Sumber gambar dari penulis. |
Cerpen ini pernah dimuat dalam laman Facebook penulis.
Entah sudah berapa kali Hasim berkonsultasi dengan Jufri tentang mimpi-mimpi anehnya. Mimpi tentang mobil merah yang dikendarainya dengan Jufri keliling pedukuhan Totori yang kerontang itu. Di kala lain dia bermimpi, demikian Hasim dengan penuh semangat menambahkan, mobil merah itu ditungganginya bersama si Yeti, perawan yang telah lama di taksir Jufri. Demi mendengar mimpi yang kemudian itu wajah Jufri berubah masam, kisut laksana kulit jeruk nipis yang ditimpa sinar matahari seharian.
”Sumpah Juf, aku nggak bohong. Mobil itu selalu datang di mimpiku belakangan ini. Lha apa nggak aneh toh, setiap mimpiku selalu ada mobil merahnya?”
”Tapi kok ya selalu ada si Yeti?”
”Lha mungkin saja itu pertanda baiknya!”. Bola mata Hasim membesar.
”Lantas?”
”Ealaaah.. kamu nggak ngerti juga. Gini lho Juf, dalam mimpiku itu, ketika aku sama si Yeti sedang melintasi jalan persawahan mobilnya tiba-tiba mogok. Aku lantas turun untuk memperbaikinya. Nah, disaat itu aku sempat melihat nomer pelatnya. Gitu.” Hasim merendahkan nada suaranya.
“Kamu mau juga ya sama si Yeti?” Jufri masih dengan wajah kulit jeruk nipisnya.
”Ealaah gusti!. Ya enggaklah. Mosok aku mau sama si Yeti, lantas kamu gimana?”
”Gini lho Juf, nomer yang aku lihat itu cuma buntutnya saja.” Hasim menambahkan demi dilihatnya wajah Jufri yang berubah cerah.
”Buntutnya saja?”
”Ya Juf.”
”Wah, kalo gitu kita pasang saja nomer buntutnya.”
”Tapi Juf, kita harus yakin betul dulu.”
Terik matahari sudah berkurang semenjak tadi. Cahyanya yang cemerlang telah meredup berubah lebih kelabu. Surau di pojok desa sejak tadi telah benderang oleh lampu petromaks sumbangan Pak Samir.
Surau itu sudah hampir setua usia pohon beringin yang menaungi pekuburan umum pedukuhan Totori. Di bulan-bulan penghujan, pedukuhan Totori senantiasa ramai dikunjungi badai-badai dingin yang berat ditunggangi air hujan. Dan di saat seperti itu tulang belulang surau pedukuhan Totori yang goyah berderit-derit laksana cicit tikus di pelabuhan Labuang.
Untunglah Surau ini memiliki Pak Samir. Sosok ringkih yang sudah hamper sama goyahnya dengan tiang surau yang paling goyah. Pak Samir menunaikan ibadah hajinya dua puluh empat tahun silam, di masa itu keluarga Aminullah, mendiang ayah Pak Samir, masih merupakan keluarga berpunya. Namun semenjak keluarga ini, seperti halnya juga puluhan orang di pedukuhan Totori, terjangkit wabah pes, terkuraslah hartanya untuk mengobati penyakit itu. Ah, penyakit pes tentu tidak akan menguras habis seluruh harta keluarga Aminullah yang terdiri dari puluhan ekor sapi dan beberapa hektar sawah.
Namun Pak Aminullah adalah seorang penderma sejati, dibawanya empat puluhan warga kampungya itu untuk berobat ke kota Labuang yang berjarak 120 kilo dari pedukuhan Totori yang koyak. Sontak terjualah setengah dari sapi-sapi itu. Dua tahun sesudah wabah pes yang sial melanda pedukuhan Totori, Pak Aminullah berpulang, meninggalkan anaknya Samir yang belum pula didekatkan jodohnya. Ya, Pak Samir belum menikah hingga usianya yang ke enam puluh tujuh.
Pak Samir, seperti halnya mendiang ayahnya, menolak dipanggil Pak Haji atau Pak Kyiai walaupun sesungguhnya dia lebih dari pantas untuk menyandang gelar kehormatan semacam itu. Sepeninggal ayahnya, Pak Samir serta merta ditunjuk secara aklamasi untuk menakhodai surau Totori. Tak kurang dari tujuh belas sajadah dan tiga buah lampu petromaks telah disumbangkan Pak Samir selama masa baktinya. Petromaks dan sajadah-sajadah itu senantiasa ramai digunakan pada malam-malam Jumat, seperti halnya malam ini, di mana Pak Samir secara rutin memberikan wejangan kepada anak-anak muda pedukuhan Totori.
