Menu

Mode Gelap
 

Hiburan · 15 Des 2020 03:28 WITA ·

“Perjalanan Realitas”


 “Perjalanan Realitas” Perbesar

pixabay.com


Sore hari ketika semua orang bergegas mengejar senja, berniat untuk diabadikan di sosial media. Secara kebetulan berpapasan dengan saya di jalan. 


Tegur sapa, ajak-ajek.


“Marijo, pigi pante. Di sana depe senja gaga, for mo upload di Instagram”.


Tidak saya hiraukan, kembali melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian, saya bersua dengan penjual ikan yang digerobaknya bertuliskan “Anyer Mar Doi”.


Saya bertanya, “Om kiapa itu gerobak kong ada tulis bagitu?”.


“Iyo! Musti dipertegas memang, soalnya banya yang malu dengan ini pekerjaan sebagai penjual ikan, padahal biar anyer-anyer bagini mar doi”.


Dari sana, saya mendapatkan pencerahan. Kehidupan sehari-hari yang berkecukupan, namun justru masih saja berkeluh kesah dan selalu melihat sebela mata pekerjaan-pekerjaan yang dianggap publik itu menggelikan. Berdekatan dengan anyer.


Dalam keadaan merenung itu, saya kembali melanjutkan perjalanan. Melihat sawah-sawah yang terhampar luas tanpa padi. Gersang. 


Hujan pun tiba-tiba turun, meski hanya gerimis. Saya memutuskan singgah di sebuah sabua. Di sana juga ada seorang Ibu yang sedang berteduh, saya memandanginya kira-kira usianya sudah hampir 50-an dengan membawa hasil panen, kayaknya dari kebun si Ibu.


“Cuman sandiri Bu?” Sapa saya membuka pembicaraan.


“Iyo! Ada tunggu-tunggu anak mo datang ambe mar bulum datang, napa ujang so riki”. Jawab Ibu, sembari merapikan bawaan sayur-mayur dan buah-buahan dari kebun.


“Ohhh… ini bawaan pe banya bagini, mo jual, bu?”


“Iyo! Mo jual, napa so dekat mo bayar Akang keperluan wisuda, Ibu pe anak bilang so dekat, banya depe ini-itu yang mo sadia”. 


Saya, “hmmmm….”


Lanjut Ibu, “napa le depe papa bulum tau mo dapa kerja di mana, sawah masih bulum ada aer”.


Perbincangan kami terhenti, oleh hujan yang sudah redah.


“Ehh Bu, ujang so brenti. Kt so mo turus neh so mo malam”.


“Iyo! Napa le Ibu pe anak so ada”.


Di perjalanan pulang, sial, motor yang saya kendarai terjerumus lubang. 


“Huhhh mujur le nyanda tabanting”


Dengan kesal dalam hati. Saya mulai memikirkan kenapa jalan yang sudah rusak parah dan berlubang ini tidak juga diperbaiki, padahal bisa menimbulkan kecelakaan.


Sembari terus berjalan, dan kesal dengan jalan yang belum juga di perbaiki, tiba-tiba suara serene dari kejauhan terdengar bising.


“Wiu..wiu..wiu..tet..tet, tet..tet”


Ternyata suara mobil pasukan pengawal Bupati. Melewati saya dengan kecepatan penuh.


Saya kembali berucap, “nyanda dapa rasa lobong sto dorang tudia kong bawa kendaraan nintau diri”.


Setelah itu saya tersadar, “ohhh…itu kong dorang suka pake oto Pazero atau fortuner, jalang biar lobang nyamo ba rasa”.


Setibanya di rumah, saya tahu kenapa jalan rusak, selalu lambat di perbaiki.



Penulis:

Farid Mamonto

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Demokrasi Radikal, dan Komedi Tunggal

11 Juni 2023 - 16:59 WITA

Prancis, Kolonialisme dan Sepak Bola

11 Desember 2022 - 09:09 WITA

AGNOSTISISME: Antara Keterbatasan Pikiran Atau Lumpuhnya Keimanan

5 Mei 2022 - 00:24 WITA

Tentang Maaf Lahir Batin

3 Mei 2022 - 11:59 WITA

Assalamualaikum Pak Dokter! (Bag. 1)

10 September 2021 - 12:50 WITA

Surat Terbuka untuk Alin

24 Mei 2021 - 19:10 WITA

Trending di Esai