Tampak depan Masjid Hunto 2021. Gambar: Fadhil Hadju |
Motor berderu-deru. Mentari menyala bebas
di angkasa. Menerangi siang hari dan membuat cuaca agak panas. Saya mengendarai
motor matic biru. Waktu menunjukan pukul 11.40 Wita, sedikit lagi waktu shalat
Jumat. Ada mobil, motor dan bentor yang ramai di jalan kota Gorontalo.
Saya menyusuri jalan di kelurahan Biawu, Kecamatan
Kota Selatan, Kota Gorontalo. Dengan maksud melaksanakan ibadah shalat Jumat,
saya memilih lokasi Masjid Hunto.
Papan selamat datang di kompleks Kawasan Religi Biawu
Serambi Madinah yang berwarna biru hitam menyambut saya. Agak usang tampaknya.
Para lelaki, tua maupun muda memasuki masjid melalui gerbang depan. Saya
memarkirkan motor di depan masjid, tepat di bawah pohon.
Jarak dari tempat parkiran itu tepat berada di depan
masjid hunto, dekat monumen atau entahlah namanya apa yang berbentuk sepeda
raksasa. Saya berjalan menyeberang jalan. Terlihat jelas dari depan masjid,
sebuah sketsa religi yang khas Gorontalo. Sebuah prasasti atau entahlah apa
namanya, dengan sebuah tulisan yang berbunyi pengumuman dari Olongia Sultan Amai pada rakyat
Gorontalo.
Pesan itu diawali dengan ucapan bismillahirrahmanirrahim, Tahuli Li Olongia Amay. Aadati hula-hula’a to
syara’a. Syara’a hula-hula’a to kitabullah. Ilimu amaliyolo, amali ilimuwalo.
Po’o patata yinthua, huta mola odutuwa. Po’o yinthua patata, huta mola obalata.
Potabiya popuasa to dunia dila baka. Popuasa potabiya dila baka to dunia. Kemudian
di tutup pertengan kalimat itu dengan garis tebal, dan disambung di bawahnya
lagi: Amalialo imani, isilamu, ikhsani,
to delomo qur’ani wau haditsi, palihalalo wolomo sifati lo sahabati. Po’o
piduduta aqidah, imani, ibadah, muammalah, muaasyarah, akhlaki. Pohongilio
syareati, tharekati, hakekati, ma’rifati, ma’rifatullah. Hulonthalango lipuntho
lipu lo adati hudungu lo ilimu tunuhiyo syareati. Poeela masa tuwawu mopotuwawu
lo qalibi, qauli wawu pi ili.
Artinya; Pesan Sultan Amai. Adat bersendikan syara’,
syara’ bersendikan kitabullah. Ilmu diamalkan, amal diilmukan. Tanya dengan
pasti, tanah tempat kita berbaring. Dirikan shalat dan kerjakan puasa, di dunia
tidak kekal. Puasa dan shalat tidak kekal di dunia. Kemudian masuk garis pembatas, dan
dilanjutkan. Amal, iman, islam dan ikhsan di dalam alquran dan hadits,
periharalah enam sifat sahabat. Memperkuat akidah, iman, ibadah, muammalah,
muaasyarah, akhlak. Dasar syariat, tarekat, hakekat, ma’rifat, ma’rifatullah.
Gorontalo/ Hulonthalo daerah kita, daerah adat, gudang ilmu dasar syariat.
Ingat suatu masa menyatukan hati, perkataan dan perbuatan.
Prasasti di depan masjid Hunto. |
Setelah itu saya memasuki masjid melalui gerbang. Di
depan gerbang tertulis sebuah angka 1495. Saya tidak tahu apakah itu menunjukan
tahun berdirinya masjid Hunto atau menunjukan hal lain.
Saya menanggalkan sepatu. Kemudian melewati koridor
masjid, menuju tempat wudhu di arah utara. Memasuki masjid, nuansa religius terasa sangat khas. Di tempat wudhu, saat memasukinya terdapat sebuah prasasti
atau entahlah apa namanya yang bertuliskan “Sumur Kramat Tempat Air Wudhu Raja
Amay Tahun 1495 M”.
