Ilustrasi: Kajianpustaka.com |
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
Yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5, surat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad, terdapat perintah untuk membaca. Jika dipahami dalam makna yang lebih mendalam, pada dasarnya ini merupakan bentuk perintah untuk memperhatikan pengetahuan. Hal ini karena pengetahuaan sangat penting peranananya bagi manusia, sehingga Surat al-‘Alaq lebih menggunakan kata iqra’ dan al-qalam. Diakui atau tidak, keduanya sangat penting perannya dalam proses pembelajaran, khususnya dalam mempelajari sains dan teknologi.
Dalam mempelajari sains dan teknologi, membaca tidak sekedar melihat bacaan tertulis. Namun lebih jauh dari itu adalah membaca asma dan kemuliaan Allah, membaca teknologi genetika, membaca teknologi komunikasi, dan membaca segala yang belum terbaca, sehingga dengan membaca ini terjadi suatu perubahan, baik perubahan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu atau bahkan pada perubahan tingkah laku dan sikap yang merupakan ciri dari keberhasilan aktivitas belajar.
Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan dan ide-ide. Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi.
Tidak bisa dimungkiri bahwa dengan bergesernya peran negara dalam percaturan hubungan internasional, maka aspek kebudayaan menjadi sesuatu yang dalam hubungan internasional. Sementara itu, setiap kelompok budaya cenderung etnosentrik, yakni menganggap nilai-nilai budaya sendiri lebih baik dari pada budaya lainnya dan mengukur budaya lain berdasarkan rujukan budayanya. Karenanya, strategi komunikasi sangat diperlukan ketika kita dihadapkan dengan sistem nilai dan budaya yang berbeda.
Di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi terdapat banyak keterangan berkenaan dengan adanya komunikasi. Dalam hal ini komunikasi dipahami sebagai sebuah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol-simbol atau tanda-tanda. Dengan pemahaman tersebut, dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad ketika pertama kali turun wahyu di Gua Hira dapat dikategorikan sebagai proses komunikasi.
Di dalam dialog tersebut, Nabi yang awalnya tidak memahami apa yang ingin disampaikan oleh Malaikat Jibril, pada akhirnya memahami dan mengikuti apa yang disampaikan oleh Jibril yang kemudian dikenal dengan wahyu pertama surat al-Alaq ayat 1-5 sebagaimana tertulis di awal tulisan ini.
Begitu juga ketika Nabi menyampaikan (menceritakan) peristiwa yang dialaminya kepada Istrinya dan seorang pendeta dapat dikatakan sebagai proses komunikasi. Para pakar dan sarjana muslim belakangan ini banyak melakukan kajian mengenai komunikasi dengan berbasis Islam. Kajian ini sering disebut sebagai “Komunikasi Islam” yang merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang baru muncul dalam penelitian sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme Komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan Komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis.
Dalam perspektif Islam, kualitas komunikasi menyangkut nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, kesahihan pesan dan sumber. Ini semua menjadi aspek penting dalam komunikasi Islam. Oleh karenanya dalam perspektif ini, komunikasi Islam ditegakkan atas sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular Relationship), antara “Allah, manusia dan masyarakat”.
Al-Qur’an sangat menekankan etika berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam al-Qur’an yang meliputi fairness (kejujuran), accuracy (ketelitian, ketepatan), tanggungjawab dan kritik konstruktif. Dalam Islam, prinsip informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat bebas nilai, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna.
Dengan demikian, Islam meletakkan tauhid sebagai dasar dalam komunikasi dan informasi. Al-Qur’an menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi. Dalam masalah ketelitian menerima informasi, Al-Qur’an misalnya memerintahkan untuk melakukan check and recheck terhadap informasi yang diterima.
Dalam surah al-Hujurat ayat 6 dikatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6)
Membangun dan mengembangkan etika komunikasi dalam Islam sesungguhnya tidak harus dimulai dari nol. Pembenahan pada aspek nilai dan etika harus mendapat perhatian serius sehingga ada keterpautan dengan ketauhidan dan tanggungjawab ukhrawi. Fungsi komunikasi dalam padangan Islam adalah untuk mewujudkan persamaan makna, sehingga terjadi perubahan sikap atau tingkah laku pada masyarakat Muslim. Ini sebagai bagian dari keberadaan Islam sebagai rahmatan lil’alamiin. Makna rahmat adalah sebuah keadaan sejahtera dan beradab yang dirasakan suatu komunitas atas keberadaan Islam yang menjiwai tatanan hidup bersama dalam suatu masyarakat.
Atas dasar itu, kita selaku umat Islam sudah selayaknya melihat ke arah yang lebih jauh lagi. Kita semua memiliki kewajiban untuk berdakwah. Dan dakwah tidak harus selalu berkhutbah di atas mimbar. Karena dakwah memiliki bentuk yang luas dan bervariasi serta fleksibel. Oleh karena itu, guna menjangkau khalayak yang lebih luas lagi dengan nilai-nilai dan etika yang digali dari prinsip Islam, komunikasi dalam berdakwah selayaknya menempatkan kedamaian dan keharmunisan sosial. Karena, tantangan yang kita hadapi lebih sulit lagi karena kita berhadapan dengan media yang beraneka ragam bentuk dan fungsinya, terutama dalam bentuk media sosial yang sering menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian sehingga mengancam harmoni sosial. Di satu sisi peluangnya begitu luas, namun tantangannya juga tidak mudah.
Semua tantangan tersebut menuntut adanya usaha keras dari kita semua, khususnya ulama, kyai dan ustadz agar dapat memberikan keteladanan dalam berdakwah dengan mengedepankan etika dan akhlaq dalam berkomunikasi. Di sinilah kita semua perlu belajar terus menerus untuk mengasah kemampuan-kemampuan kita semua, termasuk kemampuan untuk berkomunikasi berdasarkan etika Islam. Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. []
Penulis,
Ust. Idwar Wahyudi,
Pengajar di Yayasan al-Hikmah, Jakarta