam satu pernyataannya, “Bicara tentang nasionalisme harus melalui pendidikan yang agak lama” (Minke, Jejak Langkah, 695).

Pada satu sisi, kita diperlihatkan bagaimana peran perempuan juga ikut mempengaruhi Minke dalam perjalanannya mengusir kolonial. Mulai dari Nyai Ontosoroh yang merupakan bunda sekaligus guru agungnya, Ibunda tercintanya yang sering mengingatkannya agar tetap menjadi seorang Jawa, bukan Jawa dengan otak kolonial yang ikut-ikutan menindas, Annelies yang ia sebut sebagai Bunga Akhir Abad karena kecantikan fisik dan pikirannya, sampai Meimei, gadis perawakan Cina yang tergabung dalam satu organisasi perlawanan Tionghoa, yang buat Minke sadar akan pentingnya sebuah organisasi.

Soekarno memang selalu benar soal perempuan, “setiap lelaki hebat, ada perempuan hebat dibelakangnya”. Yang jomblo jangan terprovokasi, ini hanya statement. Kalian tetap hebat dengan kejombloaan kalian. Hehehe

panjisaputra Pelancong digital

Sekelumit Tentang Bumi Manusia Om Pram

Sumber gamba Mbah Google Bumi manusia adalah hasil karya pram yang lahir dari balik jeruji besi. Atau biasa disebut tetralogi pulau buru. Karya pram...
panjisaputra
2 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *