![]() |
Sumber gambar pinterest |
Memiliki darah seni dari Ayah dan mendapat turunan darah lembut dari Ibunya, membuatnya memiliki kemampuan yang baik dalam bidang seni khususnya menulis ketika duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Beberapa prestasi pun pernah diraih oleh Aman kecil; juara satu lomba menulis cerpen dan puisi tingkat sekolah baik RT, lomba baca tulis puisi tingkat Kecamatan, dan Dia mendapatkan beasiswa sebagai siswa berprestasi di sekolah waktu itu. Beranjak remaja, jiwa seni sastranya meluas.
Ketika itu Sastrawan yang bernama WS. Rendra menjadi bintang tamu di acara Tv favoritnya. Karya-karya puisi dari beliau tersebut banyak menginspirasi dalam kehidupan Aiman Rahman, ‘nama dari pemuda pecinta literasi itu.’
Menjelang lanjut ke bangku kuliah, Dia memutuskan untuk kuliah di luar kota, yaitu Gorontalo dan memilih kuliah kampus IAIN Sultan Amai Gorontalo. Sulit dipercaya, anak yang tergolong pendiam itu berani untuk tinggal jauh dari keluarganya guna menuntut ilmu. Keputusan itu berdasar karena arahan Ayahnya yang ingin dia cepat bekerja seperti anak-anak lain setelah lulus kuliah.
Selain itu, kampus IAIN terkenal akan lulusan-lulusan yang kompeten di bidangnya. Akhirnya Aman kuliah dan mengambil jurusan ekonomi dan Dia menuntut ilmu selama empat tahun di Kota yang dikenal sebagai Kota Serambi Madinah itu. Namun sayang, tak sampai tamat. Di tengah-tengah perjalanan, tak disangka Ia bertemu dengan seorang gadis cantik. Wajahnya yang berseri-seri serta balutan hijab nan anggun membuat Aman terpana ketika menatapnya. Mereka bertemu di salah satu angkutan kota jurusan Telaga-Limboto. Mereka pun tidak langsung saling mengenal ketika itu, butuh pertemuan-pertemuan yang tak disangka oleh mereka berdua setelahnya. Singkat cerita, akhirnya mereka berkenalan dan menjalin komunikasi dengan seadanya.
***
Empat tahun berlalu, dimana ia sebagai Aman yang pengecut masih membohongi dirinya sendiri, bahwa Ia memiliki mimpi besar. Namun belum bisa terjaga dengan baik karena Ia harus melaksanakan apa yang diharapkan oleh Ayahnya, yaitu mencari pekerjaan setelah terhenti kuliah. Beberapa perkantoran dan toko di daerah Gorontalo, Ia sambangi guna melamar pekerjaan. Usahanya pun terjawab, Aman diterima sebagai karyawan marketing di salah satu kantor penjualan prodak rumah tangga di Kota Gorontalo. Hal tersebut membuat Ayah dan Ibunya sedikit bahagia dan bangga padanya saat itu. Namun di balik itu semua, terselip kegundahan yang mendalam pada seorang Aiman Rahman. Beberapa bulan Ia hanya menjalani rutinitas semu yang begitu meyiksa bagi seorang penggiat literasi sepertinya. Terlebih, waktu untuk merawat mimpi sebagai seorang penulis hampir punah bahkan tidak ada sama sekali.
Dalam hari-hari yang Dia lalui hanyalah bersama tumpukan dokumen dan prodak yang harus terjual yang mematung ini. Terlintas untuk keluar dari rutinitas semu dalam dirinya, akan tetapi Dia ingat bahwa Ayahnya sudah bangga padanya, sehingga tak mungkin baginya untuk menyakiti hati seorang Ayah dengan keputusan yang mungkin membuatnya kecewa pada anaknya.
