Mbah Google. Sumber gambar |
Omabak
Tentu ia akan bersikap biasa saja. Tapi sekarang? Bagaimana ia tak khawatir akan nasib Omabak dengan membuang dewa Mam On dan menggantikannya. Omabak seakan diam-diam telah menyelut api peperangan dengan Ondoafi “kepala suku”. Ibarat perang telah ditabuh!
Cerita ini tentu di jelaskan dengan bijak , pendek tetapi mendalam. Ia lantas dihukum dan dikutuk oleh Ondoafi. Novel “Amungme” yang ditulis Peringga Ancala; tentang kisah remaja yang bersekolah di luar tanah kelahiran, dan kembali, namun ia di tuduh menghina dewa suku Amungme.
Dalam sastra yang memikat untuk dibaca, Omabak seorang pemalu, lahir di pedalaman Papua tepatnya desa Opitawak, dari keluarga biasa–delapan tahun di kota besar “Yogyakarta”.
Mereka sempat tercengang, bingung, dibuat bingung oleh Omabak dengan dewa baru itu. Ada ketertarikan, ia mengilustrasikan dengan kelembutan dan tak memaksa, tentang ke-Esa-an pertama pada Ibunya.
Dalam agama barunya, ia sempat bercakap, “Dia itu maha pengasih dan maha penyayang. Kalaupun itu ada kecelakaan, itu karena kesalahn kita sendiri”
Dikisahkan suatu ketika, Omabak harus sembunyi dalam kegelapan untuk menyirami setiap tubuhnya (berwudhu). Apa yang terjadi dari persembuyiannya itu?
Seperti sinar mentari yang di ruang gelap, tetap akan kelihatan sinarnya, meskipun itu sedikit.
Nebea, Kekasih Omabak dan anak dari Ondoafi (Kepala dan pembuat kebijakan) melihatnya.
Ia begitu kaget di antara remang remang cahaya dengan pergerakan aneh. Ia konyol, mengada-ada tentang Tuhan. Memang benar di antara lembah pegunungan Jayawijaya, sebelum P.T Freeport hadir 1970, desa Opitawak tidak mengenal pendidikan formal (mereka sulit menerima pembaruan).
Saya kira ini dilematis, ia lahir dengan latar etnik, budaya, dan kepercayaan yang berabad-abad sudah dipegang oleh masyarakat desa, sedikitnya ada kisah tentang dewa Mam On sebagai Dewa kasih dan rahmat, mesti diganti dengan nama Tuhan “Allah Ta’ala”.
Benturan-benturan itu tentu sangat jelas. Diperlihatkan dalam realitas, ia mesti di kutuk. Di penghujung novel Amungme, ia tersenyum, lamunan itu akan nyata tak akan lama lagi; lantas ada syukur, warga opitawak bersujud dengan indah.
Kita tahu bersama, beribu abad yang lalu dalam cerita Abraham (versi agama Yahudi). Abraham dan Tuhan pernah ada perjanjian:
“Jika anak cucu-cecetmu, beriman kepadaku akan kuberih rahmat”. Ini dilanjutkan oleh Ishak dan Yakub, sampai pada periode Musa dan diakhiri oleh Muhamad.
Entah berapa jilid kitab dan nasab mesti diterjemahkan dari masa periode tersebut hanya untuk menerjemahkan keberadaan Tuhan. Dalam periode itu, mereka yang di anggap sebagai tangan kanan Tuhan harus kocar-kacir memposisikan Tuhan dalam kehidupan, dalam sosio-historis-nya Tuhan banyak diterjemahkan melalui kejadian alam yang dinamakan, dewa.
Tahun 764 Masehi misalnya, orang Jawa kuno sudah mengenal sekte paham Bairawatantra yang merupakan Sinkertisme antara agama Budha aliran Maharsyana dan agama Hindu aliran Siwa.
Untuk mencapai kebebasan dan pencerahan dalam pengabungan terhadap dewa tertinggi ada garis-garis saling terhubung antara penyembah dan yang disembah, diiringi tarian-tarian, korban bersiap dalam ritualnya dan diakhiri dengan kebebasan bersetubuh.
Sepertinya ini sulit, kejadian tanpa ukuran moral tersebut. Memang benar, tuhan sempurna dan maha segalanya, menghadirkan utusan-utusan. Seperti Wali Songo masuk melalui budaya tanpa meninggalkan budaya itu.
Coba kita bayangkan, andai kata kebiasan-kebiasan itu masih subur kita lakukan, mungkin ada berapa orang yg jadi korban dalam setiap ritualnya?
Dalam situasi itu, kita membayangkan ketakutan: takut pada ia sang pemarah dan sedih, pada dia yg menghilangkan.
Kita tahu cerita Tuhan sudah banyak tertera dalam kitab kitab suci, dan cerita kenabian; akan tetapi dari zaman ke zaman mereka akan bertanya wujud tentang-Nya.
Mungkin barangkali Armstrong dalam A History of God, menjawabnya “Satu-satunya cara menunjukkan rasa hormat kepada Tuhan ialah dengan berbuat baik secara moral tanpa mempedulikan apakah Dia ada”
Lebih dari itu, kedua cerita di atas,
novel “Amungme”, dan cerita jawa kuno ada kesamaan yang mesti kita lihat, cara menyebarkan kepercayaan-kepercayaan itu: lewat kultur, Tuhan dihadirkan. Tuhan akan indah, tak menakutkan, tak mencekam, ketika diterjemahkan lewat cinta-kasih.
Lewat kitab suci , tuhan pernah berbicara
“Aku tergantung apa yang kamu fikirkan”.
Penulis:
Yono Mokodenseho
Editor:
Panji Datunsolang