Pinterest.com |
Pada setiap kata yang keluar bersama lara, kita yang entah, bersua disimpang jalan penuh darah.
1965 senjata dan parang berlalu-lalang, menabrak segala yang datang. Sementara pemuda masa mendatang, konon hobinya menikmati senja lalu gagah-gagahan.
Setelah 98, cahaya baru datang, pasungan atas segala kediktatoran bapak pembangunan, akhirnya tumbang.
Kembali merasa hidup setengah tiang, Demokrasi tidak benar-benar 100% tertanam. Wajah-wajah lama masih bertengger, wajah-wajah palsu. Iyaa… wajah-wajah palsu itu.
Mendiang Gus Dur berucap, “kita baru memulai”
itupun Gus Dur dikemudian, juga dilengserkan.
Setelah lama, berganti kepemimpinan, kita merajut satu-persatu kesatuan.
Mencari segala arti dari penjuru bukit dan lautan.
Kedaulatan ternyata bagi rakyat hanyalah lima tahunan, itupun sekali dan tidak berulang. Apalah kita, merdeka. bila berucap bersebrangan dibilang melawan, membahayakan, wajib diberi hukuman.
Jalan-jalan kota pernah ramai para Demonstran menuntut banyak hal. Jalan-jalan Desa tidak pernah diperbaiki. Barangkali, karena tidak ada Demonstran.
Heiiiii… lihatlah di Desamu, siapa paling sejahterah? Memiliki keluarga bahagia, dengan mabil melebihi jumlah manusia di dalam rumah.
Heii… tengoklah siapakah di Desamu yang hidupnya, bergelimang harta, pemilik tanah sini, dan sana.
Merekalah para penguasa, yang kita puji, dan puja.
Setiap kata-kata adalah senjata.
Setiap nafas, adalah semangat.
Setiap luka, adalah simbol bahwa kita pernah melawan.
Bintauna, 16 Desember 2020.
Penulis:
Farid Mamonto