Gambar adalah hasil jepretan penulis. |
Dewasa ini, seperti
kita ketahui sudah banyak sekali kasus atau permasalahan di ranah hukum
khususnya Indonesia. Mulai dari kasus kekerasan, penganiayaan, pelecehan,
pelanggaran HAM, dan masih banyak lagi. Tapi dalam tulisan ini sepenuhnya akan
mengerucut pada pembahasan Hak Asasi Manusia yang tak berujung dan bertepi.
Dalam
literatur-literatur yang sering kita temui, kita sudah bosan dengan bahasa
bahwa “Indonesia merupakan negara hukum” seperti tercantum dalam pasal 1 ayat 3
UUD tahun 1945. Kenapa bisa dikatakan bosan? Karena kontradiktif dalam tubuh hukum
itu sendiri—penegak hukum tapi melanggar hukum. Contoh sederhana sebelum
memasuki masalah HAM, yaitu permasalahan hangat awal bulan Desember ini tentang
kasus bunuh diri seorang wanita yang diakibatkan dari pemerkosaan oknum aparat
kepolisian yang didukung oleh orang tua pihak pelaku agar korban melakukan
tindakan aborsi. Namun selang beberapa hari dari kejadian itu, pelaku ditangkap
dan akhirnya dipenjara. Akan tetapi masih banyak tumpang tindih di antara para
pakar hukum tentang pasal-pasal yang digunakan dan persoalan lamanya pelaku
ditahan. Sehingga berangkat dari kejadian ini, banyak pihak menuntut agar
secepatnya disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(RUU TPKS). Mungkin itu sekilas tentang salah satu kasus atau permasalahan di
Indonesia.
Permasalahan-permasalahan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sampai hari ini tercatat masih ada 12 kasus
yang belum terselesaikan. Seperti Pembunuhan Munir, Tragedi Trisakti,
Pembunuhan Marsinah, Penembakan Misterius (Petrus), Tragedi Semanggi I dan II,
dan beberapa lainnya. Melihat beberapa kasus yang belum terselesaikan rasanya
bingung dengan kemajuan negara hari ini. Kira-kira capaian apa yang Negara
lakukan selain membabat hutan, tindakan represif aparat, penggusuran,
reklamasi? Mungkin ini baru beberapa dari yang tidak dicantumkan.
Pemerintah Indonesia
semenjak terjadinya kasus pelanggaran HAM sampai hari ini yang menjadi struktur
negara atau sistem kuasa, itu masih ditemukan tindakan-tindakan yang bukannya
menyelesaikan kasus-kasus HAM, justru mematahkan perjuangan-perjuangan kelompok
atau individu yang menyuarakan atau mengingatkan Negara terkait kasus HAM yang
tidak diselesaikan. Sungguh sebuah kontradiksi. Karena bisa kita temukan disetiap
aksi-aksi seperti Aksi Kamisan yang masih dilakukan di berbagai daerah, itu
bukannya mendapatkan tanggapan positif, justru berujung dengan pengusiran oleh
aparat, bahkan tak jarang berakhir dengan tindakan-tindakan represif.
Demokrasi
Jika kita menganalisa
dimensi subjektif dari konsep kenegaraan, kita akan menemukan porsi yang paling
definitif, bahwa Negara hari ini tetap melakukan proses transformatif, dari
Orde Baru menuju Reformasi yang digadang-gadang menjadi harapan besar rakyat
agar terhindarnya kasus korupsi dan juga pelanggaran HAM yang terjadi dibeberapa
tahun sebelumnya. Harapan agar terhindarnya sifat otoritarianisme sehingga bisa
tercapainya tujuan dari demokrasi. Juga agar beralihnya elitisme ke populisme
yang di mana Negara pada dasarnya menjunjung tinggi hak dan keutamaan rakyat.
Seperti adagium hukum “Salus populi
suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Perlu juga kita pahami
mengenai konteks demokrasi itu sendiri, bahwasannya tidak semua negara
menggunakan sistem demokrasi, yang dimana kekuasaan Negara terletak pada
kedaulatan rakyat. Dan seperti kita ketahui Indonesia yang menganut sistem
demokrasi, secara utuh mengakui bahwa HAM merupakan bagian dari hukum. Sehingga
secara legal mengakui bahwa pelanggaran HAM merupakan tindak pidana. Serta Negara
harus menjamin perlindungan HAM serta kebebasan setiap individu.
Jika kita telisik ke
zaman rasionalisme modern, yang dalam hal ini Spinoza, dalam pandangan
sosial-politiknya atau filsafat sosialnya, ia selalu memberikan penekanan atas
kebebasan berpikir. Sehingga dikatakan dalam bukunya F. Budi Hardiman yang
berjudul Pemikiran Modern, bahwa Spinoza merupakan salah satu tokoh yang
merintis konsep Hak Asasi Manusia. Dari sini bisa kita kaitkan dengan kebebasan
berpendapat yang ada di Indonesia dengan otoritarianismenya atau katakanlah
memberikan aspirasi yang justru berujung represif. Seperti belakangan yang
terjadi dalam aksi-aksi tahun ini yang berujung kekerasan dan penculikan terhadap
mahasiswa dan jurnalistik.
