![]() |
Sumber gambar mbak google |
Masa kecil adalah masa yang paling bahagia menurut saya. Apalagi masa kecil di era 90-an. Sekolah, main, mengaji adalah rutinitas harian.
Beragam ingatan yang tersaji di ingatan ketika bicara masa kecil. Khususnya soal permainan tradisional. Mulai dari pingsika, supera, singkia, kasti, tawan, petak-umpet, dan gogotupa.
Di antara permainan ini, ada satu yang paling saya sukai, yakni gogotupa (senapan dari bambu yang menggunakan peluru kertas, atau buah jambu air yang masih berukuran kecil).
Cara membuatnya cukup mudah. Cukup ambil cabang bambu yang beruas panjang dan lurus. Potong kedua bagian ruasnya. Lalu ambil lagi bambu pada ruas lainnya untuk dijadikan gagang guna menyelipkan bambu yang telah dihaluskan (dibentuk bulat). Dan akhirnya, jadilah senapan bambu atau gogotupa.
Permainan ini paling asyik dimainkan lebih dari satu orang (beregu). Bak seorang aktor Hollywood, Rambo. Mengatur strategi dan bersembunyi agar tak kena tembakan. Aktingnya total. Jika terkena, harus benar-benar terkapar ke tanah.
Masuk ketahun 2000-an, ketika gadget mulai diminati, gogotupa seakan tereliminasi oleh zaman. Ia dilupakan begitu saja. Bahkan, jika generasi sekarang ini ditanya soal gogotupa, mereka kebingungan. Tak ada memori di kepala mereka terhadap permainan tradisonal satu ini.
Zaman sudah semakin canggih. Gaya hidup sudah berubah. Relasi alam-manusia pun sudah hampir sejengkal “punah”. Gogutupa kini beralih ke game online. PUBG dan Free Fire mendominasi kalangan muda. Tak heran, jika saat ini generasi 2000-an “tak kreatif”.
Kenapa tak kreatif ?
Karna relasi alam-manusia, mendidik generasi 90-an untuk otodidak dalam menciptakan kesenangan mereka. Merealisasikan setiap fantasi visual yang didapat dari televisi.
Pun ingatan dari penceritraan orang-orang tua tentang permainan mereka dahulu. Berbeda jauh dengan anak-anak zaman sekarang. Hanya sekolah yang mendidik mereka. Tidak dengan alam.
Tak ayal, mereka akan kesulitan menghasilkan kegembiraan masa kecilnya sendiri. Untuk mencapai kegembiraan itu, harus ada syarat. Begitulah aturan yang dibuat oleh game online. Harus punya kuota data untuk memainkannya. Jaringan harus bagus. Bahkan ada beberapa yang memaksa, merengek untuk dibelikan gadget, meskipun orang tuanya tidak berkemampuan
Teknologi adalah sebuah keharusan. Tapi bukan berarti kita sepenuhnya bergantung padanya. Kita tak bisa menyalahkan zaman yang telah melahirkan kebaruan dalam kehidupan. Mempermudah setiap jengkal pekerjaan.
Ada hal-hal yang mesti dipertahankan. Semisal budaya. Ia mesti tetap abadi. Karena darinyalah peradaban muncul sehingga memuncak seperti dewasa ini.
Permainan tradisional pun begitu. Ia mesti dijaga. Walaupun gempuran zaman bertubi-tubi datangnya dengan berbagai ragam.
Siapa yang harus menjaga?
Jawabannya adalah kita sendiri. Memelihara dan melestarikan setiap jengkal peradaban yang ditinggalkan. Karena darinya (permainan tradisional), eksistensi dari sebuah etnis atau komunitas mudah dikenal. Pun, kita menjadi penerus yang tidak lupa diri.
Penulis:
Rian Laurestabo
PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah, Adat & Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club).
Editor:
Panji Datunsolang