Sumber Gambar mbak google |
Tepat setahun terpilihnya presiden, seluruh mahasiswa di Indonesia mendapatkan instruksi untuk turun ke jalan melakukan aksi refleksi atas janji-janji politik presiden saat kampanye. Awal minggu selalu berat untuk dijalani. Bangun pagi apalagi. Tapi, untuk mahasiswa baru seperti Toraju, semangatnya tidak terkira. Setibanya dia di kampus pagi itu, dosen mulai menjelaskan banyak hal mengenai sejarah perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Toraju dengan seksama mendengarkan.
Tidak lama berselang, diskusi di ruang kelas semakin memanas. Toraju dipanggil oleh salah seorang senior yang beberapa hari lalu mengajak Toraju untuk mengikuti pengkaderan organisasi ekstra kampus.
“Shuuttt… shuuttt… ke sini sebentar,” panggil senior.
Toraju keluar kelas. Memenuhi panggilan. Toraju diajak turun demonstrasi dalam rangka merefleksikan satu tahun kepemimpinan presiden yang telah Toraju pilih setahun yang lalu.
“Ayo ikut! Kita akan berangkat ke titik aksi.”
“Tapi, kak. Aku masih ada kelas. Setelah ini, juga masih ada dua mata kuliah yang harus saya ikuti.” Toraju coba menjelaskan dengan tatapan polos.
“Tor, menjadi mahasiswa harus terlibat dalam gerakan-gerakan perjuangan seperti ini. Bukannya begitu materi yang kemarin kamu terima? Toh kemarin kalian juga sudah berjanji untuk ikut terlibat dalam gerakan-gerakan perjuangan,” senior berusaha mengajak Toraju. Sebab, saat pengkaderan Toraju menjadi yang paling lantang dalam menyanggah dan bertanya kepada pemateri.
“Baiklah, kak. Tapi, aku ambil tas dulu,” Jawab Toraju dengan keragu-raguan.
Meski ragu-ragu, Toraju berangkat bersama puluhan mahasiswa lainnya menuju titik aksi dengan menggunakan angkutan kota. Dalam perjalanan, pesan-pesan Ibu memenuhi isi kepala. “Kuliah yang rajin, jangan sampai kamu terlibat pada aksi-aksi demonstrasi seperti yang sering ibu lihat di layar TV.” Di tengah keragu-raguan, senior yang merupakan ahli agitasi dan propaganda pun mengajak bicara Toraju, menjelaskan maksud dan tujuan aksi hari ini.
“Ini pasti pengalaman pertama kamu dalam mengikuti aksi demonstrasi. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Gerakan kita ini, dilindungi oleh pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik lisan ataupun tulisan. Jadi, kamu tidak perlu takut. Aksi refleksi ini untuk memperingati Presiden yang kita pilih tahun kemarin, agar beliau tidak lupa akan janji-janji yang telah dijanjikan. Selain itu, agar hak-hak rakyat terus diprioritaskan oleh Presiden. Hak-hak rakyat itulah yang hari ini menjadi tuntutan masa aksi pada momentum kali ini – ketersediaan lapangan pekerjaan, pendidikan yang layak dan mudah di akses oleh semua kalangan, layanan air bersih, hentikan penggundulan hutan, stop perampasan lahan petani, dan tambang untuk rakyat.”
Mendengar penjelasan senior yang memang sangat berapi-api itu, Toraju menjadi semangat. Bahwa apa yang dia lakukan hari ini benar-benar jalan yang lebih penting dari diskusi dalam kelas tentang heroiknya pahlawan masa lalu.
“Baiklah, kak. Tempatkan aku pada barisan paling depan saat tiba nanti.”
***
Satu persatu orator lantang menyuarakan aspirasi, para dinamisator pun tidak kalah merdu memandu lagu-lagu perlawanan. Toraju hanyut dalam lautan masa aksi, hal semacam itu belum pernah Toraju jejali sebelumnya. Toraju menjadi masa aksi yang kelak di kemudian hari dia tahu, bahwa tugasnya pada hari itu adalah sebagai seorang destroyer, padahal fisiknya kurus kerempeng dengan isi kepala yang belum ada apa-apanya.
Dalam pikirannya masih saja terbayang-bayang kalimat sakti Ibu di rumah yang menaruh harap pada putra pertamanya agar dia menjadi mahasiswa yang baik. Rajin kuliah, serta tidak ikut terlibat demonstrasi. Kita tahu di masyarakat kita memandang mahasiswa baik adalah mereka yang kuliahnya rajin, dan tugasnya manut saja. Ditarik ke kiri dan kanan oleh dosen dan birokrasi kampus. Sementara itu, mahasiswa yang kuliahnya tidak biasa, misalnya, sering terlibat aksi bersama rakyat, sering mempertanyakan banyak hal mengenai kebijakan kampus, adalah definisi mahasiswa buruk. Uhh. Capek deh!
Di tengah pikirannya yang masih melayang-layang, Toraju dikagetkan dengan suara, “awas! Gas air mata!” Aksi senin siang itu chaos. Masa aksi dipukul mundur oleh aparat keamanan. Gas air mata di mana-mana. Sementara, Toraju dan masa aksi lainnya berlarian mencari perlindungan. Untung saja Toraju tidak menjadi bulan-bulanan aparat sama seperti kawan seangkatannya yang babak belur oleh karena mendapatkan pengamanan.
Setelah aksi itu selesai, Toraju dihampiri oleh kawannya yang kena pukul tadi.
“Kayaknya ini adalah terakhir kali aku ikut aksi.”
“Kenapa begitu?”
