Gambar dari album penulis |
Akhir-akhir ini, saya ingin menulis tentang sesuatu yang mungkin masih asing bagi masyarakat kebanyakan. Bahkan, orang sekitar saya, teman, atau bahkan keluarga saya sendiri. Saya tidak menyangka bahwa saya akan berada dititik ini, di mana saya tidak mampu merasa bahagia hampir setiap hari. Titik di mana saya tidak lagi mempertanyakan kapan saya bisa bahagia dan mengapa saya selalu merasa sedih tanpa sebab.
Mungkin, banyak dari pembaca masih menganggap gangguan mental adalah sesuatu yang sepele yang terlalu didramatisir. Oleh karena itu, penting bagi saya untuk sedikit menjelaskan perihal gangguan mental, dan menyoroti bagaimana ketidaksetaraan identitas gender dan kurangnya penghormatan masyarakat atas hak asasi manusia, yang dampaknya pada orang dengan gangguan mental yang hanya akan membuat mereka semakin buruk. Semakin rapuh, teralienasi dari kehidupan sosial mereka.
Gangguan mental atau gangguan jiwa adalah penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya. Sama halnya dengan penyakit fisik, penyakit mental juga ada obatnya. Di Indonesia, penderita gangguan mental diidentikkan dengan sebutan ‘orang gila’ atau ‘sakit jiwa’, dan sering mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan, bahkan hingga dipasung. Padahal, penderita gangguan mental bisa dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pengobatan.
Dalam sebuah catatan organisasi kesehatan terbesar di dunia, WHO, hampir 1 miliar orang di dunia ini menderita gangguan mental. Ada sekitar 280 juta orang yang menderita depresi. Diperkirakan ada 5% orang dewasa secara global menderita depresi. Satu dari tujuh orang yang termasuk dalam kelompok usia 10 hingga 19 tahun, mengalami gangguan jiwa. Bunuh diri menduduki peringkat utama keempat kematian bagi kaum muda berusia 15-29 tahun. Satu dari setiap 100 kematian adalah bunuh diri.
Berdasarkan Riskesdas 2007 disebutkan, rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar 20%. Sedangkan yang mengalami gangguan mental berat, seperti psikotis, skizofrenia, dan gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. Untuk gangguan jiwa ringan banyak diderita kaum perempuan, yaitu dua kali lebih banyak dibanding laki laki. Sedangkan gangguan jiwa berat pada perempuan lebih ringan dibanding laki-laki. Gangguan jiwa ringan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi.
Hal ini disampaikan dr. Irmansyah, Sp.KJ. MM, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan saat jumpa pers usai Seminar Nasional Peran Kesehatan Jiwa Dalam Pencapaian Pembangunan Millenium (MDGs), pada tanggal (24/05, 2010), di Jakarta.
Selain pengertian tentang gangguan mental, di sini saya akan lebih spesifik menjelaskan mengenai skizofrenia. Apa itu skizofrenia? Skizofrenia adalah gangguan mental yang dapat memengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi. Penderita skizofrenia dapat mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Berdasarkan data dari WHO, ada lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia. Sementara, menurut penelitian Kementerian Kesehatan RI tahun 2019, diperkirakan ada 450.000 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat di Indonesia, termasuk skizofrenia.
Ketidaksetaraan dan identitas gender yang terjadi seperti; Secara rinci, hasil penelitian yang saya ambil dari naskah publikasi “HUBUNGAN KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS JENIS KELAMIN DENGAN FREKUENSI KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA YOGYAKARTA” ini juga menunjukkan bahwa responden lakilaki lebih cenderung tertutup dibandingkan dengan responden perempuan. 39 (32,2%) dari 50 responden laki-laki memilih tertutup ketika terjadi masalah. Berbeda dengan responden perempuan, dari 40 responden perempuan, 22 (24,8%) diantaranya memilih sharing ketika terjadi masalah. Laki-laki lebih tertutup terkait dengan masalah yang dihadapinya, berbeda dengan perempuan yang memiliki kecenderungan untuk bercerita. Laki-laki memandang bahwa masalah merupakan suatu kesalahan yang memalukan. Itu membuatnya berperang sendiri dan enggan mencari pertolongan dan menutup diri dari lingkungan. Maka, tidak heran jika laki-laki kerap berakhir di rumah sakit jiwa. Perlu diketahui bahwa penderita skizofrenia berisiko 2–3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda. Hal ini karena skizofrenia umumnya disertai penyakit lain, seperti penyakit jantung, diabetes, atau infeksi.
