![]() |
Foto Paris. Istimewa |
Satu
hal yang perlu kita lihat dan resapi adalah kehadiran peradaban di beberapa
tempat menyumbangkan banyak hal, termasuk kemajuan. Nusantara diyakini
bagian dari jenis peradaban yang dimaksud, walau siklus itu dipercayai muncul 7
abad sekali, Sriwijaya 7 M, Majapahit 14 M.
Di
belahan dunia lain, eropa, peradaban hegemonitik muncul. Abad yang familiar
kita sebut sebagai kolonialisme itu, tidak bukan biang penyebaranya adalah
eropa. Hal seperti motif ekonomi, politik sampai ego atau pamor menyelimuti era
yang dimaksud.
Prancis
muncul satu di antara kekuatan-kekuatan itu. Sebagai satu jenis kekuatan,
Perancis sebenarnya pernah menjadi tuan bagi Indonesia. Hal itu setali hubungan
dengan Belanda yang sukses dianeksasi oleh Perancis abad ke 18 M-19 M.
Peristiwa
tadi kemudian menjadikan Prancis bisa mengatur negara-negara koloni Belanda.
Louis Napoleon (saudara Napoleon Bonaparte) ditugasi untuk memimpin Belanda.
Hingga kemudian Louis mengutus seorang yang dikenal sebagai pemrakarsa
modernisme Indonesia, Herman Willem Daendels. Walau hanya tiga tahun
(1808-1811), Daendels sangat membekas dengan kebijakan yang paling dikenal
hingga abad ke 20 M, yaitu pembangunan jalan Anyer-Panarukan.
Walau
ekspansionis, dinamika cukup mewarnai negara ini. Di bawah Nazi, Jerman pernah
menduduki Prancis, 1940. Tak terkira memang, kekuatan-kekuatan besar bergantian
silang dan saling merebut. Kini bentuk kekuatan itu berubah bentuk, tak melulu
soal perang. Ada banyak hal yang diperebutkan, misalnya, olahraga, sepak bola.
Sepak
bola kini tak bisa dipandang sebagai permainan, wajah perebutan di era
kolonialisme juga mewujud dalam olahraga ini. Dari rasional sampai selubung
mitos-mitos bahkan membumbui sepak bola. Prancis yang kita tengah bincangkan
ini misalnya. Banyak meyakini tim-tim yang kalah di final Euro tak mampu
menembus final piala dunia. Walau takluk di final euro 2016, di tahun 2018 Les
Blues mematahkan mitos tersebut dengan menjuarai perhelatan empat tahunan itu.
Jika
pembicaraan kita diarahkan untuk melihat peta kekuatan lama dalam aroma
persaingan kolonialisme, sejak Qatar World Cup ini berlangsung
komentar-komentar berkaitan kerap muncul. Misalnya Prancis vs Tunisia. Siapa
yang tak tahu bahwa Tunisa adalah jajahan Perancis. Saat Tunisia memenangkan
pertandingan di babak penyisihan ada semacam semangat mendidih dari pertarungan
itu, tak heran jika istilah yang lahir dari komentar beberapa orang bagi
kemenangan Tunisia itu adalah ‘revenge colonialism‘ atau ‘sweet revenge to
colonialism‘. Sepertinya aroma kolonialisme memang masih kuat, atau kita
menyebutnya sebagai paska-kolonial. Itu serupa dengan kejadian baru-baru ini,
tatkala Rishik Sunak seorang keturunan India yang menjadi perdana menteri
Inggris dilabeli dengan istilah semacamnya, ‘reverse colonialism‘.
Kini
di empat besar, Prancis akan menghadapi Maroko. Keduanya juga punya semacam
hubungan pasang surut di era lampau. Hal ini tak lain karena asosiasi Maroko
dengan kekhilafahan yang pernah menguasai eropa, Spanyol, lebih amat terasa
ketimbang Spanyol sendiri. Sebab dua negara itu kini berkelut dengan dua jenis
agama berbeda. Maroko memilih Islam dan kita tahu kekhilafahan lahir dari
tradisi politik Islam. Di era kekhilafahan itu pula (kisaran abad ke 8 M)
pernah menginvasi Prancis Selatan. Peta berubah di abad ke 17 M, hubungan dua
negara ini makin erat, itu didukung oleh perjanjian bilateral.
Meski
banyak mengundang imaji perebutan masa lalu yang ditarik di masa kini, sepak
bola tetaplah menjadi sarana pemersatu. Perasaan kebanggannya mampu melampaui
nasionalisme atau semacamnya. Seorang yang berbeda negara bisa saja mendukung
negara lainnya dengan banyak indikator atau alasan yang ia persepsikan.
Syahdan, asosiasi politik bisa saja tetap sama membawa gempuran kelampauan,
namun dewasa ini yang paling penting adalah membangun arena kolaboratif
ketimbang tarung bebas. Sembari itu, mari menanti Prancis masuk final. Semoga.
Ersyad
Mamonto,
Pendukung
Prancis