Aman memulai mimpinya menjadi penulis di salah satu group literasi dari Bandung. Karya-karya dari tulisannya yang Dia ciptakan bisa dibukukan. Di samping itu semua, komunikasinya dengan wanita penyemangat itu pun terlampau baik. Sesekali Aman beranikan diri menemuinya sekaligus menunutut ilmu agama di majelis ta’lim tempat wanita itu menuntut ilmu. Tidak seperti pemuda pada umumnya, situasi di lingkungan seperti itu memaksanya untuk berhati-hati dalam bersikap, terlebih yang namanya pacaran tidak dibenarkan di sana. Karenanya, Aman hanya sampai mengikuti kajian di Masjid dan menitipkan sebuah surat melalui salah seorang kader akhwat lainnya yang secara kebetulan sedang melintas di hadapannya selesai kajian.
Tanpa ucapan untuk saling mencintai, rupanya mereka seperti dua insan yang telah mampu berbagi rasa. Terlalu dini untuk menyebutnya dengan istilah cinta. Wanita itu menjadi sosok yang selalu memperhatikannya dalam perjalanan mimpi. Kata-katanya membuat langit seolah berjarak tujuh sentimeter dari kepala Aman. Dia dibuat terbang kesana-kemari. Dua tahun berlalu, tepat dimana Anisa (nama dari gadis cantik itu) lulus dari pesantrennya.
Dalam sepanjang tahun itu Anisa makin membuat Aman tak kuasa bila harus kehilangannya. Kata-kata penyemangat tersusun rapi setiap harinnya untuk Aman. Pencapaian demi pencapaian lelaki itu tempuh dalam perjalanan mimpinya. Ia mendapat tawaran menjadi juri dalam lomba menulis kesana kemari. Mulai dibayar dengan nasi bungkus, bingkisan snack, bahkan pernah tidak mendapatkan bayaran sama sekali. Hal itu tak menyurutkan semangat Aman untuk bisa melewati rintangan itu.
“Dengan keadaan mimpi yang masih terus ditata, bagaimana mungkin aku harus menata hati lebih awal jika mengalami keretakan. Aku pun tersadar, memang selama ini tak pernah ada ikrar di antara kita dalam hal perasaan. Mendung pun kian murka, terdengar kabar bahwa ada laki-laki lain, tampan dan kaya yang ingin mengajakmu menikah. Kabar yang kutemukan dari temanmu. Apakah ini sebuah pertanda senjaku tak akan muncul lagi? Begitu juga dengan mimpi-mimpi yang sedang kujaga? Entahlah.” Puisi-puisi Aman untuk Anisa.
***
Gorontalo, 5 Juni 2024. Dimana cerita patah hati dimulai…
Hingga sampai pada penantian sudah tak layak lagi Aman lakukan, angan-angan hidup bersama gadis yang Dia cintai pun sudah cukup hanya dijadikan sebuah angan, ini semua butuh kejelasan. Dia rogoh saku celananya untuk menemui Anisa di tempat yang sangat jauh, yaitu bagian selatan Kota Gorontalo. Padahal kala itu Aman hanya punya uang kurang lebih Rp. 100.000,. Sisa dari hasil menulis artikel kemarin dan sudah dikurangi kebutuhan makan dan beli keperluan lainnya. Aman berangkat menuju cintanya yang di ujung tanduk dengan bekal perasaan seutuhnya, uang pun tak banyak, wajah pun tak tampan bahkan acak-acakkan.
Walau Dia tahu pria berlapis emas tengah membuka hati Anisa, setidaknya pertemuan ini menjadi pembuktiannya, bahwa Anisa telah menjadi bagian dari hatinya yang tak rela bila harus pergi begitu saja. Sesampainya di sana, Anisa menyambut Aman dengan baik. Hampir lupa jika hatinya sedang berada di sebuah jembatan gantung, jika putus talinya, maka habislah sudah. Senyum gadis itu masih seperti dulu, masih berseri dan menggetarkan hati. Suaranya menyembuhkan lelah dari jauhnya perjalanan ini. Malam harinya, Anisa mengajak Aman menyaksikan hiburan rembulan yang hadir di Desa-nya. Mereka bercanda, bercerita, dan menyantap hidangan lezat bersama adik gadis itu. Pukul 21.00 malam, Aman beranikan diri untuk memulai pembicaraan tentang kejelasan perasaannya, sontak Anisa pun terkejut. Seolah ia tak percaya jika Aman memulai pembicaraan tentang perasaan. Sialnya, hendak Dia memulai kata demi kata, Anisa menerima telepon dari pria yang akan menikahinya.
