Cerpen | Upeksha

3 min read

Ilustrasi dari penulis


Rintik hujan mulai berjatuhan mengguyur kota istimewa ini. Suara gemercik air hujan yang teduh, senantiasa menemaniku dan membuatku mengingat kembali luka masa lalu. Masa lalu yang menyimpan segudang luka dan kesedihan yang teramat dalam. Aroma tembakau dan cairan berwarna merah yang mengering di tanganku, menandakan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. 


Dari dalam kedai kopi, aku terdiam melihat segelintir orang yang berlalu-lalang di bawah derasnya hujan. Aku memejamkan mataku menikmati suara hujan dan juga hembusan angin yang terasa dingin menerpa kulitku.


“Lebih baik kita pisah. Biar Rhea yang ikut sama aku.” Ucap seorang wanita paruh baya, Ia Nindy.


PLAKK!!!


Suara tamparan yang terdengar keras, membuat telingaku Jenggal.


“Pergi kamu!!! Cari apa yang ingin kamu cari. Biar Rhea ikut bersamaku. Hidupnya tidak akan terjamin bila ikut bersamamu.” Ucap Pra dengan nada yang tinggi.


Aku terduduk memeluk lutut ku. Tubuhku bergetar hebat mendengar semua percakapan antara papa dan mama. Sungguh, perkataan mereka meninggalkan luka yang teramat dalam. Rasa takut menyelimuti pikiranku. Bagaimana jika nanti kedua orang tuaku meninggalkan aku sendirian? Bagaimana jika nanti hidupku tidak sedamai orang-orang pada umumnya? 


Kejadian kelam 10 tahun yang lalu kembali teringat. Rasa sesak kembali menyeruak. Tidak terasa mataku mengeluarkan air bening yang terus mengalir membawa kesedihan. Ketakutan yang menyelimuti pikiranku di 10 tahun yang lalu, ternyata benar terjadi. Setelah kejadian hari itu, mama membawaku untuk tinggal bersama kakak perempuannya. Ia pergi meninggalkanku entah kemana. Saat ini aku tinggal bersama ayah dan bunda. Mereka lah yang merawat dan membesarkan ku setelah kejadian hari itu. Saat ini aku tidak tahu kabar mama dan papa seperti apa. Tetapi pernah ada yang mengatakan bahwa mama telah menikah lagi bersama seorang lelaki kaya raya.


Suara pelayan kedai membuatku tersadar dari alam lamunanku. Aku tersenyum tipis dan tak lupa mengucapkan terima kasih saat mengetahui ternyata pesanan ku sudah berada di atas meja. Setelah mengusap air mata yang sedari tadi mengalir, aku menyeruput matcha latte favoritku.


Terdengar suara bel kedai berbunyi, mataku refleks melihat pintu masuk kedai. Terlihat seorang wanita menggendong seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur 3 tahun. Wanita itu berjalan menuju meja yang cukup dekat dengan meja tempatku duduk.


“Mama?” Ucapku pelan. Aku mematung. Ada rasa benci dan kecewa saat melihat seorang wanita yang telah lama meninggalkanku hadir di depanku dengan keadaan seperti itu. Semesta memang tak bisa berteman baik denganku. Baru saja kenangan kelam kembali teringat, bisa-bisanya aku dipertemukan oleh manusia yang selama ini aku hindari. 


Seketika matcha latte favoritku sudah terasa hambar. Langsung saja aku membereskan barang-barang ku dan bergegas pergi sebelum wanita itu sadar akan kehadiranku.Hujan di luar ternyata sudah mereda. Waktu menunjukkan pukul setengah 4 sore. Langsung saja aku membuka aplikasi ojek online dan mengunjungi seorang psikiater yang kebetulan rumah sakit tempat Ia bekerja, cukup dekat dengan kedai kopi yang aku kunjungi.


Sesampainya aku di ruang konseling, terlihat seorang wanita paruh baya menyambut ku dengan senyum hangat.


“Hai manusia kuat.” Aku tersenyum saat Ia memanggilku manusia kuat.


Tak sengaja matanya melihat tangan kiri ku yang penuh dengan darah yang mengering.


“Lagi, Rhea?” Tanyanya halus.


