Foto Lontong Medan: dijelas.in |
Makanan pastinya adalah sebuah warna keberagaman, karena deretan
lintasan indah kebudayaan bisa dibilang dapat dicapai dari puspa ragam kehadiran
makanan. Keyakinan ini kuat, sebab makanan adalah hasil imajinatif dari
pengetahuan yang saling berbicara antara satu kebudayaan dan kebudayaan
lainnya. Untuk istilah terakhir itu, orang-orang biasa menyebutnya sebagai
kosmopolitanisme.
Sebagai
ciri kosmopolitanisme mungkinkah makanan bisa disandingkan dengan topik utama
yang sejajar dalam pembicaraan manusia pada apa yang disebut sebagai agama
atau ritus? Secara materi tentu berbeda, tetapi dalam pendudukan ide makanan
adalah sesuatu yang tak terpisah dari dua hal utama yang disebutkan. Agama
selalu menilik makanan dalam dua hal: yang baik dan buruk, sedangkan ritus,
makanan merupakan sebuah kesatuan di dalamnya.
Kehadiran
industri halal adalah jawaban dari kreativitas umat manusia mengkondisikan
antara istilah agama seperti toyyibah (yang baik), dengan kelangsungan
hidup karena mengkonsumsi makanan. Dengan kata lain, makanan merupakan sebuah
perjuangan hidup, yang bertaut dengan kebudayaan pada umumnya.
Jika
sedemikian rupa makanan adalah hal yang disebutkan itu, maka ia melambangkan
ragam ekspresi budaya manusia. Di Barat Indonesia wajah itu tersaji, jenis
makanan berkuah yang disebut Lontong Medan terlihat sangat ramai mengayun dalam
setiap porsinya. Ada tiga jenis kuah di dalamnya: kari ayam, lodeh, dan sambal
tauco. Bagi sebagian orang ada kekhawatiran melihat tiga macam kuah itu beradu,
namun di luar dugaan ketiga hal yang dianggap kontras itu dipadu mengikat di
dalamnya dan sangat memanjakan lidah. Apalagi makanan ini ditambahi telur yang
direbus, sambal teri kacang Medan, bihun, dan pastinya lontong.
Sepertinya keberagaman itu bisa ditemui dalam makanan ini. Serupa dengan apa
yang dikatakan oleh Fadli Rahman seorang sejarawan makanan, “Unity in
Diversoto”. Ia mencontohkan makanan seperti soto yang merupakan sebuah
kesatuan dalam keberagaman. Soto adalah puspa rupa ekspresi budaya namun
mengikat semua orang dalam santapan itu.
Serupa itu, Lontong Medan adalah
dua hal dalam perbincangan keberagaman ini. Pertama, sayur lodeh, tauco,
dan kari ayam yang bertemu di dalamnya adalah titik temu beragam kebudayaan.
Ketiga hal itu tidak datang kemudian mewujud secara otomatis menjadi Lontong
Medan. Misalnya kari sebagai satu ciri khas dari masakan Asia Selatan
dimodifikasi ketika sampai ke Nusantara hingga menjadi kari ayam, kemudian
disatukan dengan kedua jenis kuah lainnya. Maknanya adalah ada beragam
kebudayaan yang bertemu, atau secara jelas, dalam kelampauan, interaksi manusia
dari berbagai penjuru dunia menciptakan Lontong Medan.
Kedua, sebuah rasa yang
mewakili beragam ekspresi. Dalam diskusi migrasi dan makanan Masimo Ferara
menulis Food, Migration, and Identity, bahwa makanan adalah sesuatu yang
dimakan sesuai konteks: anak-anak, dewasa dan standar baik-buruk. Karena itu ia
menyebutnya makanan sebagai identitas. Seperti Mcdonald’s yang menjadi
identitas orang Amerika, karena itu dimakan sejak mereka kecil hingga dewasa.
Walaupun begitu, penyebutan
identitas adalah sesuatu yang sangat kompleks. Seperti Lontong Medan,
pembentukan identitas Medan dalam makanan ini adalah sesuatu yang perlu
dijelaskan dalam beragam pendekatan. Di luar hal yang sukar itu, perlambangan
ekspresi rasa adalah niscaya dalam kudapan ini. Apalagi bagi setiap orang di
luar Medan yang mencicipi makanan ini, akan ada sebuah perasaan penemuan
sesuatu yang baru, yang bagi budaya asal dimana dia datang tidak ada makanan tersebut.
Sehingga imajinatif asing dan unik akan terkonstruksi dari rasa Lontong Medan
tersebut.