Para warga dan jemaah masjid hunto percaya bahwa,
sumur yang berada tepat di arah utara masjid itu merupakan tempat wudhu Sultan
Amai. Saya menengok ke sumur yang berukuran kurang lebih dua meter kali dua meter
itu. Pemandangan yang menyayangkan yang nampak. Kondisi air yang berlumut
terlihat jelas dari posisi saya memandang. Sampah plastik tergenang bebas di
permukaan air sumur.
Kondisi yang
Memprihatinkan
Sumur itu telah dibuatkan penyedot air bertenaga
mesin. Saya mengambil wudhu di keran tepat di samping sumur. Air terasa sejuk dan segar. Setelah itu saya menuju ke dalam masjid. Memasuki dalam masjid saya
menepikan ransel di sudut masjid. Agar tak mengganggu jemaah yang lain.
Saya lanjut menunaikan shalat sunnah. Setelah itu, khutbah Jumat pun dimulai dan para jamaah menyimak dengan seksama. Kemudian dilanjutkan dengan shalat Jumat. Tanggal di kalender handphone menunjukan jumat, 1 oktober
2021.
Pengalaman shalat di masjid Hunto bukanlah pertama
kali. Saya pernah shalat jumat di masjid itu sebelumnya. Waktu melaksankan shalat,
saya sempat mengamati kondisi masjid Hunto.
Nampaklah masjid itu mengalami tahap pembangunan.
Entahlah, mungkin akan dipebagus lagi bentuknya, tanpa mengganggu keaslian
bangunannya. Kondisi masjid saat itu sangat asri. Bersih. Tiang-tiang penyangga
yang telah berdiri kokoh ratusan tahun nampak megah menghiasi masjid. Kondisi
sirkulasi ruangan sangat nyaman untuk tempat beribadah.
Di tahun 2021 ini, yang kedua kalinya saya
melaksanakan shalat jumat di masjid Hunto. Pemandangan pertama kali ke masjid tersebut tak terlihat lagi.
Di dinding-dinding masjid dipenuhi sarang laba-laba. Orang Gorontalo
menyebutnya lawango. Tidak hanya
dinding, kipas angin pun tak luput dari sergapan lawango.
Memandang suasana masjid yang saya harapkan menambah
semangat religi malah berbeda dari yang diharapkan. Warna cat dinding sudah
sangat pudar. Bahkan, cat yang ada di tiang penyangga itu sudah terkelupas. Terlihat tidak mengenakan mata.
Setelah melaksanakan shalat jumat, saya keluar dari
ruangan masjid. Ketika hendak pulang, saya mendengar beberapa jemaah masjid
tengah bercerita dan berdiskusi tentang suasana dan situasi masjid.
“So bukan mo
dapa karomah di sini ini. Bolo aroma yang ada,” ucap salah seorang pria,
jemaah masjid, yang umurnya setebak saya sekitaran 40 tahunan. Dia mengatakan
takmirul masjid kurang memperhatikan masjid hunto.
Bahkan, kata dia, cat masjid telah berumur satu
tahun, sejak puasa tahun 2020. Kondisi kamar mandi juga memprihatinkan. Kondisi masjid sudah sangat tidak terawat, sejak pengurus takmirul
masjid yang sebelumnya.
Saya bertanya pada pria itu, apakah masjid Hunto tidak
mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Dia menjawab, “Tidak ada.
Pemerintah so tobat mo kase bae ini
masjid,”.
“Tapi kan masjid ini merupakan situs budaya dan
sejarah yang harusnya diperhatikan oleh semua pihak, termasuk pemerintah,”
sahut saya.
“Tidak. Anggaran itu kami kumpulkan dari sumbangan
orang di jalan,” ketusnya.
Kemudian, dia menyebutkan tentang perahu yang berada
di arah barat masjid. Sebuah monumen berbentuk perahu, yang kata dia,
sejarahnya pernah digunakan oleh Sultan Amai. “Daerah Gorontalo ini kan dulunya
di kelilingi perairan. Jadi mungkin itu kapal yang diguanakan oleh sultan
amai,”. Kata dia, tempat monumen perahu itu sudah sangat kotor.