“Ayo sini duduk di samping saya.” Ucapnya. Terlihat Ia sedang mencari sesuatu.


Ia, Dokter Rose. Sudah kali ke-5 aku mengunjunginya hanya untuk memeriksa kesehatan mental ku.


Plester luka bermotif kupu-kupu menempel cantik di tangan kiri ku, menutupi luka goresan yang sering aku buat ketika banyak hal yang mengganggu pikiranku. 


Dokter Rose tersenyum setelah mengobati luka di tangan kiri ku.


“Kamu tau, Rhea? Kenapa saya selalu menyarankan kamu untuk menggambar kupu-kupu di tanganmu daripada kamu harus membuat goresan seperti cakaran kucing?” Tanya dokter Rose.


“Kupu-kupu adalah jiwa, Rhe. Psikoterapi adalah penyembuhan jiwa. Tetapi, untuk disembuhkan, jiwa, seperti kupu-kupu, harus melalui siklus transformasi. Perlu untuk melewati tahap ulat, tahap ketidakberdayaan dan ketidaksadaran, berada di pupa, dan tahap upaya untuk menetas dari kepompong. Saya tahu kamu sabar dan berusaha untuk sembuh. Saya yakin kamu pasti bisa, Rhea.” Lanjut dokter Rose.


Entah mengapa, rasa nyaman dan tenang selalu hadir saat bersama dokter Rose. Ah… Entah sudah ke berapa kali aku menangis hari ini.


“Aku gak yakin sama diri sendiri, dok.”


“Setelah 10 tahun lamanya, aku bertemu mama. Di kedai kopi, bersama dengan anak kecil. Mungkin itu anaknya. Aku marah, dok. Aku selalu berdoa untuk tidak bertemu dengan orangtuaku.” Sambung ku dengan penuh emosi.


Dokter Rose memeluk dan menenangkan ku.


Tak terasa, sudah hampir 3 jam aku dan dokter Rose bertukar cerita. Tidak ada tambahan obat baru kali ini, hanya saja aku disuntik obat abilify maintena. Setelah sesi konseling ku sudah selesai, aku pamit dan langsung bergegas untuk pulang. Sejauh ini, aku tidak merasa ada pengaruh baik untuk kesembuhan kesehatan mental ku.


Aku, Rhea Adhara Widajksono, seorang gadis 20 tahun dengan gangguan mental. Aku didiagnosa Bipolar Disorder dan Anxiety Disorder pada kali ke-3 konseling. Banyak hal yang terjadi selama 20 tahun aku berada di Bumi. Beberapa kali melakukan self-harm dan juga sudah 2x melakukan percobaan bunuh diri


Setelah aku membersihkan diri, langsung saja aku bergegas ke tempat tidurku. Terlihat banyak sekali obat-obatan di atas tempat tidurku. Obat yang harus rutin aku minum agar jiwaku cepat pulih. Tanpa sadar aku tertawa, tertawa dengan kehidupan yang memaksaku untuk kuat. 


Ternyata setelah melewati kejadian-kejadian panjang, aku belum bisa berteman baik dengan manusia bumi. Aku masih belum siap menghadapi kejutan-kejutan lainnya di hari esok. Aku membuka beberapa pil obat, dan langsung meneguknya. Damai.


Selamat beristirahat, Rhea.


Penulis:

Denisa Nadia Moha

Mahasiswa Psikologi Islam, IAIN Manado

Assalamualaikum Pak Dokter! (Bag. 2)

  Ilustrasi Di kantor Adam Adam Sudah Selesai Kuliah dua tahun yg lalu. Sekarang dia bekerja di kantor ayahnya. Adam Juga mempunyai teman, namanya...
admin
3 min read

Assalamualaikum Pak Dokter! (Bag. 1)

Ilustrasi Sinar matahari pagi mulai masuk melalui ventilasi udara, menampakkan seorang gadis yang tengah terlelap di dalam selimutnya. Jam dinding menunjukkan pukul 07.00, namun...
admin
2 min read

Cerpen | Langit Makin Mendung

boombastis.com Tulisan ini perna dimuat di “Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 / Sumber: Dok. PDS H.B Jassin”. Lama-lama mereka bosan...
admin
15 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *