Menu

Mode Gelap
 

Hiburan · 10 Jan 2021 01:59 WITA ·

Manusia dan Jalan Pulang


 Manusia dan Jalan Pulang Perbesar

 

Society 19


Dihampir separuh umur bumi, ada yang sedang menghitung jarak kehidupan manusia. Kita menggunakan mata sebagai jendela, telinga sebagai pendengar, tangan sebagai penggenggam, dan kaki sebagai jalan untuk mencapai rencana.
 

Tetapi di balik itu semua, ada ruang di mana menjadi titik utama semua fungsi indra tersebut yaitu hati dan akal. Hati mendorong kita pada keyakinan bahwa Ia benar-benar ada untuk memberi jalan, namun akal selalu menakuti antara kepastian dan ketidakpastian.


Semua perencanaan menjadi kebiasaan manusia, mengharapkan yang indah, bahkan lebih indah dari yang dibayangkan. Hampir semua penganut paham filsafat, banyak yang mengklaim keindahan terletak pada kenangan dan keinginan.


Tentunya, poin utama adalah mengenai “Manusia mencari Keabadian”. 


Lalu, di mana manusia mendapatkannya?


Di Abad ini sedang berada pada masa; kematian sebagai sahabat paling dekat dan juga menakutkan. Kita tahu bersama, setiap kali berharap pada sang Ilahi, disitu ada bentuk kerja sama atau semacam perjanjian antara Tuhan dan manusia. Seperti Chairil Anwar yang begitu yakin menulis Puisi sekaligus harapan “AKU” dengan melengkapi “aku ingin Hidup Seribu Tahun lagi”, tanpa menjelaskan metodologi untuk sampai pada waktu yg diinginkan. Tetapi sains memang selalu menemukan kebenaran dan jalan keluar dari semua kegelisahan itu. 


Di sekitar kita, banyak kematian di totalkan dari yang terkecil yaitu angka seribu oleh pakar kesehatan, satu per-satu penduduk Bumi mengalami kegelisahan, Takut bahwa kita akan menyumbangkan keabadian pada angka-angka yang di bulatkan tersebut.


Disinilah jalan sains menjawab ketidakpastian pertanyaan pertanyaan antara kenangan dan keinginan itu.


Tentunya, kenangan lebih menjelaskan kisah masa lalu di Abad ke-6 pada Pemerintahan Justinianus kerajaan Bizantium bagaimana wabah menyerang hingga menewaskan sekitar 30 sampai 50 juta orang yang mengalami kematian, ekonomi runtuh, kelaparan diberbagai tempat. 


Mungkin dari kisah di atas, bisa tarik kesimpulan sekaligus keinginan bagaimana perencanaan dikemudian hari!


Ini semacam kebijakan-kebijakan Negara menanggulangi bencana dan juga memperkecil angka tersebut. 


Di Indonesia contohnya, ketika covid-19 di ketahui pada bulan ferbuari-2020 lalu, banyak yang meyakini bahwa kita kebal terhadapnya, semacam kepercayaan bahwa Tuhan ada dalam diri Manusia, dengan dukungan ilmu klimatologi, tetapi kenyataan selalu bertambah kematian melebihi yang di perkirakan.


Lalu, di mana Tuhan berada? Ataukah memang sains belum sempurna sebagai Ilmu kebenaran? Atau barangkali ada yang salah dalam kebijakan Negara?


Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantui dan tidak menemukan jawaban yang pasti. Ini bisa dilihat dari budaya, ritual keagamaan diberhentikan, kegiatan Bakti sosial kesehatan kadang tak mampu menerima pasien, kebijakan-kebijakan Negara yang hanya bersifat sementara. Hanya ada dua jalan “Bertahan atau berakhir”.


Setahun sudah berlalu, tepat di awal Januari-2021; Negara memberi tahu dengan kata “SELAMAT”. 


Saya menafsirkannya; bahwa kita mengalami kemenangan, hidup bukan lagi di ujung tanduk dan Tuhan hadir lewat jalan sains yang di salurkan lewat tangan manusia berupa “VAKSIN COVID-19”.


Tetapi ada yang hambar disini; bagi masyarakat biasa, mereka mengalami ketakutan dan tak percaya lagi pada Negara, yang lebih parahnya lagi ilmu sains yang sudah ada ber-abad abad mesti di pertanyakan lagi. 


Tulisan ini bukan sekedar menimbulkan kebencian, akan tetapi sebagai refleks: apa sebenarnya yang terjadi? 


Ataukah ada benang merah yang belum terurai dalam vaksin tersebut, sehingga banyak yang menganggap sains di politisasi?


Bahkan dalam negara, antara Lembaga izin BPOM dan MUI belum menemui kesepakatan bersama uji layak pakai.


Waspada adalah sub-bagian dari demokrasi untuk menimbulkan kesepakatan dan di sini saya melihat Negara sedang kebingungan, membuat kebijakan dari ukuran mana “keagamaan dari lembaga MUI untuk label Halal atau sains dari lembaga BPOM untuk konsumsi”.


Jika sekiranya Vaksin Covid-19 adalah jalan terbaik, Seharusnya Negara meyakinkan Masyarakat melalui kegiatan-kegiatan ilmiah mengenai Vaksin tersebut, bukan membuat peraturan yang memaksa bahwa kita wajib memakainya.

 

Saya melihat, Seperti paralel keinginan, identitas diri, kesepakatan sosial semua itu harus di selidiki, barangkali masih ada yang tak-lengkap dan kacau atau kemungkinan kemauan umum serta perjanjian masyarakat tidak menuai kesepakatan sebuah kedaulatan bersama.


Di penghujung tulisan saya, saya menutup dengan kata kata Mahatma-gandi yang begitu indah dan bijak


“Cinta tidak pernah memintah, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan tapi tidak berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada Cinta di situ ada Kehidupan, manakala Kebencian membawa pada kemusnahan”.



Penulis:

Yono Mokodenseho


Editor:

Panji Datunsolang

Artikel ini telah dibaca 1 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Demokrasi Radikal, dan Komedi Tunggal

11 Juni 2023 - 16:59 WITA

Prancis, Kolonialisme dan Sepak Bola

11 Desember 2022 - 09:09 WITA

AGNOSTISISME: Antara Keterbatasan Pikiran Atau Lumpuhnya Keimanan

5 Mei 2022 - 00:24 WITA

Tentang Maaf Lahir Batin

3 Mei 2022 - 11:59 WITA

Assalamualaikum Pak Dokter! (Bag. 1)

10 September 2021 - 12:50 WITA

Surat Terbuka untuk Alin

24 Mei 2021 - 19:10 WITA

Trending di Esai