Persoalan HAM
Bergeser pada tulisan-tulisan
Hendardi mengenai kasus HAM di tahun 1997, dikatakan merupakan tahun yang
paling tidak menggembirakan. Bisa kita lihat di salah satu kasus yang terjadi
di Tasikmalaya yang di mana peristiwa kerusuhan terjadi, dan beberapa orang yang
mengikuti kegiatan tersebut ditangkap dan dipaksa menjadi terdakwa sebagai
dalang dari kerusuhan. Dengan menggunakan relasi kuasa yang begitu kuat,
pemerintah bersama dengan berbagai pihak serta pengadilan memberikan vonis
kepada mereka akibat tuduhan subversif.
Begitupula dengan
beberapa kasus yang lain, seperti pembentukan organisasi, seperti pendirian
Partau Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang pemimpinnya berujung ditangkap.
Kasus seperti perilisan buku kritikan terhadap Orde Baru juga ditahan, dan masih
banyak lagi seperti kasus wartawan yang menjadi korban tindakan aparat, yang di
mana tidak terbukti sebagai pembunuh justru didakwa.
Sepanjang tahun 1997
tercatat dalam data kasus pelanggaran HAM oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan
Hak Asasi Manusia (PBHI) hingga 20 Desember 1997 Indonesia menghasilkan kasus
pelanggaran HAM sebanyak 4.264, yang di mana jika dikalkulasikan per bulannya
terdapat 300-400 pelanggaran HAM.
Salah satu kasus yang
sampai hari ini memberikan kecemasan seperti hilangnya Wiji Thukul. Perlu kita
bedakan perbedaan benda yang hilang dan orang hilang. Kalau benda hilang, sudah
jelas kita hanya tidak tau keberadaannya. Tapi persoalan orang hilang, kita
tidak dapat memastikan apakah dia masih hidup dan berada di mana. Hingga hari ini
kita masih belum mendapat informasi yang jelas keberadaan orang-orang hilang.
Begitupun dengan nasib korban Petrus yang hanya berujung dikabarkan media
tentang kematian. Dan yang perlu dikritisi bahwa negara wajib menyelesaikan dan
mempertanggungjawabkan keadilan bagi korban dan mencari pelaku atas tindakan
yang terorganisir itu.
Jika kita lihat dewasa
ini, aparat seharusnya menjamin dan memastikan keamanan dan keselamatan
rakyatnya. Bukan dengan cara-cara yang represif. Karena dengan begitu,
kepercayaan rakyat terhadap aparat hari ini justru berakibat tidak ada.
Berangkat dari segala
permasalahan pelanggaran HAM yang ada di bumi pertiwi yang tidak pernah
selesai, salah satu aktivis HAM yaitu Hendardi, dalam tulisannya di tahun 1996
pernah menuliskan tentang visi dan misi kemanusiaan: Pertama, negara haruslah memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk
bukan saja menyejahterakan kehidupan warga negara, tapi juga membuka lebih luas
kesempatan warga negara untuk menjalankan kehidupan kemanusiaannya. Kedua, pertanggungjawaban aparat-aparat
negara kepada masyarakat warga negara jika memang dasar legitimasinya berasal
dari rakyat.
Berdasarkan visi yang
dituliskan Hendardi, perlu kita tanamkan sebagai usaha dalam pencegahan
terjadinya kesewenangan dan pengabaian terhadap prinsip kemanusiaan yang
seperti kita ketahui sering dilakukan oleh aparat-aparat negara terhadap
warganya.
Sedangkan dalam misi
kemanusiaannya, Hendardi mengatakan bahwa hal terpentig bagi Indonesia adalah
dengan mempraktikkan prinsip memajukan kesejahteraan rakyat dan memperluas
ruang kebebasan bagi warga masyarakat. Dari sini bisa kita katakan bahwa aparat
dewasa ini haruslah memegang prinsip tersebut dalam memperlakukan warganya.
Seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tetang prikemanusiaan dan prikeadilan.
Dan bukan memperaktikkan unjuk kuasa, karena dengan begitu aparat melakukan
kesengajaan untuk menghilangkan kemanusiaan itu sendiri.
Maka dari itu sebagai
penutup, persoalan HAM di tahun-tahun sebelumnya negara sebagai garda terdepan
harus segera menyelesaikannya, karena jika tidak, ini merupakan kecemasan kita
semua di hari-hari yang akan datang terutama bagi kita yang selalu menyuarakan
aspirasi kepada pemerintah. Karena kecemasan di masa yang akan datang, bisa
saja saya dan teman-teman yang menjadi korban dari pelanggaran HAM.
Penulis,
Afnan Ferdiansyah
Referensi
Kumpulan Tulisan
Hendardi tahun 1996-1997
Pemikiran Modern,
F.Budi Hardiman
Munir dan Daftar Kasus HAM yang Belum Tuntas Sampai Hari Ini,
CNN