Menu

Mode Gelap
 

Cerpen · 28 Jan 2023 17:24 WITA ·

Cerpen | Perjalanan Spiritual


 Cerpen | Perjalanan Spiritual Perbesar

Hari ini cuacanya begitu cerah, meski sinar mentari tak terlalu menyayat menusuk kulit sih pria yang bentuknya kagak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ya, meski kulitnya hitam pekat, matahari pun masih memilih-milih kulit siapa yang akan dia hanguskan. Pria itu bernama Angga, ia merupakan pemuda yang gemar travelling dan juga mendaki gunung. Setelah mengamati kembali catatannya, Angga sadar rencananya kali ini suci dan terarah, tidak seperti dihari-hari kemarin yang berantakan kayak muka mantan pas bangun tidur. Sambil duduk, ia berencana ingin menambahkan catatan di buku sakunya yang sudah ditulisnya dengan pensil warna-warni: tempat-tempat spiritual. Ia berniat memberikan tajuk istimewa untuk petualangannya kali ini. Namun, sampai ojek yang menjemputnya akhirnya datang, tak ada satu ide pun muncul untuk dia tulis.

Ia tutup dan masukkan agendanya ke dalam tas ranselnya yang warnanya mulai memudar dimakan usia. Ia memutarkan pandangan. Botol plastiknya yang berisi air sudah kosong. Isinya berpindah ke perut kerempeng miliknya. Di sampingnya, tumpukan buku agenda dengan tempelan kertas menyembul di sana-sini sudah diikat tali plastik. 

Di halaman, Bapak-bapak tukang ojek yang usianya sudah tak lagi muda yang menjemputnya bertanya dan memastikan kembali lokasi tujuan mereka. Warung Sate Bu Narsi tujuan Angga memang tidak favorit. Ia suka warung yang sepi, yang bisa dimiliki seutuhnya, yang penjual dan dirinya bisa bercengkerama. Sayangnya, dengan demikian, warung-warung disekitarnya di ambang kebangkrutan. Di antara banyak yang gulung tikar seperti tercatat terperinci di buku sakunya, warung sate Bu Narsi itu salah satu yang masih bertahan sampai saat ini.

Sebelum pergi, Angga akan menemui sahabatnya, Rio. Di balik bungkuk Bapak ojek, ia mengamati perempuan-perempuan memakai mukena beriringan menuju masjid, seperti lilin-lilin besar yang mengarus pelan di sungai malam. Lilin-lilin itu membanyak dan menghangat di waktu dzuhur menjelang. Doa-doa dan harapan naik ke langit berduyun-duyun bersama aroma pisang goreng dan kopi hitam.

***

Pemuda, yang berkacamata tebal dan berambut gondrong, tengah menikmati sate kambing sebagai makanan pembuka ketika Angga sampai. Angga langsung duduk di sampingnya, tanpa salam bergabung menenggelamkan diri dalam kenikmatan sate.

”Gimana kabarnya? Bagaimana dengan proyek?” Rio membuka percakapan.

”Alhamdulillah, baik. Proyek sudah selesai. Aku membuatkan rangkuman keseluruhan disertasi ibu doktor bawel itu, mengantarnya ke penerjemah dan menyarankan beberapa jurnal internasional yang bisa disasar,” lanjut Angga, ”dan akan ada perayaan besar atas kesuksesannya. Di sebuah hotel bintang lima di Kota Gorontalo.”

”Kamu datang?”

”Mana mungkin. Aku itu bagian yang paling harus disembunyikan.” 

”Pasti juga tidak menarik. Aku cuma penasaran, bagaimana ibu itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penguji jika menulis disertasinya saja tidak,” komentar Rio.

”Itu bagian dari paket membayarku. Aku mempersiapkan prediksi pertanyaan dan jawaban-jawabannya.”

”Bahkan kamu belum menyelesaikan risetmu sendiri. Bertahun-tahun mondar-mandir di kampus seperti calo, mencari-cari orang malas.” Rio kembali mencibir dengan napas berbau kambing.

”Itu menyakitkan. Eh, musikmu pasti didengar banyak orang di Youtube. Orang-orang dari seluruh dunia. Selamat ya” Angga mengganti topik pembicaraan.

