![]() |
Sumber gambar; Terakota.id |
Menjadi intelek adalah impian bagi mereka yang ingin disebut sebagai intelektual. Seorang yang cerdas, bijak, serta memiliki kadar keilmuan yang luas nan mumpuni. Hari ini, untuk menyebut seseorang sebagai intelektual adalah hal yang mudah saja. Tetapi untuk mencari sosok intelektual sejati, tentu tidak semudah menyebutnya sebagai intelektual.
Penilaian orang tentang sosok intelektual sangatlah beragam. Ada yang mengatakan sosok intelektual adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi (Universitas).
Sebagian lagi mengatakan intelektual itu adalah seseorang yang rajin membaca, menulis dan berdiskusi, atau mereka yang suka berdemonstrasi untuk menyuarakan ketidakadilan, dan sebagainya.
Berdasarkan pemahaman mengenai intelektual secara umum bahkan seperti yang sempat dipaparkan oleh kawan Panji Datungsolang sebagai pemateri dalam diskusi yang bertema; ‘Menelisik Lagi Peran Intelektual’ yang diselenggarakan oleh teman-teman pengurus cabang KPMIBU Minahasa pada hari Jum,at, 3 Februari 2023 melaluli via google meet. Ia mengatakan, masih banyak para kaum intelektual yang masih mengabaikan bahkan melupakan mengenai asas-asas dalam berintelektual, bahkan diri kita sendiri adalah bagian dari mereka yang sudah bahkan tidak mau tahu lagi mengenai peran intelektual itu sendiri.
Namun, untuk menjadi sosok intelektual yang idealis ataupun intelektual yang emansipatoris bukanlah hal instan yang bisa diperoleh dalam waktu lima menit.
Mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang intelektual harus membuka kembali ruang baca, menyemarakkan ruang berpikir dan memberdayakan ruang tulis. Suka atau tidak suka, ketiga hal ini adalah kunci utama menjadi seorang intelektual sejati.
Apabila ketiga hal ini tidak diterapkan oleh seorang intelektual, artinya mereka sedang menumpuk dosa-dosa sebagai seorang intelektual.
Untuk menghilangkan tunduhan seperti di atas, sudah selayaknya tugas kita sebagai kaum muda yang katanya; berintelektual untuk kembali menelisik peran inteletual itu sendiri. Diantaranya sebagai berikut:
– Orientasi Intelektual
Orientasi intelektual pada hakikatnya harus berpihak pada yang tidak bermodal (tertindas). Kelompok intelektual mau tidak mau harus memfasilitasi segala jenis kekurangan melalui pemberdayaan sosial. Tanggung jawab seorang intelektual untuk mengaplikasikan kapasitasnya amatlah penting. Kaum terdidik yang mengemban identitas sebagai seorang sarjana atau profesor adalah suatu perkara serius yang perlu ditindaklanjuti. Merekalah yang perlu dicari apabila masyarakat terjebak pada kondisi stagnan atau yang paling kacau sekalipun
Orientasi kelompok intelektual harus diputar kembali. Dari orientasi yang berpihak pada suasana kapitalistik menuju suasana yang merakyat. Meski (barangkali) tidak mudah untuk terlepas dari jeratan tersebut, yang senantiasa memaksa untuk adaptif dengan gerbong modernitas, serta terlepas dari kecenderungan pada nilai-nilai ekonomi dan material. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa peran intelektual untuk membuka jalan baru yang berada di luar arus besar penuh dikte itu dapat terlaksana.
Meski saat ini masyarakat pelan-pelan sudah terbentuk sebagai individu kompetitif. Anak-anak yang masih mengemban pendidikan dasar, remaja, atau pemuda yang berangkat dari desa untuk mempertaruhkan hidupnya di kota, nyaris kesemuanya memiliki cita-cita yang cenderung individualis. Ketimbang melakukan suatu perubahan besar secara kolektif.
Desa menjadi sepi, dan pemudanya berkarier di tempat-tempat jauh. Anak-anak yang masih berseragam mengganti tujuan hidupnya sebagai seorang influencer (penikmat Tik-Tok). Remaja menghabiskan waktu di pinggir jalan, memamerkan modifikasi motor atau mobil dengan polusi suara yang membikin telinga pekak.
Lantas, setelah fenomena itu hampir selalu mudah ditemui, dan bahkan sampai dianggap sebagai peristiwa wajar, ke manakah para kaum intelektual? Akankah kecurigaan lama yang menyebut mereka sebagai kelompok yang sibuk mengerjakan proyek besar para pemilik modal (penindas) masih berlaku hingga saat ini?
Mungkin asumsi tersebut memang tidak bisa menjadi acuan untuk menggeneralisasi kondisi kelompok intelektual –di luar struktur masyarakat yang terlanjur membuat keberadaan mereka terkesan asing– tetapi perlukah para kelompok intelektual itu menunggu datangnya situasi gawat seperti masa-masa menjelang Reformasi 1998 untuk turun menemui masyarakat sebagai wujud pertanggungjawaban moral?
– Jalan Panjang Perubahan
Kali ini, masyarakat lebih sering mencari cara-cara praktis dalam mengepul pengetahuan. Daripada mengikuti acara-acara diskusi atau forum yang memungkinkan kita untuk bersilang pendapat, atau setidaknya melalui suatu pertemuan yang dapat melahirkan konsensus dalam menentukan arah baik kehidupan bersama.
Besar kemungkinan hal itu terjadi karena kurangnya pengawalan dari gerakan-gerakan intelektual. Ketika gerakan intelektual meredup, dan wacana menjadi tidak teratur dan sulit dibaca dengan terang, maka sudah barang pasti masyarakat akan merelakan dirinya pada jurang kesesatan berpikir sehingga membuat mereka enggan untuk diajak bekerja sama.
Alhasil, akan muncul sifat-sifat intoleransi, kriminalitas semakin tinggi, tindakan amoral dianggap normal, serta perhatian masyarakat terhadap rantai tradisi dan kebudayaan terputus.
Semestinya perlu diingat, bagaimana Sukarno pada masa-masa revolusioner berhasil membangun wacana perlawanan melalui istilah nasionalisme, sehingga membuat rakyat memiliki kesadaran kolektif untuk memusuhi kolonialisme. Atau tentang Gus Dur, yang dengan berani “memanggungkan” kelompok-kelompok minoritas dengan gerakan toleransi. Tan Malaka, tanpa diketahui oleh siapapun, mengorganisasi pemuda progresif dan memerangi barisan intelektual belanda dengan berbagai pewacanaan dari sayap kiri.
Mereka, para kaum intelektual itu, mengorbankan jalan panjang hidupnya demi keselamatan sejarah dan keberlangsungan hidup orang banyak. Siapa pun tahu, tidak semua perjuangan berjalan mudah. Musuh dan belantara konflik adalah keniscayaan yang wajib dihadapi. Namun pada titik itulah, tanggung jawab moral seorang intelektual dipertaruhkan.
Maka tugas KITA yang mengaku sebagai intelektual sudah seharusnya menghidupkan kembali gerakan-gerakan intelektual yang pada masa ini sudah mulai redup bahkan hilang dikalanagan para PEMUDA yang mengatasnamakan dirinya sebagai MAHASISWA.
__________________
Herman Dunggio,
Penulis ini masih malu-malu untuk menceritakan dirinya. Dapat ditemui di Instagram @dunggio94_