Sedikit Aman mencerna dari obrolannya, bahwa si pria itu tidak suka bila Aman bermalam di rumah Anisa, namun gadis itu menjelaskan alasan mengapa dia datang menemuinya. Sedikit menelan ludah pahit, ya, Anisa menjelaskan kepada pria itu bahwa Dia tak menjalin hubungan apa-apa dengan Aman ucapnya. Jatuh dari tangga malah ketimban tangga pula, perih. Namun Aman harus kuat melewati tahapan akhir dalam penantiannya selama kurang lebih lima tahun belakang.
Memang tak ada keharusan untuknya menanti sekian lama, dan juga tak ada paksaan. Perasaan adalah perasaan. Tak selamanya harus berlabuh pada hati yang tepat. Jika memang belum saatnya, percayalah, Tuhan akan melabuhkannya ke hati yang seharusnya.
Usai berbicara melalui telepon dengan pria itu, Anisa kembali berbincang dengan Aman tentang perasaannya.
“Maaf ya, Man. Barusan ada telepon. Nggak enak kalau nggak diangkat,” ujar Anisa. Aman hanya bisa tersenyum masam dan sedikit gusar.
‘Jadi selama ini, penantianku kosong.’
“Dalam hati kecilku masih belum bisa menerima seutuhnya kenyataan ini. Namun kau sudah benar dan tepat, kau sudah menjaga diri dan perasaanmu dengan cara yang diperintahkan sang pencipta Allah. Hanya saja aku yang lalai perihal perasaan hingga lima tahun lamanya. Tak sampai hatiku memahami tentang arti perasaan yang diajarkan oleh firman sang pencipta.
Aku paham, dengan begini aku menyadari semuanya. Ini adalah pesan bagiku untuk lebih baik lagi dan mendekatkan diriku pada firman-firman sang pencipta. Aku pun tersadar, seberapa keras usaha jika sang pencipta berkehendak lain, maka takkan terjadi. Malam itu kututup dengan ucapan selamat kepadanya dan pria calon suaminya kelak. Besok aku akan pulang setelah memetik sebuah arti penantian. Kau mengajarkan arti patah hati yang berujung agar aku memahami firman Illahi. Kau pula mengajarkan arti penantian bahwa tak satu pun yang berhak ditunggu kecuali kehendak dari-Nya. Hingga kau menyiratkan arti cinta yang sesungguhnya adalah ketika dua insan berada di peraduan akad untuk menikah.” Kutipan puisi yang Aman tulis di beranda facebooknya, sebelum Ia pulang meninggalkan Desa itu, tempat dimana Anisa tinggal.
***
Satu tahun kemudian, Aman mencapai mimpi-mimpinya untuk menjadi seorang penulis. Ia pun telah memiliki beberapa buku dari karya-karya tulisannya, dan pernah ada beberapa novelnya difilmkan pada salah satu stasiun tv swasta. Memang bukan menjadi penulis profesional, pencapaiannya dalam ranah literasi adalah bagian dari mimpi masa lalunya. Dan kini Dia menjadi sebagai seorang penulis. Mimpinya lebih meluas yaitu mampu mengelilingi Indonesia dengan karya-karya tulisnya. Dia pun akhirnya mampu menerapkan pelajaran yang tercipta dari masa lalunya yang berpesan, bahwa cinta sejati adalah cinta yang dibangun melalui patah hati dan pengkhianatan.
Pengarang,
Herman Dunggio
Editor,
Nova Salim