Monumen perahu. |
Saya kemudian permisi pada bapak itu, dan
menuju ke tempat monumen perahu tersebut. Saya berjalan menyusuri koridor masjid dan melalui sebuah pintu, nampak sebuah monumen kapal
yang di cat seperti warna kayu. Di tengahnya, ada tiang yang berkibar bendera
merah putih. Benarlah, kondisi di monumen itu sangat kotor. Di samping monumen
kapal itu, terdapat sebuah pohon yang amat besar. Konon cerita dari warga dan
jemaah masjid, pohon itu memiliki penjaga.
“Sangat sulit untuk ditebang,” tutur seorang pria yang
memakai kupiah karanji khas Gorontalo pada saya.
“Pernah ada ceritanya itu, pak?” tanya saya.
“Sudah banyak ceritanya. Pernah ada yang mencoba
tebang itu pohon, itu lehernya terputar ke satu arah, dan tidak bisa balik,”
“Sangat mistis. Kemudian bagaimana kondisinya orang
itu, pak?”
“Sudah. Dia sudah normal,”
Saya mengobrol dengan
pria itu di sebelah makam Aulia Maulana Syekh Syarif bin Abdul Azis. Yang di
prasasti makamnya tertulis: ta dihu-lihu
unthi lo ka’ba, artinya; seseorang yang memegang kunci ka’bah.
Makam auliya Maulana Syekh Syarfi bin Abdul Azis. |
“Siapa beliau ini pak?” sambil menunjuk ke arah makam
Syekh Syarfi bin Abdul Azis.
“Sejarahnya, beliau merupakan penerus setelah zaman
Sultan Amai. Dari prasasti itu, kata orang-orang bahwa beliau merupakan seorang
pemegang kunci ka;bah,”
Di sebelah makam Syekh Syarif bin Abdul Azis, terdapat
makam Sultan Amai. Makamnya terletak agak di depan sedikit. Terdapat tulisan di
prasasti makamnya yakni: ta olongia lopo
isilamu, artinya; seorang pemimpin atau raja yang telah mengislamkan
rakyatnya.
Sedikit Historis Islam
di Gorontalo
Makam Sultan Amai |
Pada mulanya, Gorontalo merupakan daerah
yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang disebut linula, kemudian dari kerajaan kecil itu
bersatu membentuk kerajaan besar yang disebut pohala’a. Pohala’a tadi
terdiri dari lima kerajaan besar disebut dengan de limo lo pohala’a. Kerajaan-kerajaan itu dantaranya; pohala’a Gorontalo (Hulontalo), pohala’a Limboto (Limutu), pohala’a Bone (Bune), pohala’a Bolango dan pohala’a Atinggola (Asba : 2014).
Terdapat dua kerajaan besar yang berpengaruh saat itu
yakni pohala’a Limboto dan Hulontalo. Hulontalo yang dipimpin oleh Raja Amai
saat itu. Kemudian, secara historis, keberadaan Islam di Gorontalo ditandai
dengan adanya pernikahan oleh Sultan Amai dengan seorang putri dari Palasa,
Boki Uwotango.
Raja Amai menjadi pelatak islamisasi di Gorontalo
setelah melakukan perkawinan dengan Boki Uwotango—putri dari Raja Palasa Ogomonjolo
(kumonjolo) di Siyendeng, Tomini, yang mempunyai pertalian darah dengan
raja-raja Ternate (Hasanuddin dan Basri Amin : 2012).
Pada masa pra islam, Gorontalo merupakan daerah yang
belum dimasuki oleh pengaruh apapun, termasuk pengaruh Hindu-Budha. Orang
Gorontalo dulu mempercayai sebuah kekuatan spiritual yang mereka percaya
bahwa ada roh-roh halus yang bersmayam
pada batu, gunung , pohon dan air (Asba : 2014). Dalam hal ini, rakyat
Gorontalo tetap percaya dengan kekuatan supranatural yang melebihi roh-roh
tadi, dan dipercaya sebagai Tuhan yang maha Esa. Dalam terminologi Suwawa “taquwata to mita niya Eya tuwawu laqu tuwawu
liyo”, artinya; Tuhan yang maha Esa dan kemaha-Esaan Tuhan, Tuhan tunggal
sebenar-benarnya tungga. Dan orang Gorontalo percaya bahwa sang penguasa
tunggal adalah Eya (Asba : 2014).