”Nah anak-anakku sekalian, sekali lagi Bapak tegaskan, percaya kepada bisikan-bisikan syaitan seperti itu adalah dosa yang teramat sangat besar. Itu sama saja dengan mempersekutukan Tuhan.”
”Jadi Pak, percaya kepada Jaelangkung juga itu syirik toh?” Suara Jufri terdengar tertahan dari saf tengah.
”Iya nak, itu dosa besar sebab mempercayai apa-apa selain yang datangnya dari Allah itu adalah haram.” Dengan penuh kesabaran untuk ketiga kalinya Pak Samir menerangkan hal yang sama setelah sebelumnya dengan panjang dan lebar meladeni pertanyaan Hasim dan Musdi tentang Jaelangkung.
”Lantas bagaimana dengan percaya pada tafsiran mimpi Pak?” Hasim bertanya dengan nada cemas.
”Nah, kalau mimpi itu bisa saja benar nak. Tergantung dari mimpi semacam apa. Nabi-nabi dahulu kala juga sering mendapati firman-Nya lewat mimpi-mimpi.” Sejurus kemudian penghuni surau kembali senyap mendengarkan cerita tentang nabi-nabi yang bermimpi-mimpi aneh. Mimpi-mimpi yang pada awalnya tidak dipercayai bahkan oleh para sahabat nabi-nabi itu, hingga pada akhirnya mimpi-mimpi itu sekonyong-konyong menjelma menjadi kenyataan.
”Nah Juf, Mus, sekarang kalian dengar sendiri. Ada juga mimpi yang memang berupa ilham.” Hasim berusaha meyakinkan kedua rekannya yang kini duduk bernaung di bawah cahaya petromaks surau yang kian redup. Dibalik bilik surau, terdengar percikan air dari pancuran bambu, meningkahi gerakan goyah Pak Samir yang kini tengah berwudhu.
”Tapi Sim, Jaelangkung itu dilarang” Jufri menimpali dengan setengah hati.
”Bagaimana menurutmu Mus?”
”uh..” Musdi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Sekali-kali tak apalah. Toh kita cuma mau menanyakan nomer buntut yang memang sudah diilhamkan ke mimpinya si Hasim, ya toh?” Musdi melanjutkan.
”Nah. Kalo gitu malam jumat depan kita ke Jere!” Hasim menepuk pundak Jufri yang dibalasnya dengan memelas,
”Iya tapi si Yeti?”
”Ealah Juf. Si Yeti tetap milikmu lah.”
Yeti adalah anak Pak Du, Dukiman panjangnya. Pak Du tinggal di seberang persawahan pedukuhan Totori. Jalan di depan persawahan adalah jalan beraspal, jalan yang menghubungkan pedukuhan Totori dengan Ibu Kota Kabupaten Labuang yang memiliki kapal-kapal besar.
Banyak orang Totori yang diangkut kapal-kapal besar itu, entah ke mana. Mereka tak lagi pulang ke pedukuhan Totori setelah menaiki kapal-kapal itu. Kabar tersiar mereka bekerja pada saudagar-saudagar kaya di negeri yang jauh-jauh.
Kehidupan Pak Du tergolong biasa-biasa saja hingga beberapa bulan lalu. Sejak dia menjadi bandar togel, perlahan-lahan ekonomi keluarganya mulai membaik. Togel telah berubah menjadi candu bagi warga melarat di sepanjang Kabupaten Labuang, tak terkecuali bagi mereka yang tinggal di pedukuhan Totori ini.
Orang-orang diimingi rejeki instan dengan cara menebak nomer togel yang untuk memperoleh kesempatan menebak-nebak nomer-nomer itu orang harus membayar seribu perak untuk dua nomer dari empat nomer yang setiap harinya diumumkan dari kabupaten. Berhembus kabar bahwa di kampung anu si anu berhasil menebak keempat nomer togel dan memenangkan hadiah uang tiga juta!. Orang-orang Totori menjadi bergairah, berlumba-lumba bertaruh untuk nomer togel keluaran berikutnya.
Bagi Pak Samir, wabah togel tak ubahnya seperti wabah pes. Orang-orang Totori menjadi sakit jiwanya oleh wabah togel ini. Mereka menjadi percaya pada hal-hal takhyul seperti jaelangkung demi mendapatkan nomer buntut itu. Pikiran orang-orang ini menjadi kisut seperti wajah Jufri ketika mendengar si Hasim memboncengi si Yeti di mobil merah dalam mimpinya itu.