”Aku tak peduli. Lagian aku rasa musik itu kurang cocok untuk mengiringi filmnya.”

Rio adalah anak penguasa kebun karet di Palembang yang selalu kabur dan sembunyi, dan akhirnya nyasar ke Kota Gorontalo. Keseluruhan tubuhnya mencerminkan kemiskinan kecuali jika orang tahu kamarnya, yang penuh berbagai alat musik, menjadi studio kecil yang canggih, dengan ribuan buku terserak yang tidak bisa dibeli oleh satu dua lembar uang. Sehari-hari Rio meringkuk di dunia kecilnya itu, menenggelamkan diri dalam nada dan kata-kata. Sesekali Angga datang berkunjung jika kebetulan ia butuh buku, butuh teman, butuh makan, dan butuh-butuh lainnya. Mereka satu kelas, satu angkatan, dan satu pemikiran, terutama dalam hal menghindar dan menutup diri. Sesekali, orang dari luar mendengar ada pemuda tak butuh uang membuat musik apik. Lalu orang itu datang, membawa musik darinya, mempromosikan, mungkin juga dapat uang banyak. Kadang kala, Rio dapat juga bayaran besar, tetapi sering kali kontraknya berantakan. Dan ia cuma nyengir kuda sambil nyinyir seperti selalu. Dasar!

”Jadi, apa rencananya kali ini?” Rio langsung ke tema pertemuan.

”Kita pesan dulu saja. Aku yang bayar.” Angga percaya diri. Ia menghampiri penjual sate dan merunut pesanannya yang panjang sambil basa-basi ini itu. Dari caranya berpakaian, bertindak tutur, beramah-tamah, Angga tampak seperti time traveller yang lompat dari masa lalu. Di saat semua orang tenggelam dengan teknologi, ia bertahan dengan buku agendanya, pensil warna-warni, kliping, peta-peta, dan tulisan tangan bersambung miring. Jika ia mendapatkan pekerjaan, ia akan pergi ke perpustakaan kota atau pusat arsip, bekerja dengan hitungan jam yang tepat, sambil membawa laptop Acer yang berusia hampir sama dengan dirinya. Setahun terakhir dia mempunyai HP. Rio memberikannya paksa kepada Angga setelah mendapatkannya sebagai karyawan di salah satu percetakan. Sampai sejauh ini, Angga cuma bisa mengumpulkan kekayaan rencana dan bayangan-bayangan tentang perjalanan. Pengetahuannya tentang topografi Indonesia sangat mengejutkan. Di kamarnya yang kosong, buku agenda puluhan seri merekam jejak-jejak pengetahuannya itu.

”Sepertinya ini saatnya aku pulang kampung. Seperti Bang Toyib, tiga kali puasa tiga kali Lebaran tak pulang.” Angga mengaku sambil menunjukkan rute di agendanya. Rio melirik sekilas sebelum kembali mengamati siluet sawah yang ditimpali lampu dari jalan-jalan yang jauh. Mereka suka Warung Sate Bu Narsi karena posisinya yang nyelempit di lautan hijau sawah ini. Duduk di situ dan memandangnya kadang lebih nikmat dari butiran-butiran daging kambing muda yang kian tahun kian mengecil.

”Jadi, aku akan naik pesawat pulang ke kampung halaman ayahku, Makasar. Tiket kelas ekonomi sudah habis. Tersisa tiket kelas bisnis yang aku tak mungkin beli. Jadi aku memohon padamu belikan aku tiketnya. Di Makasar nanti, aku tinggal semalam di rumah teman. Dia sedang kesulitan dengan data tesisnya tentang masyarakat penghayat kepercayaan di sana yang terlampau banyak dan semrawut. Aku dimintanya membantu membuang sebagian data. Lucu sekali!”

”Jadi tetap bekerja di tengah-tengah perjalanan?” Rio memotong.

