Komedi adalah kekuatan yang mencairkan ketakutan. Tawa bisa sesubversif itu, dan Serbia awal abad ke-21 paham betul artinya. Srdja Popovic memimpin gerakan mahasiswa yang menumbangkan si tangan besi, Slobodan Milosevic. Alat politiknya sangat dekat dan karib dengan sifat dasar manusia: komedi.
Dunia jarang mengenal alat politik satu ini. Kalangan aktivisme menyebutnya dengan frasa laughtivism, gerakan satire politik yang merekat solidaritas moral melawan status quo dengan cara “… menusuk para penguasa yang tak bersentuhan sama rakyat,” ujar Popovic.
Tawa bukanlah sesuatu yang temeh-temeh. Tawa menular laksana kepak sayap kupu-kupu, ia mekar ke puluhan negara lain sebagai gerakan revolusioner yang kreatif non-kekerasan. Syahdan, negara bahkan bisa ketakutan dengan kekuatan tawa.
Di republik yang terletak tepat pada jantung Eropa itu, pada awal abad ke-21, mereka yang ingin melawan kekuasaan Serbia tidak punya apa-apa. Mereka tak miliki akses ke media, tak punya duit, tak punya bedil, tak punya apapun selain kata-kata dan senda gurau belaka.
Kata-kata sebagai senjata pada jantung politik lebih dikenal dengan istilah roasting dalam panggung stand up comedy atau komedi tunggal. Di Bolaang Mongondow, ada diksi sepadan mengenai ini: “poleke”—yang entah kenapa, kerap dipraktikkan ke bawah tapi jarang (kalau bukan tidak pernah) ke atas.
Komedi tunggal diam-diam sedang tumbuh di bawah tanah utara Celebes.
Dalam iklim kebebasan berekspresi dan beropini, orang-orang mengisahkan bagaimana ia berdamai dengan tragedi. Kadang kala diselipkan kekesalan pada politik yang jumud. Bila sedang beruntung, satu orang korban akan diolok-olok (di-poleke)—secara langsung atau tidak langsung, tersirat atau tersurat—yang sebenarnya mewakili kegelisahan banyak orang. Semuanya diterima dengan cara sama, pecah tawa di udara.
Para komika tunggal di Kotamobagu bahkan pernah menerima somasi sebanyak tiga kali sepanjang perjalanannya, hanya karena bicara isu-isu sosial. Bolaang Mongondow Utara, atau Binadou, sedang merintis komunitas yang sama. Salah satu komika tunggal di sana bernama Farid Mamonto, jokes-nya yang paling aku suka kira-kira seperti ini:
“’Dek, jangan maso PMII, dong cuma mo batunangan akang.’ Kita balas: ‘Dek, jangan maso HMI, bukang cuma dorang batunangan akang pa ngana, dong kase bermain lagi.’ Anak IMM datang, ‘Dek, jangan maso PMII ato HMI, batungan itu haram!’”
Mantan aktivis mahasiswa itu berhasil membungkus satire ideologis antar organisasi mahasiswa dengan dagelan kocak, yang bisa dengan cepat membuat audiens mengangguk-angguk dan mengikik-ngikik. Sebagai anak HMI, memang saya tidak sepakat pendapat Farid, kecuali kalau ada HMI Cabang Metro di kampusnya.
Kelakar yang lebih dekat dengan gerakan laughtivism, adalah lelucon Farid soal Bolmut Juara, yang baru-baru ini bupatinya dipanggil KPK. Ketika masyarakat Binadou berprasangka negatif, Farid justru bangga karena bupatinya bisa masuk media nasional. Informasi Farid keliru, sebab bupati Boltim pun diperiksa KPK dan diulas di banyak media nasional. Kecuali kalau yang dimaksud Farid adalah Bolmut Cabang Metro.
Laughtivism, aktivisme tawa, tumbuh di kalangan komika tunggal.
Pandji Pragiwaksono, Kiki, Abdur Arsyad, Mamat Alkatiri, sampai ke komika-komika lokal Sulawesi Utara. Ketika mikropon digenggam seorang komedian, ia bisa menjadi corong keresahan. Paling radikal, ia bisa menjadi alat mengusik singgasana kekuasaan. Seruan ancaman kepada mereka tidak jarang ramai di ruang publik.
Munawar Faruqui, komedian muslim asal India dibekuk hukum selama berbulan-bulan karena dagelannya kepada anak seorang politisi Hindu tersohor; Shady Abu Zaid ditangkap rezim Mesir karena acara satire politik pada 2018; Ablikim Kalkun dipenjara 18 tahun gegara menguak diskriminasi Cina terhadap pendidikan nasional; Zarganar diboikot pemerintahan opresif Myanmar di mana saja; dan banyak lagi.
Sampai sini, kita sepertinya bisa mengukur seberapa besar toleransi demokrasi dari cara penguasa menanggapi komedi.
Tapi secara umum, Indonesia jauh lebih sejuk. Tidak seperti negara-negara otoriter yang terlalu tipis telinga, iklim demokrasi kita masih cukup kondusif untuk komedi dan politik hidup berdampingan.
Apa yang diargumentasikan seorang komedian di atas panggung bisa saja berbeda dengan keyakinan orang lain. Tapi dalam demokrasi radikal, hanya ada satu dalil, semuanya bisa bersepakat untuk tidak bersepakat.
Sebagaimana Voltaire dulu pernah bilang kepada sejarah, yang saya parafrasekan di sini: “Aku mungkin tidak akan sepakat dengan pendapatmu, tapi aku akan mempertahankan mati-matian kebebasanmu untuk berpendapat.” Kita pun bisa memparafrasekan parafrase itu: “Humormu mungkin tidak lucu bagi politik kita, tapi politik wajib mempertahankan kebebasanmu untuk menyampaikan humor.” Hanya dengan begitu, demokrasi bisa tumbuh dengan sehat dan riang.
Penulis,
Tyo Mokoagow