Ilustrasi: Historia.id; Vue de Samboupo (Somba Opu) karya Jacob van der Schley. Sumber: mapandmaps.com. |
Agama Islam diturunkan di negeri padang pasir, ditengah budaya masyarakat yang kaku dan keras. Namun cahayanya dapat menembus sekat dan memancar benderang ke pelbagai pelosok dunia. Di Nusantara, peninggalan perkampungan Islam tertua ditemukan di Kota Barus, Sumatera Utara. Prasasti bertanda tahun 625 M menunjukan fakta, bahwa Islam telah hadir sembilan tahun sejak dakwah terbuka dilakukan oleh Nabi Muhammad (616 M). Penelitian TW Arnold (1968) mengungkapkan, para pedagang dan pelaut Nusantara telah berinteraksi bersama para pedagang timur tengah jauh sebelum Muhammad dilahirkan. Meskipun demikian, gelombang persebaran Islam di Nusantara mulai menggema di abad 9-10 M. Selama beratus tahun, Islam di Nusantara tumbuh dalam harmoni kebhinekaan. Perbedaan dan keberagaman bagi umat muslim adalah sebuah keniscayaan, oleh karenanya Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, seorang ulama mahzab Syafii menegaskan dalam kitabnya Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan rahmat bagi umat, sebab mereka akan melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran. Pendapat ini tentu berdasar pada firman Allah SWT dalam Surat Al Maidah ayat 48 yang berbunyi “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.
Berkaca pada ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa nilai toleransi merupakan sebuah fitrah yang bersenyawa dalam pandangan hidup umat muslim. Dan itulah yang tampak pada perkembangan Islam di wilayah timur di Indonesia. Di Kota Manado dan Tahuna provinsi Sulawesi Utara, kita dapat menemukan contoh bagaimana Islam berkembang dan bersenyawa melalui kebhinekaan. Islam tumbuh dengan warna toleransi dan memberi sumbangsih bagi pembangunan kewilayahan. Karakter masyarakat maritim membentuk corak “Islam Bahari” yang sejuk dan damai, sebuah corak yang dapat menjadi opsi dalam menghadapi disrupsi digital yang mengaburkan nilai-nilai dan norma-norma.
Perkembangan Islam di Timur Indonesia
Wajah penyebaran Islam di Nusantara ditandai dengan praktik keberagaman. Penyebaran Islam di Jawa berbeda dengan yang ada di luar Jawa. Sejarah menarasikan aktor islamisasi di Jawa, didominasi jaringan “orang suci” yang disebut wali, tarekat dan pesantren sebagai institusi gerakan. Sementara itu, agensi utama Islam khususnya di Indonesia timur adalah para pedagang. Pertumbuhan dan dinamika Islam di berbagai daerah Nusantara berlangsung dalam suatu kancah di mana aktor dan institusi dakwah berperan memainkan agensi dan otoritasnya menghasilkan identitas serta corak tertentu pada masyarakat Muslim. Di Kawasan Indonesia Timur, persebaran Islam tak terlepas dari peranan kesultanan besar, seperti Goa-Tallo di Sulawesi, Ternate-Tidore di Maluku serta Bima di Sumbawa. Sebagai Kerajaan/kesultanan di wilayah yang bercorak kepulauan, identitas persebaran muslim dipengaruhi oleh pranata sosial masyarakat maritim bercorak bahari. Karakteristik yang dibentuk masyarakat bahari mencitrakan Islam sebagai agama yang terbuka, inklusif, cair dan akomodatif. Hal inilah yang terbukti merebut hati masyarakat dan menjadikan syiar Islam yang meluas mengakar dan menjalin toleransi di tengah masyarakat. Selaras dengan kultur bahari yang bersifat terbuka, Islam pun melebur harmonis dalam balutan budaya tradisi. Islam hadir membawa transformasi dan membentuk nilai baru yang menjadi identitas baru budaya tersebut. Di jazirah Sulawesi Utara semisal, wilayah yang didominasi kuat oleh pengaruh kristien akibat penginjilan oleh para Zending sejak abad 17 M dapat diterobos dengan corak Islam bahari dengan harmonis. Pelabuhan menjadi sentral pertumbuhan pusat perkampungan Islam. Kampung Arab di Kota Manado adalah pemukiman pertama yang didirikan sejak abad 17 oleh para saudagar muslim berasal dari Yaman. Proses kawin-mawin dengan penduduk lokal, ditambah kebijakan dari pihak kolonial yang menjadikan kawasan Minahasa sebagai tempat “pembuangan” tahanan politik seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Kyiai Modjo dlsb memperkuat sendi penyebaran Islam di wilayah ini. Nilai inklusif, cair dan akomodatif yang dihadirkan telah menarik hati para penduduk lokal yang turut melahirkan sebuah sub etnis baru bernama Jawa-Tondano (Jaton), sebagai sub etnis Minahasa yang menganut Islam dan memiliki identitas keislaman sebagai ekspresi budayanya.