”Sedikit! Tapi itu tidak penting. Ini yang menarik. Dari Makasar sampai Kabupaten Gowa kampung halaman ayahku, kami akan naik sepeda motor. Temanku itu akan mudik ke rumah neneknya di Gowa juga. Aku dipinjami sepeda motor adiknya. Jadi kami mengendarai motor masing-masing. Kami akan makan  pallu kaloa, minum saraba dan makan coto. Klise sekali. Tapi sudah kutandai sebagai titik-titik spiritual.” Angga bersemangat sambil menunjukkan peta manual ciptaannya.

”Spiritual?” Rio kebingungan.

”Nanti kujelaskan. Dari Makasar, aku akan naik sepeda motor sampai Gowa. Ada pengamen yang mangkal di Terminal Capapa Bungaya, yang demi Tuhan, mengalahkan grup band pop mana pun yang kukenal. Aku mau dengarkan mereka.”

”Bukankah ini rangkuman dari rencana-rencana sebelumnya? Aku ingat perihal pulang kampung dengan sepeda motor menyusuri pantai. Atau perjalanan cita rasa menyusuri warung-warung desa. Atau perjalanan naik motor dari timur ke barat. Atau perjalanan susur sungai dari selatan ke utara.”

”Benar! Kau ingat semuanya, ya. Kau tahu, merencanakan perjalanan itu kenikmatan. Seperti sudah separo perjalanan itu sendiri.”

Rio mengangguk-angguk. ”Lalu mengapa spiritual? Apa karena mudik Lebaran seperti Bang Toyib kayakmu?” tanyanya.

”Bukan! Ceritanya panjang. Kamu suka nonton film tentang mafia?”

”Kadang-kadang. Dulu. Apa hubungannya?”

”Begini. Beberapa tahun lalu, ketika aku SMA tepatnya, ada seorang laki-laki paru baya yang berencana berbisnis kemiri. Datanglah ia ke pulau penghasil kemiri di timur Indonesia. Ia bekerja pada salah satu juragan kemiri di sana. Ia mempelajari seluk-beluk perkemirian. Ketika ia sudah paham, ia pulang ke Jawa dan mempelajari pasar kemiri. Ia bekerja pada salah satu distributor terbesar yang ternyata masih satu suku dengannya. Ia bahkan berhasil meyakinkan distributor itu tentang produsen kemiri kualitas bagus dan murah di timur Indonesia itu. Ia menghubungkan distributor itu langsung dengan produsennya. Mereka pun bersepakat. Laki-laki itu pun membawa uang distributor dan kembali ke pulau itu. Sebelum sampai, ia berhasil meyakinkan produsen kemiri itu untuk mengangkut satu perahu penuh kemiri ke lautan. Berton-ton. Sampai di sana, ia dan beberapa temannya membelokkan perahu ke rute yang lain. Rute yang misterius. Mereka menghilang. Lari bersama uang dan kemirinya. Seperti di film kan?”

Rio memandang Angga dan mencium kegetiran.

”Laki-laki itu ayahku. Distributor itu paman jauhku. Pamanku sempat menghubungi adik-adikku dan membuat mereka murung. Ia juga menghubungi ibuku dan membuatnya linglung. Ia bahkan datang ke rumah, mengambil apa yang bisa diambil. Awalnya kami menghindar dan bersembunyi di sana-sini, tetapi tak berguna. Mereka juga mengerti, mau diperas seperti apa pun, aku tak bisa mengeluarkan banyak uang. Yang aku dengar, produsen itu juga mengeluarkan sekelompok bajak laut untuk mengejar perahu ayahku. Sejak peristiwa itu, aku sempat ingin jadi anak nakal, minum dan bolos sekolah. Namun nakal pun butuh biaya, sementara kami bangkrut kering. Anak-anak nakal lainnya pun membuangku. Lalu timbullah ide lain di otakku. Aku mau menjadi pintar sekali supaya bisa pergi jauh. Dan menjadi pintar tak butuh banyak uang, saat itu. Bertemulah kita di kampus bahkan satu kelas pula. Aku menenggelamkan diri dalam buku-buku dan tidak pergi ke mana-mana selain dari kamar itu. Aku bekerja dari satu warteg ke warteg yang lain demi bisa makan gratis. Sesederhana itu. Di semester keempat, bacaanku cukup membuatku bertahan menjadi seperti yang sekarang. Aku bekerja dengan orang-orang pintar. Aku mulai bisa mematut diri dan rapi. Pada awalnya, aku masih menelepon ibuku, memastikannya baik-baik saja. Seperti anak yang normal, aku meminta uang. Tetapi sebelum aku bicara, ibuku sudah terisak. Setiap aku mau minta tolong, ibu dan adik-adikku merangsek dengan masalah berkali lipat. Aku berhenti menelepon mereka, tetapi juga penasaran setengah mati. Ratusan niat dan rencana perjalanan, puluhan yang sudah kususun lengkap diagendaku, adalah jejak dimana aku ingin sekali pergi, namun akhirnya bertahan. Aku tak sanggup pergi, selain juga, yah begitulah, uangku pas-pasan, kukirim berkala ke adik-adikku. Memang benar katamu, rasa kasih adalah kutukan yang menyamar.”