Dalam hal kepercayaan roh-roh yang bersemayam di batu,
gunung dll. Terdapat upacara pemanggilan roh leluhur disebut dengan mo’oduliya dan longgibila (Asba : 2014). Masyarakat Gorontalo dulu melakukan
upacara pemanggilan roh bukan untuk disembah, melainkan menjadi perantara atas
keinginan mereka pada Yang Maha Esa (Asba : 2014).
Penuturan salah seorang pemuka agama, Ustad Rionaldi
Doe (31), orang-orang Gorontalo dulu memiliki kepercayaan yang mirip dengan
agama kapitayan di daerah jawa. Dalam hal ini, seperti yang telah dijelaskan
mereka tetap percaya dengan Eya.
Selain itu, ada perilaku masyarakat Gorontalo awal
yang cukup menarik yaitu, mereka memelihara ternak babi. Babi menjadi hewan
ternak, yang kemungkinan digunakan untuk membantu pertanian, dan juga sebagai
bahan konsumsi.
Mengutip Hasanuddin dan Basri Amin (2012), proses
pengislaman Raja Amai dimulai dari kunjungannya untuk memperkuat hubungan kerja
sama dengan kerajaan-kerajaan di teluk Tomini. Pada kunjungan itu di kerajaan
Palasa, Raja Amai terpikat dengan Putri Owutango, Kemudian setelah disepakati
dalam kerajaan Palasa, akhirnya Raja Amai diterima lamarannya. Namun dengan
satu syarat bahwa, Raja Amai harus mengislamkan masyarakat Gorontalo.
“Syarat menikahi Boki Owutango itu bahwa Raja Amai
harus masuk islam dan mengislamkan rakyatnya. Ketika dia masuk islam, maka tiga
hari kemudian dia membangun masjid hunto. Selesainya pada hari jumat. Setelah
itu ia mengundang penduduk kerajaan hulontalo dan sekitarnya untuk menyembelih
piaraan babi. Dan Raja Amai berkata; bo
hunthi ngui tingoli monga boi, terakhir ini hari kalian makan babi.
Kemudian Raja Amai mengambil darah babi dan mengecapkan di dahinya. Tandanya
itu penanggalan sifat kekanak-kanakan rakyat Gorontalo,” tuturan Ustad Rionaldi
Doe pada saya.
Pernikahan Sultan Amai dan Boki Owutango itu selaras
dengan teori islamisasi di Nusantara yakni melalui jalur perdagangan,
perkawinan dan permukiman. Jika melihat prasasti yang berada di masjid hunto
waktu saya shalat jumat 1 oktober 2021, terdapat tulisan yang menyebutkan bahwa
penyebaran islam di Gorontalo sejak 1495 M.
Demikian halnya menurut Asba dkk (2014), pada awal
abad XVI, Gorontalo dipimpin seorang raja yang bernama Amai (1532-1550). Ia
menikah dengan Boki Owutango pada tahun 1525 (Asba dkk : 2014). Namun dalam hal
ini, saya melihat di prasasti makam Sultan Amai tertulis tahun 1460 M – 1535 M.
Saya tidak tahu apakah itu menunjukan tanggal lahir Sultan Amai atau bukan.
Yang jelas, peletakan pertama islamisasi di Gorontalo pada era Sultan Amai memimpin
dengan ditandainya berdirinya Masjid Hunto.
Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai
kerajaan di Gorontalo, ataupun mengenai sejarah panjang Sultan Amai dan proses
islamisasi di Gorontalo, atau mengenai proses lanjutan islamisasi di Gorontalo.
Jika ingin membaca soal itu ada buku Hasanuddin dan Basri Amin dengan judul
Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Lokal (2012); dan buku Potret dan Peran Tokoh
Islam Gorontalo Sultan Amai, KH. Abas Rauf, KH. Hamrain Kau dan Yoesuf Bulla
(2014) dan buku atau referensi lainnya.
