Menu

Mode Gelap
 

Filsafat · 24 Nov 2023 02:45 WITA ·

Puan: Penantian yang Jauh Lebih Panjang dari Ukuran Waktu


 Puan: Penantian yang Jauh Lebih Panjang dari Ukuran Waktu Perbesar

 

Sumber gambar pinterest 

“Engkau akan tumbuh sebagai putri yang jelita,” tutur salah satu dari tujuh penyihir kepada Putri Salju. Tapi kecantikan bisa melukai majikannya. Pada usia enam belas tahun, jemari sang putri tertusuk jarum pemintal benang. Akibat sihir jahat, Putri Salju terkutuk menjalani tidur sepanjang 100 tahun lamanya. Matanya tidak akan terbuka. Hanya bisa menanti ciuman pangeran yang entah kapan tiba.


Dongeng merupakan salah satu cara mengintip alam bawah sadar peradaban manusia. Putri Salju barangkali metafora, bahwa sejarah perempuan adalah sejarah penantian.


Berabad-abad sebelum kalender diciptakan, perempuan telah didomestifikasi oleh mitos sumur-dapur-kasur. Patriarki memberi laki-laki citra superior dan perempuan citra inferior. Sejak diferensiasi gender bermula, laki-laki bertugas memburu makanan di luar rumah sedangkan perempuan mengumpulkan harapan di dalam rumah. 


Dari perkara ekonomi sampai renjana: perempuan terlanjur menjadi penanti laki-laki—yang digambarkan sebagai “jenis kelamin kelas  dua” oleh Simone de Beavouir.


Jenis kelamin kelas dua itu bisa jadi seorang remaja yang menunggu pesan WA sembari  mengudar dan memilin-milin rambut dengan hati rawan dan gugup. Ia bisa wanita dewasa yang keluar ke kedai kopi seraya menanti sapaan  dari bujang  yang  barangkali menyunting jari manisnya pada masa depan yang belum pasti. Ia juga perempuan yang merias diri di hadapan mata kamera dan mengunggah jepretan itu di aplikasi kencan semisal Tinder, menunggu jempol seseorang berhenti mengusap layar gawai.


Dalam Great Expectation karya Charles Dickens, ia adalah Nona Havisham yang berwajah kuyu, berdiam di antara gaun pengantin kusam dan jaring laba-laba, menanti pangeran yang meninggalkannya di altar puluhan tahun lamanya. Ia adalah Putri Salju yang hanya bisa terjaga oleh kecupan setelah seratus tahun lebih berbaring berbareng mimpi abadinya.


Terutama pada zaman Victoria, kesenian kala itu terobsesi dengan “ikonografi menunggu”. Perempuan diilustrasikan menanti tanpa henti entah di bawah pohon, ranjang, tepi danau, di atas permadani, di altar, sofa, pelelangan budak, sampai harem di Timur Tengah. Sebagaimana kisah sinetron di mana perempuan desa menunggu pria kota kaya raya menjemputnya, sejak era Victoria gadis remaja selalu menanti ksatria berbaju zirah datang dengan derap kuda dari tanah asing setelah suatu episode penaklukkan.


“Jangan keliru  antara suara detak jantungmu dengan suara derap kuda yang sedang mendekat,” tulis pepatah Cina kuno.


Memang, menunggu itu mendebarkan sekaligus sepi. Satu-satunya yang menghibur kesepian puan dalam penantian panjang itu hanya harapan: harapan agar masa depan segera menjadi masa kini. 


Menanti menjelma sebagai ekstasi. Bagi Marcel Proust, menunggu begitu erotis; merupakan kenikmatan yang menjadikan manusia pendusta sekiranya yang dihasratkan tidak kunjung tiba. Karena renjana butuh ketidakhadiran, resistensi, rintangan, dan sekepul mimpi di tengah dunia yang tak terpetakan.


