Potret Bolmut dari ketinggian (perspektif dominan). Sumber gambar lensa news |
Di Ibu Kota terbentang jejeran gedung-gedung tinggi tengah mencakar langit. Jika diingat seabad yang lalu kota yang disebut sebagai Jakarta itu, bukanlah kota metropolitan seperti sekarang. Sebuah tempat yang dulunya bernama Gunung Tallo/Hulonthalo (?)—sekarang Gorontalo—dulunya juga tidak berperawakan seperti sekarang. Kini kota-kota itu berkembang sejak ia dikenal sebagai tempat yang berdiri sendiri, atas administratif, ekonomi, sejarah dll.
Wajah kota bukan hanya menampilkan kemajuan, tapi juga deretan peristiwa-perubahan, yang digerakan oleh tiga komponen: manusia, tempat dan waktu. Diktum itu bisa dipakai untuk melihat sejauh mana capaian-capaian yang dicita-citakan, sejak keinginan mengurusi diri sendiri atau dalam bahasa politik-pemerintahan, otonomisasi, tercapai.
Lima belas tahun lalu, atau bahkan jauh ke belakang, hal serupa terjadi. Pengupayaan oleh kelompok manusia di pesisir pantai Utara paling Utara di Sulawesi Utara, untuk bermufakat mengurusi dirinya sendiri. Ada berbagai macam alasan, dalam fenomena yang disebut otonomisasi ini. Di antara semua pra-duga itu adalah, arus sejarah, dan atau ketidakadilan-ketertinggalan dari daerah sekitar pusat ibu kota kabupaten induk. Subjek yang dimaksud itu adalah Bolaang Mongondow Utara atau Bolmut.
Dalam relasi sejarah pemerintahan, ada tiga swapraja yang dulunya mengatur wilayah ini: Bintauna (17 M-20 M), Bolangitang (18 M-20 M) dan Kaidipang (16 M-20 M), hingga kemudian menjadi kabupaten. Pergulatan menjadi kabupaten bukan persoalan mudah. Sudah layak diketahui umum, perjuangan tersebut mengerahkan, peluh keringat, uang dari kantong pribadi atau kolektif, dan bahkan, jika perlu darah bisa diberikan—dalam artian positif—untuk memekarkan daerah ini. Tidak seperti sulap, simsalabim jadi, kehadirannya melewati rentetan petemuan-pertemuan intens, serius, gelak tawa, dan kobaran api persatuan. Hingga, setidaknya, jika ingin menuliskan dalam sejarah yang serius, kita perlu memilahnya dalam beberapa periode.
Pertama penemuan awal sebagai Binadow. Nama yang menjadi usulan awal—sejauh yang diketahui—diambil dari singkatan tiga nama kabupaten tersebut Bi=Bolangitang, Na=Bintauna, Dow= Kaidipang (Nama tua Kaidipang), bahkan dalam penemuan lain ada deretan nama yang berbeda, Bintauna, Bolangitang dan Kaidipang. Era ini patut dilihat sebagai pembentukan atau latar belakang kehadiran Bolmut. Patut untuk ditelusuri lebih serius dalam sebuah penelitan khusus, tentang pemufakatan isitilah ini, jauh sebelum kehadiran presidium pemekaran. Dari sanalah kita bisa memahami alasan paling penting Bolmut lahir.
Kedua era pergulatan. Era ini bisa dilihat sebagai periode tengah menuju kelahiran Bolmut. Jika dipotret jelas, peristiwa penting hadir dalam era ini, juga—bisa jadi—turut mengkonstruksi politik kontemporer. Bisa dilihat dari hubungannya ke dalam, peran antar elit-masyarakat, dan hubungannya ke luar, yang berkompromi dengan politik Bolaang Mongondow dan Nasional. Hingga melahirkan dua hal yang umum deketahui dari daya tawar tersebut: Kecamatan Buko yang diminta diganti dengan Pinogaluman, dan Binadow yang diganti dengan Bolaang Mongondow Utara.
Ketiga era kelahiran. Era suka cita dengan terbitnya UU pemekaran tentang Bolmut. Episode ini merupakan peristiwa haru, perjalanan panjang dari penemuan dan pergulatan. Sekaligus babak baru sejarah, bagaimana Bolmut kelak.
Namun sayang, Bolmut sejauh ini, sudah tiga peridoe pemerintahan, belum mempunyai tulisan yang dianggap representatif untuk menceritakan setiap episode peristiwa pentingnya. Bukan saja hal ini sebagai tanda sikap apatis terhadap sejarah kelahiran, namun, bisa menjadi hal yang tidak bagus bagi generasi setelahnya.
Kalau bisa kita membagi kelompok dari pra-pemekaran dan setelah pemekaran, maka nampak dua generasi: Generasi pertama, yang bersentuhan langsung dan sadar dengan proses yang terjadi. Kisaran kelahiran generasi ini adalah 60’-90’, dan; Generasi kedua adalah yang kita sebut sebagai Milenial, Z dan Alpha. Kelompok yang tidak bersentuhan langsung dan hanya merasakan romantisme/oraliti dari generasi pertama. Jika bisa jujur juga, hal tersebut bisa saja menjadi sangat bias karena bergantung subjektifitas yang tinggi dari orang per orang. Atau dalam keadaan yang lebih parah, generasi kedua bisa saja tidak mendapatkan, sepenggal cerita tersebut.
Sudah lazim diketahui, bahwa, setiap generasi memerlukan hubungan dengan pendahhulu entah secara moral, biologis atau mental (pengetahuan), hal ini tidak lain agar kompas yang ditetapkan dulu masih diketahui, digunakan untuk mengurai dan mengarungi kehidupan akan datang, tat kala generasi kedua telah siap menjadi motor penggerak Bolmut/Binadow. Pertanyaan penting kemudian, bagaimana jika kelak kompas tersebut hilang dari mata generasi kedua?
Ersyad Mamonto
KPMIBU (Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow Utara) Cabang Persiapan Jakarta