”Banyak sekali peristiwa dan sangat menyebalkan karena aku tak menduganya. Aku tahu kamu miskin, tetapi tidak mengira kamu lembut. Tapi apa hubungannya dengan titik-titik spiritual itu?” Rio melemahkan suara walau masih sinis.

”Begitulah. Aku pandai menyembunyikan semuanya. Kata ayahku, ada atau tidak ada uang, senang atau sedih, kita harus menunjukkan yang baik-baik supaya orang lain percaya dengan kemampuan kita. Dan tempat-tempat spiritual itu adalah titik kenanganku bersamanya. Dulu sekali, sewaktu ayahku masih hidup, ia jualan kayu sebelum kami pindah ke Gorontalo. Ia mengendarai Colt Bak menyusuri desa-desa pelosok di Gowa untuk melihat pohon-pohon kelapa milik warga. Aku menemaninya mengukur, memperhatikan caranya bercengkerama dan menawar, dan kami selalu kembali dengan kayu-kayu pohon kelapa terbaik. Kemampuan silat lidahnya tinggi. Kenangan itu yang membuatku jatuh cinta dengan perjalanan. Meskipun sakitnya sampai ke ulu hati, aku sadar punya kebahagiaan dengannya. Ada dirinya didiriku. Dan dirinya itulah yang menjadikan aku bertahan sampai sekarang. Sesuatu yang ingin aku buang, tetapi ternyata keras kepala menopang aku punya kehidupan. Menerima paradoks inilah yang menjadikannya spiritual.”

Rio kehilangan komentar. Ia mengamati catatan di agenda Angga. Dari jauh pengeras suara masjid melafalkan ayat suci mengalun timbul tenggelam digoyang angin.

”Apa judulnya?” tanya Rio.

”Ide judulnya baru saja muncul. Seperti nomor di agendaku, ‘perjalanan spiritual’. Perjalanan, bukan rencana.” Angga menjawab mantap.

”Pertimbangkan macet.” Rio menjadi dirinya lagi.

”Aku sudah mencatat rute-rute rahasia untuk menghindarinya.”

”Ibumu tahu?”

”Dia menangis saja ketika kukabari.”

”Uang untuk saudara-saudaramu?” Rio semakin mengusik.

”Ibu doktor itu memberiku banyak, cukup untuk saudara atau yang pura-pura jadi saudara.”

Rio bernapas lega. Angga tersenyum simpul. Dua piring sate merah segar pun terhidang.

Penulis,

Herman Dunggio

Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

ODI PURWANTO : “Seniman Beladiri yang Mendapatkan Banyak Sabuk Kehormatan”

17 Maret 2025 - 22:56 WITA

KICKBOXING DARI AKAR KUNO HINGGA RING MODERN

6 Maret 2025 - 19:04 WITA

Ilustrasi petarung Kickboxing (sumber : pinterest)

SJL-MAP : Kami Titip Bolmut di Tangan Bapak

28 November 2024 - 04:25 WITA

Puan: Penantian yang Jauh Lebih Panjang dari Ukuran Waktu

24 November 2023 - 02:45 WITA

Apakah Matematika Sebagai Standar Kepintaran?

26 Maret 2023 - 19:36 WITA

Sedikit Catatan Tentang Sejarah Kerajaan Kaidipang Besar

11 Maret 2023 - 13:08 WITA

Trending di Esai