Menu

Mode Gelap
 

Esai · 29 Sep 2022 10:23 WITA ·

Jalur Rempah: Ruang Waktu yang Menggerakan Dunia


 Jalur Rempah: Ruang Waktu yang Menggerakan Dunia Perbesar

Peta: wikipedia.org

Betapa apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam lima tahun terakhir tentang “Indonesia sebagai poros maritim dunia” merupakan langkah strategis. Sebagaimana itu, adalah hal yang dibakar oleh kobaran sejarah, dikonstruksi sebagai—bukan hanya warisan—namun penataan masa depan. Berkaca dalam warna yang berbeda, Cina dengan mega proyek one belt one road, bisa dilihat sebagai rupa baru dari apa yang disebut dulu dengan jalur sutra silk road. Dengan tak berkesudahan, kata kunci yang ingin diajukan dalam usaha membangun masa depan memerlukan pandangan bagaimana sebenarnya kita di belakang (in the time).

Kajian yang ramai di Indonesia tentang hal yang dimaksud adalah jalur rempah. Jalur ini tak sekedar rute pelayaran atau perdagangan, namun ada semacam kebudayaan yang saling berbicara. Jalur ini juga hidup dengan kebudayaan yang dinamis, dari hasil silang budaya. Sehingga rempah tak sekedar komoditi namun itu bisa dimaknai sebagai penggerak zaman.  Dari sanalah Indonesia ditempatkan sebagai pusat, tujuan sekaligus tempat yang merubah wajah dunia.

Sebelum itu, pra abad ke-16 M, rempah merupakan cerita surgawi, terutama bagi bangsa eropa. Itu diceritakan dengan kisah-kisah puspa-sastra atau memuji-muji tentang satu jenis tanaman yang sangat dicari di abad 8 M – 16 M (sebelum Portugis datang). Turner (2005, 2011) menggambarkan rempah di Eropa menjadi sangat imajinatif dengan menyebutnya sebagai “…yang dicintai dan dibenci…”. Ini sungguh aneh. Betapa bayangan kita atas “bumbu dapur” ternyata punya dentuman sejarah yang terekam dalam pengalaman nan bukan sekedar penambah nikmat cita rasa makanan. Lebih dari itu, mitos-mitos terselubung di atasnya: tentang rempah yang digunakan dunia sebagai bahan ritual tertentu atau pengaruh istilah ini hingga sekarang. Di Amerika, kata ini (rempah:spice) bahkan digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang erotis.

Pengaruh rempah yang kuat itu menimbulkan episode perebutan, perang, diplomasi dan kuasa pengetahuan. Hal ini tidak lain, rempah yang membawa hasrat: cita rasa, eksotisme, kekuasaan sampai optimisme. Ilmu kartografi bisa dikatakan satu hal yang berkembang karena dorongan kondisi itu. Jan Huygen van Linschoten bahkan menciptakan situasi yang sulit dicerna untuk masa sekarang, yaitu mencuri peta. Ia merupakan seorang Belanda yang menyusup di seminari Portugis di Goa (1583-1588), untuk menyalin secara sepihak dokumen yang berkaitan dengan navigasi, dan segala hal yang berkaitan dengan peta dagang Portugis (Rahman, 2019:353). Ini seperti menggambarkan—dalam situasi kini—pada kondisi di mana ada perburuan harta karun dengan peta sebagai kuncinya. Sangat dramatis.

Cornelis de Houtman, kemudian merupakan orang yang berada pada posisi serupa Linschoten. Namun tak seperti Linschoten, de Houtman menggunakan tangan lainnya untuk melakukan spionase merebut peta pelayaran ke kepulauan rempah. Ia menggunakan data yang dikumpulkan oleh Petrus Plancius dari Iberia dan London tentang beberapa catatan rute pelayaran. Dari tindak laku Plancius ini kemudian dibukukan menjadi sesuatu yang berharga bagi Belanda sendiri, karena menyingkap tabir misteri pelayaran Portugis yang disembunyikan. Hingga dari sanalah de Houtman pertama kali ke Nusantara dan mendarat di Banten (2019:354). Kedatangan de Houtman benar-benar membuka gerbang, babak baru kehidupan di Nusantara.