Tapi menanti bisa menjadi harapan yang mematikan sebenarnya. Dalam penantian panjang, ketika waktu terlalu letih memutar jarum jam, seorang perempuan dapat dilukai air matanya sendiri. Ki bata ki dumondaloi / lua’nya notaput kon  ayoi (si jelita risau / air matanya mencair). 


Dengan lagu Ki Bata itu, Bernard Ginupit hendak mendekonstruksi posisi perempuan, yang hampir sepanjang sejarah, terkunci dalam praktik domestifikasi. Di dalam rumah, perempuan itu sudah bersolek,  bergincu, menghias wewangian pada tubuhnya. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Namun menunggu, barangkali, lebih panjang dari segala ukuran waktu. Kecele. Tidak ada yang tiba, kecuali air mata si cantik yang dirusak cemas. Tokoh dalam lirik Ki Bata itu tidak lebih beruntung dari dongeng Putri Salju; tak ada pangeran yang kunjung datang menariknya dari kesepian seratus tahun lamanya.


Teks Ki Bata perlu ditafsirkan sebagai pembebasan perempuan yang diobjektifikasi kecantikan, yang dituntut menjadi pasif di hadapan takdir yang maha terbatas. 


Perempuan dan penantian itu pun terdapat dalam kisah purwa nenek  moyang manusia Mongondow. Dikisahkan Gumalangit yang lagi kehausan menemukan sebilah bambu. Sekonyong-konyong bambu itu terbelah lalu muncul perempuan dari dalamnya yang dinamai Tendeduata oleh Gumalangit. 


Cerita tersebut mengandaikan kalau identitas perempuan  (Tendeduata) hanya bisa didefinisikan laki-laki  (Gumalangit); Tendeduata menjadi sesuatu yang pasif, yang tercerabut atau terabjeksi dari dirinya sendiri. Abjeksi oleh Julia Kristeva merupakan  kondisi yang mana subjektivitas perempuan dikonstruksi dari mitos-mitos mapan dalam kebudayaan. Kosmogoni tersebut sudah mendarah daging dalam kosmogoni lokal bahkan kisah penciptaan Adam dan Hawa. 


Terhadap kronik yang bias gender dan abjektif ini, Bolaang Mongondow, dan semua kebudayaan agaknya butuh lebih banyak sejarawan perempuan dalam agenda historiografi (agar tidak mengulangi kesalahan agama yang cenderung misoginis karena didominasi penafsiran lelaki).


***


Hari-hari ini, lagu Ki Bata akan reinkarnasi dari Bernard Ginupit ke Beranda Rumah Mangga. Hadir sebagai perjuangan melawan amnesia. Yang saya tahu, lagu tersebut sudah satu tahun lebih rampung dan baru bisa ketemu pendengarnya November 2023 ini. Dalam jangka waktu satu tahun lebih itu, saya bayangkan, sayalah yang menanti itu. Saya—dan mereka yang menunggui karya ini terbit—paham betul isi benak Ki Bata: ternyata menunggu jauh lebih panjang dari ukuran waktu.


Penulis

Tyo Mokoagow


Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

ODI PURWANTO : “Seniman Beladiri yang Mendapatkan Banyak Sabuk Kehormatan”

17 Maret 2025 - 22:56 WITA

KICKBOXING DARI AKAR KUNO HINGGA RING MODERN

6 Maret 2025 - 19:04 WITA

Ilustrasi petarung Kickboxing (sumber : pinterest)

SJL-MAP : Kami Titip Bolmut di Tangan Bapak

28 November 2024 - 04:25 WITA

Disabilitas: Pergulatan Tubuh Minoritas

6 Desember 2023 - 00:13 WITA

For You Page (#fyp): Sebuah Arus Utama dalam Melihat Akal Dunia

21 Juli 2023 - 13:43 WITA

Demokrasi Radikal, dan Komedi Tunggal

11 Juni 2023 - 16:59 WITA

Trending di Esai