Suasana persawahan pada sore hari di Jl. Desa. Hasil cepretan Usato (berarti saudara dalam term masyarakat Bintauna) Panji Datunsolang. |
Pulang kampung tidak hanya sebatas rutinitas tahunan, orang-orang melakukan mudik tatkala lebaran– pulang lalu hendak bertemu sanak saudara dan keluarga.
Atau, Pak Warno misalnya, Ia menutup tiga warteg miliknya, lalu pulang kampung dan memilih jadi kuli bangunan guna memenuhi kebutuhan hidup. Begitulah, pulang kampung ditafsirkan dari beragam stigma ditengah krisis dan kebuntuan ekonomi kita.
Saya terkenang masa kecil, ada saat orang-orang beramai-ramai memenuhi satu rumah yang melakukan hajat atau syukuran. Orang-orang baru berdatangan, keluarga nan jauh disana datang dan berkumpul. Pulang kampung adalah serangkaian peristiwa yang bagi banyak orang adalah satu keistimewaan.
Khazanah kekayaan Bangsa kita memang sejak dahulu terletak pada persatuan dan kesatuan, nilai-nilai toleransi serta rasa gotong royong. Di Kampungku, Kita yang tidak hendak dipisahkan hanya asbab perbedaan.
Sekalipun pada konteks privat sekalipun, keyakinan misalnya. Keakraban dan kekeluargan terjalin dan dirawat dari dapur-dapur berasap, dari denting piring-piring, dan dari wewangian khas yang datang dari tungku yang dipenuhi beragam aneka makanan.
Bagi orang-orang yang telah melakukan perjalanan, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, ada sesuatu yang tidak bisa dijabarkan lewat lisan, betapa senangnya bercengkrama dengan kepingan-kepingan ingatan untuk pulang. Mereka menyusun ingatan-ingatan itu seumpama menyusun potongan-potongan puzzle, hingga akhirnya mereka mendapati ingatan yang utuh tentang kampung halaman itu.
Kita, selalu saja menyenangi suasana kampung halaman yang tenang. Terlebih saat-saat ketika menikmati hidangan bebek bersama kawan-kawan, menghabiskannya hingga yang terissa hanyalah tulang-belulang yang berserakan di piring-piring.
Menghabiskan banyak waktu luang untuk mengunjunggi banyak hal. Panorama pegunungan, mengambil foto landscape pantai berpasir putih.
Namun, ditengah kenyamanan tersebut, selalu saja bersamaan dengannya ketidaknyamanan yang tumbuh saat di Kampung. Mendengar wacana politik lokal, menyaksikan para politisi yang menghabiskan energi untuk saling menjelekkan.
Yang terjadi adalah, saling sikut, saling tendang, saling menebarkan energi negatif. Kita selalu saja merasakan aura-aura saling benci yang disebabkannya. Bagi banyak elite tokoh politik, kampung tidak lain adalah komoditi untuk memuaskan hasrat individualsitik semata.
Padahal, Kampung adalah tempat dimana banyak mimpi disemayamkan, kita melihat di depan rumah, anak-anak usia remaja bercerita tentang cita-cita mereka untuk bisa belajar di Korea dan Jepang, mebicarakan tentang “Bill Gates” dan “Mark Zuckerberg” sebagai orang yang punya pengaruh di Dunia. Sesuatu yang sederhana tapi bermakna.
Saya, selalu menikmati setiap episode pulang kampung, berlama-lama dengan nostalgia dan memperbaharui kenangan-kenangan yang tetap awet dalam bejana hati.
Yang telah terlewatkan memang tidak lagi bisa untuk diperbaiki, mustahil untuk mengembalikannya sebagai semula. Kenangan memang cenderung statis, sementara perubahan kian hari selalu mengalami transformasi.
Kita tidak bisa hidup berlama-lama dalam nostalgia dan pertautan kenangan itu. Hidup dalam banyak kenangan akan menjerumuskan kita, tiba-tiba saja kita serasa terperangkap dalam sikap jalan ditempat tanpa merencanakan sesuatu.
Sejatinya, pulang kampung adalah sesuatu yang memberi efek dinamis, sesuatu yang menggerakan kita agar terperbaharui, kita mendapatkan energi baru dari episode penting yang kita pungut pada kenangan-kenangan kampung halaman. Membangun ekonomi kampung, menguatkan hubungan solidaritas antar warga, serta bagaimana menumbuhkan hal-hal positif di kampung halaman.
Ketika banyak pertanyaan yang muncul mengapa harus pulang kampung? jawabannya adalah “everything is connected”. Kita hanyalah bagian terkecil dari simpul-simpul kearifan dan tradisi.
Penulis:
Mohamadad Rifki Tegila
Editor:
Panji Datunsolang