Goyo yang Sendu

2 min read


Ilustrasi: Anak-anak Desa Goyo


Setiap sore; dahulu di sini, desa di pelosok paling Utara Celebes, atau biasa disebut “Goyo” Anak-anak bermain riang, permainan tradisional yang jarang ditemukan di daerah perkotaan atau pun desa yang sudah mengikuti gaya ke Barat-baratan. Tak ada alat elektronik, tak ada WiFi, tak ada Facebook, WA,  Instagram, Twitter, YouTube, pesan masuk, dan tentunya tak ada konten-konten yang menjadikan jiwa-jiwa resah semakin gundah. Di sini hanya ada kedamaian untuk jiwa tapi tidak untuk masa depan yang cerah—bagi sebagian orang.


Yah, semua orang yang mengenal desa ini mampu merasakanya. Di sini banyak anak yang memilih menikah muda daripada bersekolah, bukan karena keinginannya tapi karena alasan umum, lagi-lagi menyoal ekonomi. Banyak anak yang menginginkan untuk bisa merasakan pendidikan tapi hal itu seolah alam pun ikut mengabaikan. Merengek, menangis, menjerit, meratap, menyesal. Hanya itu yang mampu dilakukan. Terkadang aku binggung dengan pemerintah, iya, siapa lagi yang mampu disalahkan untuk ketimpangan ini. Tak ada daya dan upaya untuk orang-orang tak mampu seperti kami yang makan pun sering kehabisan, dan harus mengutang untuk menutupi kebutuhan ekonomi atau biaya sekolah.


Masa depan bangsa tergantung pada generasi penerusnya, jika hari ini pemerintah hanya sibuk membangun infrastruktur dengan menepikan pendidikan, maka akan jadi apa nasib bangsa ini kedepannya Kita terlalu banyak gedung-gedung tinggi, juga terlalu banyak anak-anak yang putus sekolah dan menikah muda, hidup serba kekurangan. Lantas, siapa yang akan mengurus daerah dan negeri ini kedepannya jika banyak anak yang tidak mengenyam pendidikan? 


Hal ini bertentangan dengan undang-undang yang di mana ada potongan kalimat “Mencerdeskan kehidupan bangsa” ini mungkin menjadikan negara ini jauh tertinggal, sebab pendidikan bukan hal yang diutamakan. Moderenitas telah membawa manusia tercerabut dari akarnya, yang dianggap memikat justru malah mengikat. Kepedulian hanya lewat kata-kata, jika ada yang peduli suaranya dibungkam, tidak diberikan pekerjaan atau diturungkan dari pangkat dan jabatan. Ironi negeri ini, ironi daerahku. Aku yakin pasti para leluhur sedih melihatnya. Aku pun sama. Mari menangis, meratap dan berdoa semoga Malaikat Israfil segela meniupkan sangkakalanya, aku bosan dengan kehidupan yang ambigu ini.


Awalnya desa ini masih banyak yang menghuni, seiring berjalanya waktu penduduknya mulai menyusut. Banyak yang putus sekolah dan tidak sedikit yang menikah muda, alasanya tentu beragam, mulai dari ekonomi, sosial, sistem pemeritahan yang lemah dan masih banyak lagi. Ada rasa simpati yang muncul tiap kali melihat mereka yang putus sekolah. Tak mampu merasakan nikmatnya pendidikan untuk menumpas kebodohan. Aku adalah salah satu yang beruntung bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Dengan modal semangat yang berapi-api dan doa yang selalu melangit serta harapan dan impian yang kugantungkan tinggi-tinggi, hingga mampu menerabas batas-batas ketidakmampuan. Juga tentunya tak lepas dari peran Ibu yang sudah banting tulang dalam menghidupi.


Alangkah merugi mereka yang mampu tapi tidak mempedulikan hal yang satu ini, kenikmatan yang tiada tara. Di sini banyak yang dapat dipelajari. Anak-anak sibuk bermain dan belajar, tentunya bukan sibuk dengan gawai sambil Tik-Tokan.


Yah, seperti itulah gambaranya. Kurang lebih sepuluh hari aku berlibur di kampung halaman, tanah nan indah dan subur, banyak infrastruktur mulai berjejeran di atas tanah—sebagai lambang kesuksesan pemerintah dari periode ke periode—era industri diam-diam telah menyeruak di daerah yang baru 13 tahun dimekaran ini. Sungguh indah permai negeri ini, tak dapat diucapkan dengan kata-kata keelokanya. Jika tak percaya cobalah mampir ke sini, aku jamin kau akan merengek pada Tuhan agar waktu tak cepat-cepat berlalu. 


Ironisnya dibalik keelokan itu banyak tersimpan ‘penderitaan’. Ah, maaf. Aku tak menemukan kata lain untuk menganalogikanya, semua terkesan ambigu. Di daerah ini banyak anak yang putus sekolah dan tidak sedikit yang menikah muda, kesejahteraan rakyat masih sangat abstrak, kebudayaan mulai memudar seiring berjalannya waktu. Seperti ada garis waktu yang tegas tentang bata yang disusun dari pajak rakyat itu, tidak menyelesaikan masalah paling fundamental anak-anak yang “diterlantarkan” peradaban. 


Berbicara tentang kebudayaan dalam masyarakat, tentunya ini menjadi tanda tanya besar pada setiap individu, khususnya saya sebagai seorang mahasiswa. Menilik era moderen yang semakin menguasai sendi kehidupan, tentunya kebudayaan yang telah terbangun dalam masyarakat mulai terkikis oleh perkembangan zaman itu sendiri. Hari ini kita mulai diperlihatkan betapa masyarakat lebih senang berkomunikasi lewat media daripada tatap muka, tak ada lagi budaya gotong royong, semuanya serba uang, serba suruh. Betapa anak-anak lebih senang mengakrabkan diri dengan gawai daripada buku, berapa permainan tradisional sudah mulai ditinggalkan  oleh kecanggihan teknologi.




Penulis,

Alin Pangalima
Pegiat Literasi di Bolaang Mongondow Utara, Kelahiran Desa Goyo.

Arif Menyikapi Perbedaan

Sumber Ilustrasi: medcom.id Perbedaan adalah sunnatullah dan keragaman adalah kenyataan yang menunjukkan ke-Maha-Besar-an Sang Khaliq. Allah Swt menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain sesuai...
admin
5 min read

Polemik Legalisasi Miras: Kemana Kita Mengarahkannya?

Sumber ilustrasi: kanalberita.co 1920 – 1933 di Amerika Serikat dikenal dengan Era Pelarangan (Prohibition Era) yaitu tahun-tahun di mana minuman keras diharamkan di Amerika...
admin
1 min read

Belenggu Cantik dan Hal-hal yang Belum Selesai

Ilustrasi : Pobela.com Dulu, kerap kali menatap diri di cermin, selalu saja berucap kalimat yang pada akhirnya adalah pengeluhan. Kenapa sih kok begini? Kenapa...
admin
3 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *