![]() |
Foto penulis (Ersad Mamonto) dalam rangka menghadiri Harla ISC 2019. |
Dulu ada yang meminta saya untuk menjelaskan kata Inomasa. Jelas saya menolak hal tersebut karena itu tugas berat. Orang itupun heran. Karena saat itu saya sedang mengetuai organisasi Inomasa Study Club atau yang biasa dikenal ISC.
Keheranannya memang beralasan. Sebagai ketua, tentu harus tahu setiap sudut organisasi, bahkan hal sesederhana nama.
Sejauh ini Inomasa memang diartikan sebagai pohon keramat bukti kekuasaan Tokukwasa (Tuhan dalam bahasa Bintauna). Tapi, jika ditelisik lagi Inomasa adalah nama dari pohon tersebut. Tak tahu jelas arti dari kata tersebut. Bahkan untuk menerka saja sulit.
Secara kebetulan tahun 2018 saya dipercayakan memandu Seminar Kamus Bahasa Bintauna yang digalakan oleh ISC. Kata ini bahkan hampir tak dibahas karena tidak tahu presedennya kemana.
Ini jelas begitu misterius, sebab Inomasa cukup dan sangat populer untuk digunakan di berabagai kesempatan. Ada lapangan Inomasa yang bertempat di alun-alum Bintauna, ISC yang menggunaknnya, atau belakangan lahir platform yang memakai kata Inomasa, seperti Teras Inomasa.
Dari kata Inomasa yang cukup melekat dibenak orang Bintauna, ini menandakan ada sistem berfikir yang menghasilkan produk ini.
Sejauh spekulasi saya Inomasa bisa saja berkaitan dengan sistem kepercayaan dulu. Atau dalam konstruksi Barat dikenal dengan animisme.
E.B Tylor menjelaskan animisme sebagai akar dari evolusi agama (animisme-politeisme-monoteisme). Pandangan ini memang sangat bias untuk melihat konstruksi berpikir kepercayaan dahulu kala di Bintauna. Karena saat disematkan animisme, ada sebuah ruang prmitivis yang coba dikerangkangkan pada objek yang dipandang. Sebab terminologi animisme berkaitan dengan orang-orang yang dianggap masih primitif dan perlu ada proses pemeradaban.
Hanya begini, jika sejauh ini ada sebuah jejak kepercayaan–sebelum monteistik–yang erat kaitannya denga kepercayaan atas relasi manusia dan alam, maka bisa saja Inomasa adalah bagian dari lanskap tersebut.
Memandang Inomasa dalam bentuk pohon keramat adalah benang merah untuk menyambungkan pada kepercayaan dulu. Kepercayaan dulu di Bintauna maupun di lain tempat, selalu menempatkan alam sebagai subjek yang sama. Alam dipandang bukan sebagai “benda” tapi juga sebagai sesuatu yang “hidup”.
Seperti dalam kepercayaan Jawa dulu yang dikenal dengan Kapitayan, mengenal Tuhan dengan sebutan Shanghyang Taya, yang memiliki sifat ‘tu’ atau ‘to’. Sifat berpretensi kebaikan, contohnya tu-nggak yang berarti batang pohon (lihat: Atlas Walisongo, Agus Sunyoto).
Serupa dengan Kapitayan atau sistem kerpercayaan yang lainnya, dengan kemesteriusan kata Inomasa yang populer: mungkinkah itu adalah sistem kepercayaan orang Bintauna dulu?
Penulis:
Ersyad Mamonto
PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah, Adat, dan Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club).
Editor:
Panji Datunsolang