Ilustrasi: wikimedia.org |
Kemarin Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) merayakan hari jadinya yang ke-14 tahun. Tentu saja, dalam kondisi pandemik seperti ini, keramaian menjadi hal yang tabu. Orang-orang takut tertular, sebab pilihan terbunuh (tertular) atau membunuh (menularkan) merupakan hal yang sama-sama terlihat kejam, orang-orang tidak mau ada di posisi itu. Jadi, jangan heran bila pemerintah harus merayakan momen ini ala kadarnya, sesederhana mungkin, dengan sedikit pidato dan banyak-banyak pencitraan tentang pencapaian.
Sebenarnya, ‘hari jadi’ sebuah (pemerintahan) daerah tidak perlu dirayakan dengan gegap gempita. Itu tidak begitu penting. Sebab, daerah ini dimekarkan dan pejabatnya digaji bukan hanya untuk meniup lilin, lalu “potong dan bagi-bagi kue”, sedang rakyat hanya disuruh memasang umbul-umbul — sekadar untuk memeriahkan suasana yang justru menambah ambiguitas ruang publik. Bukan itu.
Harusnya, soal apakah setiap elemen masyarakat sejahtera, seperti halnya para pejabatnya, yang dijadikan topik perbincangan dan evaluasi. Kalau sejahtera kan rakyat senang: kebagian “kue”, bukan hanya sekedar menjadi tukang bersih-bersih saat pesta perayaan selesai.
Bagi saya, momen-momen ulang tahun seperti ini akan lebih produktif dan “berpahala” kalau kita banyak berbenah (evaluasi), muhasabah diri. Sebab, masih banyak hal yang belum tercapai. Kita harus temukan akar masalahnya dan secepat mungkin menyelesaikannya, sembari mempersiapkan diri untuk mengantisipasi persoalan yang lebih pelik di masa yang akan datang.
Empat belas tahun yang telah lewat itu, bagi rakyat, merupakan waktu yang amat panjang. Terasa panjang, sebab sampai hari ini harapan mereka belum juga tiba. Masih banyak janji yang belum terpenuhi –mungkin yang berjanji lupa, atau rakyat yang kena tipu, padahal sudah tiga kali pemilu. Anehnya, mereka masih tetap menunggu dan diam-diam menulis harapan dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti oleh mereka yang dibutakan oleh kekuasaan.
Di sisi lain, kontras dengan penguasa: empat belas tahun itu merupakan waktu yang teramat singkat — Kalau bisa diperpanjang, pasti mereka akan melakukannya dan menikmati kemewahan kekuasaan itu tanpa ada cela. Makanya jangan heran kalau banyak pejabat yang mencalonkan diri berkali-kali, bahkan ada yang ingin masa jabatan itu ditambah lebih dari lima tahun. Kuasa itu memang candu, sayang, seperti rindu.
Disini, panjang dan pendeknya waktu, ternyata hanya tergantung pada siapa mengais kenikmatan dan siapa yang memperoleh kesengsaraan. Tapi, panjang atau pendek itu bukanlah soal, sebab satu detik ketika kekuasaan beroperasi, kita sebagai rakyat punyak hak untuk mengevaluasi setiap gerak-geriknya. Artinya percakapan politik harus ada di setiap detik helaan nafas warga negara. Sialnya, inilah yang absen di masyarakat Bolmut, sepanjang yang saya tahu.
Jujur saja, selama ini sangat jarang masyarakat Bolmut terlibat aktif dalam membicarakan kebijakan dan kepentingan publik secara intens dan mendalam. Pendeknya, jarang bicara politik. Kalau pun bicara, mereka tidak bisa diendus; tersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan. Padahal, segala hal yang berhubungan dengan kita, dalam aktivitas kita sehari-hari, selalu mempunyai dimensi politik. Kita tidak mungkin lepas.
Dalam hal ini, tentu kita harus memaklumi masyarakat kita yang tidak sepenuhnya paham dengan politik dan segala kekisruhannya. Mereka akan menganggap itu sebagai sesuatu yang rumit, hal yang tidak mereka mengerti. Mereka tak punya cukup pengetahuan untuk mengurai persoalan. Mereka hanya punya satu kelebihan: mengenal baik apa itu ketidakadilan, apa itu arti kebohongan, dan apa itu arti ketabahan. Tapi, mereka tidak mampu menyampaikannya secara lugas.
Namun, setahu saya ada banyak orang-orang hebat di Bolmut. Mereka terpelajar, aktivis, organisatoris, serta berprestasi yang datang dari berbagai generasi. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, mereka bisa menjadi kelompok yang diharapkan mampu mengartikulasikan perasaan rakyat dan membuatnya bisa didengar. Minimal, menjadikan suara hati rakyat itu, bisa memantik pembicaraan publik dengan argumentasi yang kuat dan hati yang jernih. Supaya apa yang kita sebut sebagai ruang publik, hidup.