Mistisime Masjid
Hunto
Mengunjungi masjid hunto membuat saya mengilas balik
sejarah-sejarah yang pernah saya baca maupun saya dengar dari bebera sumber,
seperti yang telah saya bahas sebelumnya. Peranan Sultan Amai sangatlah besar.
Terlebih medium masjid hunto sebagai sarana dakwah dan penyebaran islam di
Gorontalo.
Diskusi saya dengan bapak yang memakai kupiah karanji
pun lanjut. Di dalam masjid itu kata dia, seringkali terjadi hal-hal mistis.
Kata dia; “dipercaya bahwa, saat shalat tahajud di malam hari di atas pukul dua
belas malam, jangan shalat di shaf pertama. Karena di situ dipercaya, Sultan
Amai dan para penerusnya melaksanakan shalat saat malam,”
“Sudah adakah kejadiannya itu, pak?” tanya saya.
“Pernah ada orang dari Turki yang mendapat mimpi
bertemu dengan Sultan Amai. Saat itu ia shalat di shaf pertama saat malam. Dia
sudah tidak mau pulang. Di peluknya tiang masjid ini. Bersikeras tidak mau
pulang,”
“Kalau begitu saya ingin mencoba shalat tahajud di
masjid hunto saat malam,” ucap saya sedikit pelan.
“Kalau sholat tahajud itu, dan saat rukuk, mo dapa lia
kamari seperti ada bayangan di shaf yang kau sholat akan. Padahal tidak ada
orang selain kamu,”
Namun, dalam hal ini yang memprihatikan adalah kondisi
makam Sultan Amai dan para auliya pemuka agama yang makamnya ada di situ. Tidak
ada pembatas ataupun pagar untuk membatasi orang masuk. Seperti pembatas untuk anak-anak
agar tidak bermain secara sembarang di tempat itu.
“Pagarnya sudah ada. Tapi sampai sekarang belum
terpasang,” ucap pria itu.
“Iya. Harusnya ini kan di pagar. Seperti yang saya lihat
di makam sunan-sunan yang ada di jawa. Itu dijaga dengan baik, di pagari,”
“Sebenarnya ini masjid dalam naungan instansi
pariwisata,” ucap pria itu.
“Terus kenapa seperti tidak terurus begini, pak?”
“Saya tidak tahu kenapa,”
“Coba seandainya mereka itu, dari dinas pariwisata
sekali saja mengunjungi dan shalat di masjid ini. Pasti mereka akan mengetahui
kondisi masjid ini,” ujar saya.
“Masjid ini memiliki kenangan yang sangat dalam.
Memori kolektif rakyat Gorontalo, khususnya mengenai sejarah islam terbentuk di
sini,” sahut saya.
Saya kemudian teringat dengan ulasan Basri Amin yang
menyebut tentang perlunya pembentukan kecerdasan teritorial bagi masyarakat
Gorontalo. Kecerdasan teritorial merupakan kesadaran kedaerahan yang membentuk
suatu pola pikir yang didasari oleh kesadaran transisi—kesadaran akan pengaruh
masa lampau terhadap masa kini—dan yang membentuk tradisi di kalangan
masyarakat Gorontalo.
Basri Amin menulis; “batasan-batasan terjauh
pengetahuan kita tidak akan pernah memadai jika hanya terjebak dalam lintasan
masa kini”. Sama halnya dengan yang terjadi di masjid hunto, lintasan
pengetahuan yang sekedar ingin membangun dan membangun tanpa sadar bahwa
bangunan itu memiliki nilai mistis, spiritual dan historis yang kuat agaknya
kurang disadari. Sehingga yang terjadi adalah pengabaian.
***
Selepas diskusi dengan bapak berkupiah karanji itu,
saya berziarah ke makam Sultan Amai. Kemudian dilanjutkan ke makam di
sebelahnya yakni syekh Syarif bin Abdul Azis. Kemudian saya melangkah keluar
masjid, niat pulang ke rumah. Pemandangan di depan masjid yang saya dapatkan
sebelum mengendarai motor yakni, seorang bapak memegang sebuah kardus bekas
yang bertuliskan “kotak sumbangan” kalau saya tidak salah.
Penulis : Fadhil
Hadju
Kader PMII Kota Gorontalo