Islam di timur Indonesia secara berabad-abad tumbuh dalam harmonisasi dan toleransi. Sebuah noda hitam menyeruak di tahun 1999-2003 tatkala terjadi perpecahan atas nama agama di Maluku. Keharmonisan agama yang terjalin beratus tahun lenyap seketika yang diawali dari permasalahan sepele berupa perkelahian antar supir angkot beragama Islam dan Kristen di terminal Mardika Kota Ambon. Penggunaan media sosial dan komunikasi digital yang mulai marak saat itu turut memicu ketimpangan komunikasi yang menyulut perpecahan menjadi melebar. Peristiwa konflik Ambon menyadarkan kita bahwa disrupsi digital yang terjadi dapat memiliki dampak yang tidak terperikan.
Disrupsi Digital, Tantangan Baru Peradaban
Tatkala dunia saat ini tengah bersiap-siap menuju peradaban 5.0, Indonesia masih tertatih-tatih mengejar laju pemahaman dan kesetaraan menuju peradaban 5.0. Sebagai bangsa yang baru merdeka kurang dari satu abad, Indonesia masih gagap memahami fungsi digital. Memang secara kuantitas, masyarakat Indonesia saat ini adalah masyarakat yang sangat hobi berselancar di jagat maya. Riset “Global Digital Reports 2020” menyebutkan, bahwa 64% masyarakat Indonesia telah terhubung dengan internet dan rata-rata berselancar selama 7 jam 59 menit per hari. Waktu ini di atas rata-rata masyarakat dunia yang berselancar hanya 6 jam 43 menit per harinya. Maka tak berlebihan bila ada julukan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang malas membaca, namun cerewet di media sosial. Rendahnya budaya membaca masyarakat Indonesia ternyata menghasilkan maraknya konsumsi kabar bohong (hoax) dan ujaran kebencian di dunia maya. Disrupsi digital yang terjadi sebetulnya dapat diantisipasi dengan peningkatan kemampuan literasi. Literasi adalah kata serapan dari bahasa latin literatus, berarti orang yang belajar. Secara harfiah kita dapat mengartikan literasi sebagai kesadaran individu untuk belajar memahami realitas yang ada dan mentransformasikannya pada perilaku sehari-hari. Kemampuan ini merujuk pada kemampuan membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah yang dihadapi. Sjarifudin, dalam bukunya “Masyarakat Literat”, menyampaijan bahwa perilaku individu yang memiliki kecakapan literasi akan memuat lima aspek, diantara nya: memahami, melibatkan, menggunakan, menganalisa dan mentransformasi teks. Seseorang dapat disebut literat ketika ia telah memiliki kompetisi dan kecakapan hidup. Ia berdaya dan memberdayakan keadaan atas dasar kesadaran belajar dan memahami realitas. Sehingga individu yang literat pasti memiliki ciri sebagai individu yang adaptif, memiliki kontribusi positif dan mempunyai manfaat solutif bagi kehidupannya. Bangsa yang literat akan dibentuk oleh masyarakat yang literat pula, dibangun dari inidividu-individu yang literat.
Bila kita berkaca pada sejarah persebaran corak Islam bahari, literasi merupakan salah satu ciri yang tak terpisahkan. QS Al-Alaq ayat 1 yang berbunyi “ Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” menekankan tentang pentingnya kemampuan literasi yang harus dimiliki, dan kemampuan literasi inilah yang menghantarkan seorang muslim untuk dapat menjadi Rahmatan lil alamin.
Literasi dan Corak Islam Bahari
Disrupsi digital adalah tantangan umat Islam di Indonesia dalam membangun peradabannya pada hari ini. Pada satu sisi, disrupsi digital memudahkan kita untuk bersentuhan dengan berbagai peradaban. Kontak antar peradaban tentu akan melengkapi kekayaan peradaban kita sebagai syarat kemajuan itu sendiri. Namun tumbuh dengan identitas dan jati diri tanpa kehilangan arah dalam arus kontak peradaban dunia adalah hal yang harus diupayakan. Dalam sejarah kemajuan peradaban Islam kita memaknai ruh ajaran Islam yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah telah membangun sendi-sendi perkembangan dunia. Gagasan pencarian melampaui batas cakrawala dan membangun kemajuan-kemajuan di pelbagai sektor kehidupan.
Menghidupkan kembali Islam bahari yang inklusif dan kosmopolit akan menempatkan agama dalam tempat yang proporsional sebagaimana mestinya. Modernitas menjadi sebuah dimensi baru yang tak terelakkan karena terikat dengan perkembangan teknologi, yang memang mau tak mau dibutuhkan. Kesadaran literasi dan pelaksanaan corak islam bahari yang bertumpu pada nilai keterbukaan, inklusifitas, dan akomodatif dapat menjadi sebuah solusi agar esensi Islam dapat memasuki seluruh relung sendi kehidupan.
Penulis,
Satria Yanuar Akbar