Menu

Mode Gelap
 

Esai · 6 Des 2023 00:13 WITA ·

Disabilitas: Pergulatan Tubuh Minoritas


 Disabilitas: Pergulatan Tubuh Minoritas Perbesar

Menjadi penyandang disabilitas bukan berarti memiliki tubuh yang rusak atau cacat, melainkan tubuh minoritas. Tubuh yang berbeda bentuk dengan tubuh sebagian besar orang. Dan hampir sepanjang waktu, tubuh itu didefinisikan oleh non-penyandang disabilitas dengan pelbagai predikat yang tidak adil.

Elizabeth Barnes, filsuf kontemporer lewat buku “Minority Body” menguak ketidakadilan sejak level epistemik. Barnes menyebut ini ketidakadilan hermeneutis. Masih ingatkah ketika kesaksian kulit hitam di ruang pengadilan tidak diindahkan hakim kulit putih di Amerika? Atau perempuan yang tidak bisa mengartikulasikan konsep diri mereka tanpa bergantung kepada tafsir laki-laki atas perempuan?

Sejarah marginalisasi sosial, bekerja dengan cara demikian. Menjadikan subjek lain sebagai orang yang tak kompeten secara epistemik, mendevaluasi kapasitas yang termarjinalkan sebagai subjek yang seakan tidak kuasa memahami diri sendiri dan tidak mampu mengartikulasikan diri kepada orang lain. 

Dalam rasialisme, kulit hitam dinilai inferior ketimbang kulit putih. Dalam seksisme, perempuan dianggap jenis kelamin kelas dua di hadapan laki-laki. Dalam kolonialisme, pribumi tak ubahnya manusia setengah binatang oleh mata penjajah. Dalam homoseksualitas, mereka yang orientasi seksualnya sejenis dianggap pendosa, menyimpang secara seksual, dan mengidap sakit jiwa oleh heteroseksual. Dan seterusnya dan seterusnya  dan seterusnya.

Ketidakadilan Hermeneutis Penyandang Disabilitas

Demikianlah ketidakadilan itu bekerja. Penyandang disabilitas tidak luput dari itu. Selama ini ada dua kacamata yang digunakan buat melihat penyandang disabilitas: model medis dan model sosial. Model yang pertama melihat penyandang disabilitas sebagai gangguan fungsi biologis atau kognitif, entah karena faktor genetika atau kecelakaan. Model medis menatap mereka sebagai pasien dengan orientasi penyembuhan. Secara individual—sepersis pasien lain di rumah sakit—penyandang disabilitas dianggap korban tragedi.

Resolusi medis untuk ini ialah mengembangkan institusi yang ramah disabilitas, teknologi kesehatan, terapi, dan paling penting yakni hak atas sumber daya kesehatan. 

Tapi model sosial menemukan kelemahan dari model medis ini. Melihat penyandang disabilitas sebagai pasien, berisiko mengabaikan prasangka, stigma, dan stereotip terhadap mereka. Yang pada gilirannya, turut mengabaikan tanggung jawab sosial pada difabel.

Model berpikir sosial lebih fokus ada hak-hak sipil. Difabel adalah masalah sosial yang mesti diatasi dengan supremasi hukum, kebijakan politik, dan pendekatan institusional. Paradigma sosial melihat pergulatan penyandang disabilitas tidak berbeda dengan perjuangan rasial dan seksual melawan marginalisasi.

Lantas di mana posisi Elizabeth Barnes? Bagi filsuf perempuan itu, baik cara berpikir medis maupun sosial, masih berpijak pada hal yang sama: anggapan bahwa lahir atau menjadi difabel adalah tragedi. Dan ini, sekali lagi, merupakan ketidakadilan hermeneutis yang disematkan oleh non-difabel.

Prasangka satu arah ini telah dan masih berlangsung di tengah-tengah kita. Semisal teman saya yang terlahir sumbing, meyakini mitos di masyarakat Bongkudai bahwa anak menjadi sumbing kalau ibunya menjahit semasa proses kehamilan. Di kantin kampus saya, ada anak tuna rungu yang diyakini terlahir demikian karena ayahnya suka mencuri kotak amal masjid. Memiliki tubuh minoritas, dimaknai sebagai kemalangan, sebagai keterbatasan.

Ketidakadilan hermeneutis paling buruk terhadap penyandang disabilitas dalam sejarah, bisa kita tengok pada periode Nazi. Ambisi pada kemurnian ras Arya, mendorong Hitler melakukan “euthanasia” secara sistematis terhadap penyandang  disabilitas. Lebih dari melihat difabel sebagai tubuh yang berbeda, kekuasaan Nazi menyebut mereka sebagai yang “tak pantas hidup”.

Penelitian Barnes mendapati bahwa publik menilai penyandang disabilitas sebagai sesuatu yang berbeda secara negatif ketika dibandingkan dengan non-difabel. Penyandang disabilitas, sadar atau tidak sadar, dilihat mengalami penyimpangan fungsi inderawi, biologis, datau kognitif.

