Beberapa tahun belakangan saya terusik dengan pertanyaan “seberapa banyak sahabat yang kita punya?” Akar dari pertanyaan itu barangkali berasal dari sepenggal dialog dalam film yang sudah saya lupa judulnya. Sang protagonis bicara, kalau di usia muda kita perlu menghitung seberapa banyak orang yang rela berkorban waktu, materi, dan tenaga untuk kita dan seberapa banyak orang yang kita siap berkorban untuknya. Seiring waktu bertumbuh tua, hitungan itu bakal lebih sedikit oleh tantangan-tantangan kehidupan. Saya menyadari, bahwa persahabatan yang saya hitung terlalu sedikit untuk jari saya yang terasa terlalu banyak. Kalkulasi itu juga menghentak saya bertanya, “apa sih sahabat itu?”
Oleh Empedokles, persahabatan terjalin lewat konstruksi kesamaan. Kita memang gampang membangun relasi dengan orang lain yang punya preferensi yang sama dengan kita. Kita memang lebih mungkin bersahabat dengan mereka yang punya rasa identitas yang sama dan cenderung sulit bersahabat dengan mereka yang beridentitas beda.
Namun Sokrates mengajak kita menelaah kembali pernyataan Empedokles itu. Baginya, persahabatan tak terjalin dalam kesamaan. Orang jahat tak akan bersahabat dengan orang jahat karena mereka akan menjahati satu sama lain. Orang baik pun tak bersahabat dengan orang baik, karena orang baik bisa disebut “cukup diri” (self-sufficient). Orang baik oleh Sokrates mengarah pada kemampuan yang “berguna”, dan “kebergunaan” di sini memampukan ia untuk memenuhi kebutuhannya secara internal, demikianlah orang baik disebut “cukup diri”. Secara tidak langsung, kecukupan diri itu “menegasikan” kehadiran orang lain sebagai “pelengkap yang kurang” dalam diri kita. Mustahil orang baik bersahabat dengan orang baik, karena ia sudah bersifat total, lengkap.
Lysis pun mengomentarinya. Lysis berkata bahwa persahabatan hanya bisa didapati dalam perbedaan. Orang jahat hanya bisa bersahabat dengan orang baik, orang miskin dengan orang kaya, orang pandir dengan orang pintar, dan sejenisnya. Sokrates lalu menimpali Lysis dengan pertimbangan lain. Apakah orang pandir bersahabat dengan orang pintar atau ingin bersahabat dengan kepintaran orang lain? Apakah orang miskin ingin bersahabat dengan orang kaya atau dengan kekayaan orang lain? Dialektika itu berhenti, sebab budak Lysis meminta sang majikan untuk segera pulang.
Dialektika tersebut direkam oleh Plato di bawah judul “Persahabatan” yang diterjemahkan dengan baik oleh Setyo Wibowo, penafsir otoritatif Plato. Pada akhirnya, persahabatan hanya bisa terjalin dengan orang yang tak sepenuhnya baik dan tak sepenuhnya buruk. Persahabatan antara orang lain, hanya bisa dijalin lewat apa yang ada di antara dua orang tersebut. Artinya, dalam relasi antara A dan B, senantiasa terdapat C, dan C tersebut merupakan faktor penting dalam persahabatan. C itu bisa berupa cinta, bisa berupa chemistry yang ditempa waktu, bisa juga banyak hal lain.
Saya tertarik dengan persahabatan yang dibicarakan Sokrates sebagai jalinan antara perbedaan-perbedaan. Bahwa lewat perbedaanlah, negosiasi serta dialektika mewujudkan persahabatan. Dialektika Hegel sendiri bisa memperkaya percakapan soal identitas, sebab tiada persahabatan tanpa kontradiksi atau perbedaan. Dengan meminjam bahu Hegel untuk menelaahnya, C di antara A dan B, bisa kita sebut dengan Contradiction. Relasi persahabatan bisa dibilang relasi yang triangular, melibatkan dua orang (A & B) serta perbedaan atau kontradiksi (C) di antaranya.
Persahabatan merupakan relasi kesalingan yang dialektis sebab tak ada persamaan mutlak. Dua orang yang mengaku bersahabat karena sama-sama beretnis Mongondow, akan mendapati perbedaan dalam identitas lain semisal jenis kelamin, gender, agama, preferensi politik, profesi, dan bisa banyak lagi. Dua orang beragama sama, bisa menemukan perbedaan dalam soal mazhab, rujukan syariat, pola makrifat bahkan tarekatnya.
Persahabatan dialektis dalam konteks keberagamaan tampak menarik dalam hal ini. Islam dalam Al-Hujurat ayat ke-13: “… Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal….” Ayat tersebut turun dalam peristiwa merebut kembali Mekkah (fathu mekkah). Saat itu Bilal bin Rabah yang notabene mantan budak naik ke Kakbah demi menyerukan azan. Penduduk kota Mekkah pun terkejut. Dalam tafsir al-Baghawi, Al-Harits bin Hisyam mengejek: “apa Muhammad tak menemukan (orang lain) selain burung gagak ini untuk berazan?” Lantas ayat tersebut turun sebagai jawaban. Ayat itu menyerukan persahabatan universal dan multikultural yang membidas segala prasangka rasial dan meruntuhkan sistem hierarki yang mensuboordinasi budak.
