Menu

Mode Gelap
 

Sekitar Kita · 21 Des 2020 01:56 WITA ·

Mokillungka, dan Masalah Ekologis


 Mokillungka, dan Masalah Ekologis Perbesar

Redbubble


Sejatinya Tuhan memberi hidup kita melalui alam. Di dalamnya, kita disuguhi beragam makanan berlimpah, air yang cukup, dan kayu serta pepohonan sebagai tempat berteduh. Dan darinya pula, lahir segala perabot kebutuhan hidup, juga sebuah kebudayaan (alat musik).


1905 jika tidak salah menyebut tahun. Bintauna keluar dari hulu menuju hilir. Sebuah proses panjang terjadi di dalamnya. Mereka yg tiba lebih awal membangun perkampungan disekitar sungai Minanga. Komalig pun didirikan ditempat itu. Sedangkan yang lain, tetap berada pada posisi awal. 


Ketika itu, Mohammad Toradju Datunsolang menduduki jabatan kepemerintahan Raja. Masyarakat hidup damai sejahtera di bawah naungannya. 


Dengan letak yang tak berjauhan dengan sungai Minanga, masyarakat coba menyesuaikan gaya hidup mereka dalam mencari kebutuhan pakan. Mengingat, air di sungai itu bukanlah air tawar. Melainkan air payau. Memancing ikan air payau, mencari kerang dan kepiting adalah sebuah kebiasaan baru. 


Killungka. Sebuah metode mencari kerang bakau (Llungka), dengan bermodalkan pisau atau golok yang kemudian dihunuskan kepasir atau lumpur. Tanda adanya Lungka, adalah ketika cangkangnya mengeluarkan bunyi ketika terjadi gesekan oleh benda tajam. Atau, dengan melihat permukaan air yang dangkal. Llungka akan mengeluarkan gelembung-gelembung kecil. Metode ini menguji ketajaman mata serta konsentrasi tinggi. Tak banyak yang bisa melakukannya.


Di hulu, ada kerang yang hampir mirip dengan Llungka. Namanya adalah “Sambango”. Begitu orang Bintauna menyebutnya. Hanya saja bentuknya sedikit pipih. Sebaliknya, Llungka agak “tembem”.


Selain menjadi lauk, cangkangnya juga bisa digunakan. Kebiasaan orang Bintauna dulu adalah mengunyah pinang dan sirih (Momama). Seperti halnya nasi, pasti tidak enak jika tidak ditemani sayur dan ikan. Begitu juga dengan Momama. Cangkang dari Llungka tadi dikeringkan. Atau untuk mempermudah, bisa juga dibakar untuk menghilangkan lapisan dasar cangkang. Setelahnya, cangkang yang dikelupas tadi ditumbuk sampai halus seperti kapur halus. Inilah yang kemudian menjadi “kapur sirih”. Rasa sepat dan sedikit pedas pada sirih, akan dinetralkan oleh kapur ini. Ada semacam cita rasa tersendiri menurut orang-orang yang punya kebiasaan nyirih ini.


Tak hanya itu, proses Mo killungka melahirkan insan-insan yang produktif. Kapur tadi, jika dengan kuantitas yang cukup banyak, dapat digunakan sebagai campuran tanah liat. Perabot dapur misalnya (piring). Ia akan kokoh jika kapur tadi bercampur dengan tanah liat untuk dibentuk.


Pengetahuan semacam ini tak instan. Pun, tak kita dapati di bangku sekolah. Sampai kini, budaya Mo killungka masih tetap lestari. Meskipun, kerang atau Llungkanya sudah tak “se-semok” dulu. 


Namun, ada hal yang cukup merisaukan yaitu sampah yang telah memenuhi hutan bakau. Ekosistem pun mulai terganggu. Banyak llungka yang mati akibat ulah manusia yang sembarangan membuang sampah. Begitu pun dengan hewan-hewan bakau lainnya. Kehidupannya terganggu dan terancam musnah. 


Sampah adalah salah satu problem terbesar di negeri ini. Sudah saatnya, kesadaran naif kita aktifkan. Jangan lagi ada sampah-sampah yang berserakan. Segala penyakit akan mudah tumbuh dan akhirnya menyerang manusia itu sendiri.


Sekiranya, ini menjadi perhatian kita semua. Tanpa alam, kita tak akan bisa hidup lebih lama. Darinya semuanya tersedia. Lingkungan bersih, budaya mo killungka juga akan tetap lestari.



Rian Laurestabo

PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah, Adat dan Kebudayaan Bintauna Inomasa Study Club)

Editor:

Ersyad Mamonto

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ramadhan dan Bola Api

27 Maret 2023 - 22:04 WITA

LONG-LONG : Mainan Tradisional Bulan Ramadhan yang Hilang di Makan Zaman

27 Maret 2023 - 06:35 WITA

Tradisi Masyarakat Muslim Bolaang Mongondow: Awal dan Akhir Ramadan

2 Mei 2022 - 02:56 WITA

Ponukuto: Tradisi Non Medis dan Nilai Luhur

27 April 2022 - 18:24 WITA

Refleksi 10 Desember: Tentang Kemanusiaan Kita

9 Desember 2021 - 18:32 WITA

Membangun Etika Komunikasi

10 Juli 2021 - 00:00 WITA

Trending di Esai