Ketidakadilan hermeneutis menunjukkan bagaimana pengalaman positif penyandang disabilitas sering diabaikan. Non-penyandang disabilitas hanya tahu bahwa difabel adalah “negatif”, defisit tubuh datau kognitif.  Dari sana, Elizabeth Barnes menyusun cara-cara mengartikulasikan perlawanan atas prasangka.

Ketimbang memilih model medis atau model sosial, Elizabeth Barnes justru mengambil model bebas-nilai. Ia melihat penyandang disabilitas secara netral. Tidak mengamini ketidakadilan hermeneutis non-difabel pada yang difabel, dengan tatapan seakan melihat sesuatu yang “berbeda secara negatif”. Barnes melihat perbandingan itu murni sebagai distingsi yang deskriptif, bukan normatif.

Disability Pride

“Bahasa adalah rumah bagi manusia,” tutur Heidegger yang saya parafrase di sini. Pergulatan eksistensial manusia, bisa ditempuh dengan bahasa. Bahasa menawarkan cara untuk melawan dari pinggiran. “Kata-kata sulit digantikan. Saya pikir, lebih mudah mengubah makna,” tulis Barnes. Kelompok penyandang disabilitas pun menawarkan bahasa tandingan untuk ketidakadilan hermeneutis mereka: Parade Kebanggan Disabilitas (Disability Pride).

Disability Pride ini bermula pada bulan Juli 1990. Sebagaimana LGBT Pride yang dilangsungkan setiap bulan Juni, Disability Pride adalah parade kebanggaan kelompok disabilitas berupa pawai panjang memenuhi ruas-ruas jalan, melangkah dengan gempor, memberi pesan kepada banyak orang kalau para penyandang disabilitas menolak stereotipe, stigma, dan diskriminasi yang diarahkan kepada mereka. 

Lewat Parade Kebanggaan Disabilitas, mereka hendak mengubah apa yang kita ketahui mengenai disabilitas, seraya memberi pemahaman mengenai bagaimana cara kita mengetahui apa yang harusnya kita ketahui soal mereka. Parade Kebanggan Disabilitas adalah ikhtiar mengartikulasikan diri penyandang disabilitas tanpa perlu bersandar pada definisi-definisi yang disematkan non-difabel.

Atau singkatnya, perjuangan merebut keadilan epistemik.

Elizabeth Barnes telah mengamati para juara di pelbagai cabang olahraga Paralimpik. Sembilan puluh persen lebih, juara Paralimpik akan menyebut kalimat yang kurang lebih begini, “Aku tidak pernah menganggap diriku disabilitas.” 

Kalimat itu sebenarnya mengandung makna kalau mereka menolak melihat dirinya sendiri dibatasi oleh disabilitas, atau mereka tidak kehilangan arti penting terhadap  dirinya sendiri. Seakan-akan berkata, kalau mereka hendak menolak nasibnya sebagai suatu kesialan, tragedi, atau keterbatasan yang perlu karitatif.

Demikianlah pergulatan pemilik tubuh minoritas. Disabilitas bukanlah sesuatu yang defisit fungsi bio-psikoklogis atau negatif sebagaimana prasangka non-penyandang disabilitas. Toh seorang yang mandul  tidak kita sebut penyandang disabilitas meskipun fungsi biologis di sistem seksualnya tida bekerja sebagaimana orang banyak. 

Tom Shakespeare, penyandang disabilitas sekaligus professor di bidang riset disabilitas berkata dalam sebuah ceramah, “Menjadi difabel artinya memiliki pilihan yang terbatas. Kami tidak bisa melakukan yang bisa dilakukan orang lain. Tapi bukan berarti kami menjalani hidup yang payah. Sepanjang kita bisa bersandar pada transportasi yang aksesibel, tempat yang layak disebut rumah, peluang yang setara untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain.”

Tubuh yang minoritas itu tidak menjalani hidup yang buruk, sepanjang ada kesetaraan akses atas kebaikan sosial. Dan bukankah kebaikan sosial itu juga sesuatu yang diinginkan oleh tubuh mayoritas?


Penulis,

Tyo Mokoagow

Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kempo Mania Club: “Pergi Biaya Sendiri, Pulang Panen Medali”

6 Januari 2025 - 14:55 WITA

Kempo Bolmut Gelar Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) Kyukenshi Tingkatan Kyu VI Sabuk Putih

13 November 2024 - 13:59 WITA

Puan: Penantian yang Jauh Lebih Panjang dari Ukuran Waktu

24 November 2023 - 02:45 WITA

Saudagar dari Boeko, ‘Ajoeba Saidi’

15 November 2023 - 07:14 WITA

For You Page (#fyp): Sebuah Arus Utama dalam Melihat Akal Dunia

21 Juli 2023 - 13:43 WITA

Demokrasi Radikal, dan Komedi Tunggal

11 Juni 2023 - 16:59 WITA

Trending di Esai