Kita mungkin pernah mendengar kisah Menara Babel. Kisah itu terdokumentasikan dengan naratif dalam kitab Kejadian, pasal 1-9. Dikisahkan bahwa pada mulanya seluruh penduduk bumi hanya memiliki satu bahasa. Mereka pun melancong ke arah timur, ke Sinear. Di sana mereka hendak membangun kota yang di tengah-tengahnya terpancak menara maha tinggi yang pucuknya menembus langit, “supaya kita tidak jangan terserak di bumi.” Keangkuhan manusia untuk mengukuhkan bahasa tunggal memancing kegeraman Tuhan, sehingga kota itu dilantakkan, penduduknya diserak-serakkan ke empat penjuru bumi, “… sehingga mereka tak mengerti lagi bahasa masing-masing.” Sejarah Menara Babel (yang kemudian menjelma sebagai Babylonia) adalah sejarah di mana persamaan dipecah menjadi perbedaan-perbedaan; yang universal direngkah menjadi yang partikular-partikular. Namun dalam partikularitas itulah, persahabatan dibangun.
Pada jalur lintasan sejarah, senantiasa kita lihat mereka yang menghendaki persamaan absolut justru melahirkan totalitarianisme di muka bumi. Menyeragamkan segala sesuatu ialah mendirikan Menara Babel yang pernah runtuh itu. Dalam kasus paling ekstrem, totalitarianisme ini berupaya menyeragamkan isi pikiran semua orang–seperti dalam 1984 Orwell. Kritik pun dilarang sebab dianggap sebagai subversi atas persamaan sejak dalam tataran pikiran. Persahabatan dalam iklim seperti itu merupakan persahabatan yang mengerikan, karena mereka pertama-tama harus membinasakan dialektika sejak dalam rahim pikiran. Karl Popper berkata, bahwa mereka yang menghendaki surga atau Menara Babel di atas bumi, selalu berakhir dengan menyeret neraka; surga bukanlah tempat agung seperti yang digambarkan dalam Republic Plato dan Utopia Thomas Moore yang homogen.
Bangsa kita menegasikan tirani persamaan itu dalam kalimat paling romantis, bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetap satu. Kalimat itu dimulai dengan perbedaan, bukan persamaan. Lewat perbedaanlah kita terdorong menemukan persamaan, di antara yang partikularlah kita terdorong memperkaya universalitas, dalam “berbeda-beda” tersebutlah proses dialektis memungkinkan persahabatan terjalin. Kebalikannya, yakni “satu meski berbeda-beda” bisa didapati dalam doktrin militer, konsep NKRI. “Kesatuan” dalam NKRI bermakna keseragaman yang tak sama dengan “Persatuan” dalam sila ke-3 Pancasila. “Kesatuan” itu penjelmaan rezim persamaan yang pernah membuat berang Timor Timur dalam Revolusi Mawar yang memercikkan banyak darah sepersis warna mawar, pernah memancing pemberontakan (saya tidak memakai istilah separatisme karena itu politik bahasa militer) yang meletus di Aceh maupun Papua.
Demokrasi Indonesia pun merupakan proses yang menegasikan rezim “kesatuan” yang telah menegasikan perbedaan dengan menyeragamkannya. Maka kita bisa melihat perjalanan demokrasi Indonesia sebagai dialektika antara “kesatuan” militer dan “persatuan” Pancasila serta kebhinekaan. Proses dialektis bersintesa dengan mekarnya Timor Timur sebagai mawar putih di luar Indonesia dan kebebasan Aceh untuk menjalankan pemerintahan mereka sesuai dengan kearifan yang lama tumbuh dalam dirinya. Sedangkan dialektika di Papua masih mengarah ke sintesis yang kita belum tahu bentuknya.
Demokrasi memang bukan satu-satunya sistem politik, namun demokrasi adalah sistem terbaik yang kita punya, sebab dengan ia, proses dialektis bisa menjalin persahabatan dari mereka yang terserak-serak oleh perbedaan. Sejarah demokrasi merupakan sejarah menegasikan Menara Babel. Dengan demokrasilah saya dan warga negara lain bisa menjalin persahabatan dengan negara lewat kritik, dengan demokrasi pula politik identitas yang cair berpeluang menangkal politik identitas yang mengandung permusuhan, dengan demokrasi saya bisa menghitung persahabatan dengan orang lain dengan menghitung perbedaan demi perbedaan yang terlalu banyak untuk jari-jemari saya yang terlalu sedikit.
Penulis,
Tyo Mokoagow