Gerbang baru itu adalah kolonialisme di Nusantara. Sebuah momok menakutkan, kisah penundukan abad 16 M – 20 M. Bergerak melalui dua hal: dominasi militer, ekonomi dan kebudayaan. Walau begitu, yang disebut terakhir bersifat imajinatif. Bagaimana hal itu sebenarnya terjadi dengan berbagai macam mitos. Mulai dari kosakata pejoratif seperti “350 tahun dijajah” sampai inlander. Waktu 3,5 abad itu dibanding sebagai kenyataan lebih kepada digunakan untuk menciptakan rasa sakit bersama sebagai sebuah bangsa yang satu. Pada kenyataannya dalam studi yang dilakukan oleh Resink (1968, 2012) “Bukan 350 Tahun Dijajah”, periode berabad-abad itu tidak bermakna general. Ia melakukan pendekatan dari hukum internasional. Keadaan saat itu, seperti di Aceh merupakan kerajaan yang setara dengan Belanda. Ditambah lagi ada kerajaan zelfbestuur. Sebuah terminologi yang digunakan Belanda untuk menggambarkan pemerintahan yang merdeka, namun mempunyai kontrak tertentu dengannya.

Selanjutnya adalah apa yang dikonstruksi kolonial sebagai “inlander”. Watak ini dibanding menjadi sesuatu yang benar-benar nyata, sebenarnya lebih kepada hal yang bersifat khayal. Itu berdasarkan pada pemaknaan antara yang datang dan yang tempatan. Sebuah pandangan bias dari dominasi barat berbicara tentang timur. Keadaan di mana penempatan biner dalam konstruk mental yang superior dan inferior. Ini menjadi sangat kontras dengan watak kosmopolitanisme dalam jalur rempah. Sebab dalam abad yang cukup panjang itu, jalur rempah benar-benar membuka mata semua orang. Garis pantai, pelabuhan, dan teknologi perkapalan menjadi stimulus perdagangan dan kebudayaan yang cair. Jadinya ambigu untuk menyebut istilah kebudayaan yang isolatif dalam episode ini. Begitulah watak sejarah dan kebudayaan kita.  

Bacaan: 

Fadly Rahman, “Negeri Rempah-Rempah” Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah, Patanjala Vol. 11 No. 3 September 2019.

G.J Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah, (Komunitas Bambu, Depok, (1968, 2012). 

Turner, Jack, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (Komunitas Bambu, Depok, 2011)


Penulis,

Ersyad Mamonto,

Peneliti di Pusat Studi Sejarah, Adat dan Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club (PUSSAKABin-ISC)

    

Artikel ini telah dibaca 1 kali

Baca Lainnya

ODI PURWANTO : “Seniman Beladiri yang Mendapatkan Banyak Sabuk Kehormatan”

17 Maret 2025 - 22:56 WITA

KICKBOXING DARI AKAR KUNO HINGGA RING MODERN

6 Maret 2025 - 19:04 WITA

Ilustrasi petarung Kickboxing (sumber : pinterest)

Kempo Mania Club: “Pergi Biaya Sendiri, Pulang Panen Medali”

6 Januari 2025 - 14:55 WITA

SJL-MAP : Kami Titip Bolmut di Tangan Bapak

28 November 2024 - 04:25 WITA

Kempo Bolmut Gelar Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) Kyukenshi Tingkatan Kyu VI Sabuk Putih

13 November 2024 - 13:59 WITA

Disabilitas: Pergulatan Tubuh Minoritas

6 Desember 2023 - 00:13 WITA

Trending di Esai