Ah ya, hal lain yang membuat Pak Samir khawatir adalah bahwa orang-orang Totori kini lebih senang tidur dari pada bangun dan bekerja. Mereka memimpikan mimpi yang dapat menunjukkan nomer-nomer buntut. Tersiar pula kabar bahwa di kampung anu kerbau si anu mati terjerat talinya sendiri oleh karena si anu itu sibuk tidur sewaktu mengembalakan ternaknya. Wabah ini harus dihentikan, Hasim, Jufri dan Musdi harus segera ditolong seperti ketika dulu Pak Aminullah menolong empat puluhan warga pedukuhan Totori dari sakit pes.
Bulan tiga belas malam pucat pasi mengintip dari balik bukit. Dari seberang sawah, kilau daun beringin yang rimbun memantulkan cahaya bulan yang pucat itu ke segenap penjuru. Udara awal malam ini terasa lebih lembab sebab sebentar lagi Totori akan memasuki musim penghujan. Di bawah beratnya udara malam dan lesunya sinar bulan itu tiga orang pemuda bergegas melalui persawahan pedukuhan Totori yang kini tanahnya mengeras dan pecah-pecah. Pepohonan yang meranggas di sepanjang pematang seolah mengutuki kemarau yang melanda. Ketiga pemuda itu terhenti di ujung pematang sawah. Jere, tanah pekuburan warga kini terbentang di hadapan mereka.
Di tengah tanah pekuburan itu berdiri gagah sebatang pohon beringin tua. Tak ada lagi orang Totori yang tahu pasti usia beringin itu. Konon di bawah pohon beringin itulah sejumlah orang Totori menemui ajalnya di tangan tentara pendudukan Jepang. Batangnya yang seukuran pelukan empat orang dewasa dan akarnya yang rata-rata melampaui tinggi manusia senantiasa menjadi pusat kepercayaan masyarakat pedukuhan akan adanya mahluk-mahluk mistis. Tanah di sekitar beringin itu gembur dan lembab. Batu-batu nisan ada disana-sini. Ini adalah tanah pekuburan masal sejak dulu kala. Entah sudah berapa banyak orang yang bersemayam disini.
Musdi tertegun. Bulu kuduknya berdiri tegak kini. Badanya yang gempal menggigil dibalik sarungnya yang tipis dan penuh tambal.
”Ayo Mus, nggak perlu takut” Hasim menyemangati walaupun jelas dari suaranya dia juga berasa kecut.
”Kamu yang duluan, inikan ide mu to?” Musdi tidak lagi dapat menyembunyikan kecut hatinya.
”Ya wes..” Hasim pun mengambil langkah pertama.
Tanah kuburan terasa gembur dan dingin di kakinya yang tak beralas. Angin malam sekilas menyapu pucuk pohon beringin. Gemerisik dedaunan terdengar sayup. Langkah Hasim tiba-tiba tertahan oleh hentakan di sarungnya.
”Ada apa lagi?” Kali ini Hasim tak dapat menyembunyikan suaranya yang bergetar oleh perpaduan nada kesal dan takut.
”Lha kamu lupa dengan adab masuk tanah pekuburan ya?. Seperti kata Pak Samir, kalau mau masuk tanah pekuburan kita harus mengucapkan salam kepada penghuninya. Biar nggak diganggu!” Jufri yang sejak tadi diam saja kini angkat bicara, suaranya sedikit panik.
”Ah ia. Nyaris saja.” Musdi menimpali.
”Tiga kali Sim, tiga kali, jangan lupa!” Suara Jufri Lirih.
”Assalamualaikum yaa Ahli Qubur!” Hasim berucap salam dengan suara bergetar.
”Assalamualaikum yaa Ahli Qubur!” Kali ini suaranya lebih tenang. Angin kembali berdesir ditimpali suara dedaunan yang berbunyi gemerisik perlahan. Udara semakin berat menyelimuti ketiga pemuda itu.
”Assalamualaikum yaa Ahlil Qubr!!” Hasim menyudahi salamnya yang ketiga. Suasana seketika menjadi lengang. Udara yang dingin menyapu lagi. Kali ini udara itu membawa bebauan yang sangat mereka kenal. Bau kemenyan menyeruak dari balik dinginnya udara malam.
“Wa Alaikum Salaam Ya Ahli Dunia!” Suara lemah namun jelas tiba-tiba menyahut dari balik akar pohon beringin.
Hasim berasa tenggorokannya tersekat, Musdi memekik dan sejurus kemudian ketiganya lari tunggang-langgang kearah persawahan pedukuhan Totori. Di belakangnya mereka meninggalkan kepulan debu dan bayangan pohon beringin berhantu itu. Sejurus kemudian, dari balik akar pohon beringin menyala sinar lampu senter yang segera disusul sosok ringkih Pak Samir yang terkekeh-kekeh berjalan meninggalkan halaman pekuburan.
Penulis:
Surya Ningrat Datunsolang.