Menu

Mode Gelap
 

Sosbud · 10 Des 2020 01:13 WITA ·

Membincang Literasi dan Historiografi di Bolaang Mongondow Utara


 Membincang Literasi dan Historiografi di Bolaang Mongondow Utara Perbesar

Pinterest.com


Sudah berapa kali, sebagian orang menuturkan tentang getirnya literasi atau masalah kepenulisan di Bolaang Monfondow Utara (Bolmut). Mulai dari masalah kesejarahan (historiografi) sampai pada hal memajukan semangat mencintai literasi. 


Tentu literasi tidak hanya bermakna tunggal, yaitu hal yang tersurat, yang disusun melalui tanda yang kita sebut aksara dan dimushafkan kemudian bisa kita sajikan untuk dibaca. Lebih dari itu, literasi adalah proses mencintai warisan pengetahuan, entah lewat aksara atau oral. 


Beberapa protes itu muncul tidak lain karena melihat tumpukan buku yang hanya dijadikan pajangan, atau pendidikan kita tidak melahirkan melek cinta buku. Bahkan, di tingkat selanjutnya adalah bagaimana kita menggembirakan alam nyata dan alam maya dari hasil bacaan dengan menulis. 


Menulis menjadi cita-cita yang utopis saat tahap membaca menjadi sesuatu yang tidak penting. Bukan berarti bahwa literasi secara tunggal lahir dari kegiatan membaca. Tapi, untuk sekarang dengan dunia yang ditentukan oleh bagaimana wacana dimainkan melalui aksara (huruf), di sosial media misalnya, hampir mustahil melahirkan literasi ideal tanpa kegiatan membaca. 


Tanpa dimuat dalam angka statistik pun, sudah diketahui bahwa Bolmut semenjak kelahirannya ketinggalan masalah literasi dibanding tetangganya. Diterka saja, dalam lima tahun terakhir ada berapa penulis Bolmut yang menerbitkan buku?


Hal ini belum termasuk kritik kepada pendahulu kita seperti H.T Usup. Karyanya tentang Sejarah Kaidipang Besar, banyak dikritik di mana-mana. Tapi, sayangnya, kritik itu hampir tidak berarti. 


Sebab argumentasi yang dibangun Usup melalui bukunya hanya sekedar menjadi obrolan tanpa adu wacana. Padahal, suatu karya akan hidup saat dia dikritisi. Dalam posisi ini, Usup telah menang. Sebab belum ada yang menandinginya selain menggosipkan karyanya.


Justru hal ini berbalik saat karyanya dibicarakan oleh dunia. Dalam memujinya saja Jason William Lobel dalam jurnal University of Hawai’I Press menempatkan Usup dalam kolom khusus. Di paragraf akhir label, ia menyebutkan: 


” Hunggu Tadjuddin Usup represented something that many places only dream of: a talented local who studied not only in the nation’s Western countries, yet never let the temptations of a high ranking him away from his native province ”.


Untuk Generasi Selanjutnya


Usup adalah orang yang berhasil membangun era awal historiografi di Bolmut. Sebenarnya ada dua nama yang ingin saya ajukan sebagai penggagas awal, Usup dan satunya lagi yang semangat menguraikan sejarah Bintauna adalah C. Mokodenseho. 


Tapi, dengan segala keterbatasan, saya belum menemukan karyanya, selain Mokodenseho dikutip oleh beberapa penulis.


Di anatara beberapa karya Usup yang paling terkenal adalah Sejarah Kerajaan Kaidipang Besar (1979). Awalnya pada terbitan pertama, buku ini berjudul Dari Mokapog ke Kaidipang Besar (1973).


Usup cukup berimbang—meskipun hal ini bukan tanpa kritik—menyajikan perjalanan Kaidipang Besar. Ia tidak meminggirkan serpihan penting, yang dianggap beberapa sejarawan harus dibuang, karena dipandang sebagai mitos, tahayul atau sesuatu yang dianggap irasional untuk ukuran modern.


Misalnya, ia mengutip tentang hikayat “Gunta” dengan istrinya “Anggaduyo'”. Dikisahkan Anggaduyo sebelum menikah dengan Gunta diperistrikan oleh “Manggubi” (sejenis mahluk yang mukanya seperti manusia, seluruh badannya berbulu, berambut keriting dan sangat kuat).


Hal ini bukannya Usup tidak menyadari bahwa, bagi karya sejarah pengungkapan hikayat semacam ini akan dituduh sebagai sesuatu yang mengawan, tidak pasti atau khayalan. Tapi Usup dalam posisi sebagai akademisi berani merangkum khazanah pengetahuan “Kaidipang Besar” dan tidak meminggirkannya. Keberanian ini bukan tanpa alasan. Bagi sejarawan yang memang menulis tempat di mana dia dihidupi atau merasa lekat dari tempat tersebut, memahami alam pikir manusia-manusia setempat. Hingga tidak gampang melabeli khazanah tersebut sebagai sesuatu yang “tidak pantas” dalam dunia akademisi.


Ahmad Baso menegaskan ini dalam Islam Nusantara jilid I. Baso membedah, bagaimana perbedaan besar historiografi yang dipakai Hosein Djayadiningrat dan Ajengan Haji Hasan 

Mustapa.


Hosen Djayadiningrat menulis sejarah Banten dengan memakai istilah “tinjauan kritis”, dimana ia memilah dan memilih sumber yang dianggap rasional oleh peradaban Barat, di mana tempat ia belajar, dengan membuang mitos dan tahayul. Sedangkan Ajengan Haji Hasan Mustapa, saat itu ditugaskan oleh Snouck Hurgronje merekam perjuangan di Aceh. Mustapa meskipun di bawah Hurgronje, tidak membuang hal-hal penting berupa mitos.


Membincang mitos seperti dalam karya Usup, atau perbedaan kongkrit antara Hosein Djadiningrat dan Ajengan Haji Hasan Mustapa, merupakan cara bagaimana memaknai sebuah informasi yang khas di mana tempatnya berasal. Maksudnya adalah, di Nusantara secara umum punya model pencertiaan yang lain, dan hal ini berkonsekuensi bagaimana memaknai hal tersebut.


Untuk itu, saat melihat Usup dalam usahanya saat mengangkat apa yang benar-benar khas dalam alam pikir orang Kaidipang Besar, hal itu harus dimaknai dengan alam pikir manusia setempat, dengan menekankan bahwa mitos adalah bagaimana cara memandang dan selalu ada tempat untuk menginterpetasi hal tersebut sesuai dengan kerangka “rasional”.


Usaha seperti ini misalnya saat memaknai “pamali” atau “poso”. Alam pikir Bolmut dari Bintauna sampai Kaidipang Besar punya hal yang seragam untuk ini (poso). Poso bisa dimaknai sebagai sebuah ajaran moral. Kehidupan sebelum pengetahuan Barat masuk dan mendikotomi hampir segala lini cara berpikir, tentu tidak mempunyai pengalaman bagaimana poso ini.


Untuk itu setiap usaha melanjutkan Usup atau Mokodenseho, agar historiografi Nusantara lestari hanya dengan memaknai sesuai dengan khazana yang bersifat lokalitas, tentu dengan proses kritik juga. Bagaimana masuk dalam alam pikir manusia setempat, guna tidak ada serpihan penting yang terbuang karena alasan tahayul/mitos yang irasional.


Tulisan ini pernah disajikan dalam diskusi kepada teman-teman Bolmut pegiat literasi sejarah.



Penulis,

Ersyad Mamonto 

PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah Adat dan Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club). 

Editor,

Panji Datunsolang

Artikel ini telah dibaca 0 kali

Baca Lainnya

Saudagar dari Boeko, ‘Ajoeba Saidi’

15 November 2023 - 07:14 WITA

Maluku, Jejak Kelampauan dan Kekiniannya

5 Mei 2023 - 23:04 WITA

Ramadhan dan Bola Api

27 Maret 2023 - 22:04 WITA

LONG-LONG : Mainan Tradisional Bulan Ramadhan yang Hilang di Makan Zaman

27 Maret 2023 - 06:35 WITA

Lontong Medan: Cita Rasa dan Sensasi Keberagaman

12 Maret 2023 - 12:14 WITA

Sedikit Catatan Tentang Sejarah Kerajaan Kaidipang Besar

11 Maret 2023 - 13:08 WITA

Trending di Esai