Contoh lainnya yang saya ambil yaitu terkait kesenjangan si kaya dan si miskin. WFMH melihat adanya ketidaksetaraan akses ke kesehatan mental. Sebanyak 75 hingga 95 persen orang dengan gangguan kesehatan mental di negara berkembang tidak mendapat akses layanan kesehatan mental. Banyak orang yang tinggal di negara berpenghasilan tinggi juga tidak mencari bantuan medis, bahkan jika mereka memiliki akses. Kesenjangan perawatan kesehatan mental muncul karena kurangnya investasi di sektor ini.
Beberapa bulan ke belakang, kesadaran masyarakat Indonesia dalam isu kesehatan mental dinilai terus meningkat. Dulu Indonesia mungkin masih menutup mata ketika membahas gangguan jiwa karena dianggap hal yang tabu. Tapi kalau kita sadar, sekarang sudah banyak beberapa komunitas, kampanye, obrolan di media sosial bahkan karya film yang mengulas tentang kesehatan mental.
Meski sudah banyak dibicarakan, sayangnya kesehatan mental masih dianggap stigma bagi beberapa orang. Indonesia dengan segala keklenikannya menganggap bahwa orang dengan masalah kesehatan mental adalah orang gila atau kerasukan setan. Banyak juga yang menganggap orang dengan masalah kejiwaan adalah orang yang kurang pengetahuan agama dan tidak dekat dengan Tuhan. Padahal gangguan kejiwaan adalah kondisi medis di otak.
Masih ingat kasus artis korea Choi Jin-ri alias Sulli yang bunuh diri karena depresi? Mantan personil girlband f(x) ini bukan meninggal gantung diri tapi aksinya dipicu depresi akibat hujatan negatif yang dia terima dari media sosial. Sulli dianggap sebagai perempuan lugu dan periang. Tapi sayangnya, ketika Sulli memposting hal-hal di luar citra baiknya, komentar-komentar negatif datang yang memandangnya buruk atau gagal menjadi idola yang beradab.
Ia sendiri sempat mengakui kalau ia mengalami gangguan mental. Tapi sayangnya publik menganggap ia hanya mencari perhatian. Memang kadang orang yang mengalami gangguan mental acapkali tidak terlihat di depan bahwa dirinya menderita. Di setiap postingan media sosialnya, Sulli masih terlihat ceria menjalani karirnya sebagai influencer. Dari luar masih bisa tersenyum dan berinteraksi seperti biasa, tapi kalau mereka sendirian bisa tiba-tiba merasakan putus asa sampai ada pikiran dunia ini tidak mendukung dia.
Stigma-stigma sosial dan diskriminasi yang dialami oleh penderita gangguan jiwa, seringkali membuat mereka malu untuk menceritakan hal tersebut, apalagi pergi ke psikolog atau psikiater. Meski sudah gencar yang mengampanyekan isu kesehatan mental, belakangan muncul orang-orang yang mengklaim dirinya punya gangguan mental. Masih banyak yang bingung ketika merespon orang yang mengalami depresi.
Hal ini menjadi PR buat Indonesia terhadap edukasi tentang kesehatan mental. Peningkatan kesadaran kesehatan mental ini seharusnya dilanjutkan dengan pendidikan intervensi krisis mental tahap awal. Misal kalau kamu merasa depresi, jangan langsung memvonis diri sendiri bahwa kamu tidak punya harapan. Masih ingat kan Joker? Tekanan mental memang nggak mudah tapi kamu pasti bisa melewatinya!
Penulis,
Aluna Swastamita
(bukan nama sebenarnya, tapi nama pena)