Artinya, ruang publik kita akan hidup dan berfungsi bila rakyat, khususnya “orang-orang hebat” itu, aktif mengisinya dengan percakapan politik: tentang kebijakan pemerintah dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Bukan sibuk membangun citra, sementara penderitaan tercium jelas di depan batang hidung mereka.
Sialnya, itu yang absen. Kita bisa lihat di media sosial (ini merupakan ruang publik, yang pada era ini banyak digandrungi), hampir tidak ada pembicaraan mengenai kemelut persoalan-persoalan yang ada di Bolaang Mongondow Utara. Padahal, ada banyak persoalan yang harus dibenahi. Mustahil Bolmut baik-baik saja!
Mereka, orang-orang hebat ini, datang dari lintas generasi, ada yang sebelum 98 — yang mengaku ikut dalam perjuangan heroik untuk menumbangkan rezim Soeharto. Ada juga mereka yang datang dari generasi Reformasi dan sesudahnya (produk reformasi) yang ditempa oleh problem khas reformasi — yang dalam banyak hal lebih parah dari orde baru.
Untuk mereka yang tadi saya sebut sebagai generasi “sebelum reformasi”, hari ini mungkin sudah berusia di atas empat puluh tahun, banyak diantara mereka telah mengisi posisi penting di pemerintahan; ada yang duduk sebagai wakil rakyat ada juga sebagai pejabat eksekutif. Tapi, rasa-rasanya, militansi perjuangan heroik itu tidak lagi mewarnai ruang publik. Kemungkinannya ada dua: redup ditelan usia atau kuasa.
Apalagi, untuk mereka yang ada di dalam pemerintahan hari ini, postur kekuasaan lebih ditonjolkan dari postur intelektual. Coba kita cek, minimal media sosial mereka, tak ada lagi cuitan yang berisikan ide tentang apa yang menjadi problem “real” daerah ini dan bagaimana jalan keluarnya. Mereka ini, kesannya, alih-alih aktivis, ujung-ujungnya pragmatis juga. Ini semakin membenarkan, bahwa kuasa itu memang candu, seperti rindu.
Yang berpeluang untuk mengevaluasi dan menuntut lebih adalah mereka yang masih menjaga jarak dengan kekuasaan; yang masih betah berada di luar kekuasaan. Ya, Mereka yang saya sebut generasi reformasi dan sesudahnya. Tapi, sejauh ini terlihat sama saja. Bahkan, beberapa dari mereka — yang memang cukup populer — alih-alih menjaga jarak, justru seperti sedang melakukan “PDKT” dengan kekuasaan. Padahal, mereka ini punya nilai ketokohan. ‘Suara’ mereka akan sangat berpengaruh. Akan sengat lebih baik bila digunakan untuk menyalurkan aspirasi rakyat, bukan? Mirisnya, masing-masing dari mereka asik membangun citra.
Rupa-rupanya, Bolmut tidak kehilangan orang-orang hebat, mereka ada dan akan terus berlipat ganda. Namun, dengan absennya mereka dalam membicarakan kepentingan publik, pertanda mereka lupa — dalam banyak kasus, ada yang pura-pura lupa. Lupa bahwa kapabilitas mereka ditagih oleh rakyat.
Tidak perlu menunggu berkuasa atau disogok oleh kekuasaan, serta tidak perlu jadi pejabat untuk berbuat. Idealnya begitu. Namun miris, karena sering kali, terlalu gamblang terlihat bahwa masing-masing dari mereka terkesan asik membangun citra. Takut mengkritisi kekuasaan secara terbuka. Mungkin mau cari suaka.
Meskipun bagitu kenyataannya, tidak ada waktu untuk pesimis. Optimisme selalu menjadi tumpuan untuk menghadirkan jalan keluar. Seperti yang saya bilang tadi, “mereka selalu ada dan berlipat ganda”, itu cukup menjadi pegangan untuk optimis. Lagi pula, setiap generasi selalu muncul dengan kecenderungan yang berbeda di setiap zamannya. Saya meyakini, entah hari ini atau besok, akan ada genarasi yang mau turun tangan meskipun harus bersebrangan dengan kekuasaan, yang secara terbuka dan lantang bicara untuk atas nama rakyat. Genarasi dengan idealismenya yang terjaga sebagai hal yang berharga, yang tidak bisa diperjualbelikan dengan kekuasaan, apalagi dengan uang. Sebab itu harga diri.
Sebanarnya, dari “pembacotan” yang panjang ini, saya hanya mau ‘mengingatkan kembali’ dan sekaligus mengajak kepada kita semua yang sadar: jangan diam! Sebab, dalam demokrasi, “mode senyap” itu pertanda bahaya dan ruang publik harus dimanfaatkan sebaik mungkin; dengan pembicaraan yang berarti demi kepentingan bersama. Jadi, kepada para orang-orang hebat, tolong jangan diam, bicaralah. Kalau pun bicara, yang lantang dan terbuka, jangan sembunyi-sembunyi. Itu saja.
Penulis,
Gugun Pohontu