“Aku kapok. Diriku terluka. Mataku kena gas air mata. Aku ikut diskusi saja. Untuk aksi biar kalian saja,” sahut Abrar dengan penuh kesal.
Semenjak itu, jalan mereka berdua berbeda. Abrar lebih memilih menjadi mahasiswa yang hanya mau terlibat dalam diskusi. Sementara Toraju terus melakukan aksi-aksi parlementer jalanan bersama rakyat yang tertindas. Di kemudian hari, Toraju sering guyon kepada Abrar di kos-kosan, “bagaimana, sudahkah klimaks onanimu?” lalu Abrar kembali membalasnya, “belum, tapi bagaimana dengan rakyat yang kau bela, sudahkah sejahtera mereka?” keduanya berakhir dengan gelak tawa. Kita berdua butuh kopi, tapi tidak pakai gula. Sebab kita sudah terlampau manis.
***
Selepas dari aksi refleksi itu, Toraju semakin tidak terbendung, dia banyak terlibat dalam gerakan parlementer jalanan. Baik di kampus, pedagang kaki lima, buruh pabrik, nelayan, petani, dan aksi-aksi solidaritas atas nama kemanusiaan lainnya. Toraju benar-benar memprioritaskan waktunya untuk hal-hal itu, ketimbang berdiskusi lama-lama di ruang kelas bersama teman-temannya, apalagi dengan dosen. Bagi Toraju, dosen yang sudah lanjut usia sebaiknya pensiun saja. Apalagi jika di dalam kelas dia tidak bisa menjadikan mahasiswa menjadi kritis dan cerdas. Dosen seperti itu sebaiknya digantikan oleh dosen yang tidak saja usianya yang fresh, melainkan pikiranya juga.
Toraju memang di ruang kelas selalu merasa bosan, Toraju menganggap bahwa kelas yang hanya menciptakan mahasiswa menjadi robot seharusnya dihentikan saja. Apalagi jika dosen yang masuk kelas pekerjaannya hanya membagikan tugas sebanyak-banyaknya dengan referensi yang tidak kalah banyak. Setelah selesai dikerjakan, mahasiswa mempresentasikan dengan ala mendongeng. Serta ditanya, mereka sibuk membuka google.
Jika Toraju sudah mulai banyak bicara di kelas, Abrar mengambil sikap diam saja, dia lebih memilih membalas pesan whatsapp pacar yang tengah gelisah karena kuliah Abrar yang lama. Jika sudah tidak tahan dengan kritisnya Toraju berdebat dengan dosen dan pemakalah, Abrar sudah pura-pura minta ijin keluar ke toilet, padahal Toraju tahu bahwa dia pasti pergi menemui pacarnya.
“Dasar bucin!” gumam Toraju dalam hati.
Dua orang sahabat ini memang selalu berbeda dalam banyak hal, tidak terkecuali dalam urusan romantisme. Abrar, dengan penampilannya yang rapih, wangi, rambut klimis, dan suka mengkonsumsi buku-buku berhaluan sastra memang selalu mudah menaklukan mahasiswi glowing di kampus. Puisi-puisi yang ditulisnya di beranda pers kampus cukup ampuh membuat Abrar dikenal banyak orang. Hampir 100% pembaca puisi-puisi Abrar adalah mahasiswi. Sementara Toraju, dengan penampilannya yang kurus kering, gondrong, pakainnya compang camping, hobinya buat riuh kampus, dan ditambah lagi dengan essai-essainya yang berat dan penuh dengan kritikan kepada para dosen dan para penguasa yang membuat mahasiswi gemar dengan Toraju.
Dengan itu semua, Toraju cukup susah terterima oleh mahasiswi glowing yang sukanya dandan ketimbang panas-panasan turun ke jalan. Mahasiswi seperti itu biasa disebut oleh Toraju sebagai mahasiswi selebritis. “Karena mereka tidak bisa membedakan di mana ruang pembelajaran, dan di mana ruang pamer lipstik dan barang-barang mewah.”
Baru memasuki semester 5 Abrar sudah gonta ganti pacar. Sementara Toraju masih setia bersama buku-buku kiri yang dicurinya dari perpustakaan Kampus. Tapi, bukannya Toraju tidak punya dambaan hati. Toraju curcol ke Abrar di sela-sela mereka berdua santai di depan Kos sambil meminum kopi buatan Abrar.
“Brar, aku perhatikan, Aksari manis juga.”
“Aksari siapa, Aksari anak pendidikan B itu?”
“iya!”
Aksari adalah mahasiswi yang tidak saja cantik, dia juga manis. Kulitnya yang setengah matang, rambutnya hitam terawat, dan hidung yang menjulang. Tapi, tidak hanya seputar itu yang menjadi pusat perhatian Toraju ke Aksari, ternyata Toraju mulai melirik dan memperhatikan Aksari untuk ditempatkan di ruang paling spesial pada catatan hatinya adalah pada saat Aksari lantang menolak kebijakan rektor mengenai kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) terhadap seluruh mahasiswa.
“Wahh akhirnya sahabatku tertarik juga kepada perempuan,” sargah Abrar dengan nada meledek.
“Sial, aku juga normal sama halnya kamu!”
“Yasudah, tunggu apa lagi! Utarakanlah sesegera mungkin sebelum aku mendahului. Sahut Abrar sambil tertawa.
“Aku takut kalau perasaanku tidak berbalas, kau tahu aku tidak berpengalaman pada soal-soal begini.”
“Akhirnya aku menang untuk yang satu ini. Aku punya sahabat yang lantang memperjuangkan hak orang lain tapi justru penakut memperjuangkan dambaan hati,” sambil tertawa Abrar mengakhiri perbincangan mereka.
***
Penulis
Usato Farid Mamonto