Cerita di Sela Banjir, Pemadaman Lisrik dan Perilaku Kita Manusia

4 min read

Foto Usato (berarti saudara dalam term Bintauna) Zainuddin Pa’i


Kali ini, hujan hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam untuk merendam Kota Manado, yang disusul dengan tanah longsor di beberapa titik rawan. 

 

Sejauh ini, ini adalah banjir terparah sampai memakan korban jiwa akibat tanah longsor. Di Perkamil, Jl. Manguni 19 misalnya, tiga orang meninggal akibat tanah longsor. Kalian dapat menjumpai lewat sejumlah video yang beredar di medsos, bisa dipastikan warga terdampak bencana mengalami kerugian material yang cukup parah. pun sudah begitu, kabarduka dimana-mana. “Banjir kali ini lebih parah dari minggu sebelumnya”, ucap seorang warga.  


Bersamaan dengan itu tiba–tiba listrik penduduk dipadamkan PLN. Mungkin karena lokasi belakang kantor PLN Sario mengalami kebanjiran sehingga pemadaman perlu dilakukan. wajar, memang daerah ini menjadi salah satu titik banjir yang cukup parah.


Setelah pemadaman dilakukan, seketika Manado seperti kota mati. Hanya ada lampu kendaraan yang lalu lalang dijalanan, sisanya gelap gulita. Tambah lagi awan mendung dengan hujan yang masih saja turun, membuat situasi semakin mencemaskan.


Orang membutuhkan penerangan cahaya, itu pasti, apalagi disaat bencana banjir seperti ini, tapi PLN akan berpikir dua kali untuk hal itu. Pasalnya, membiarkan mesin energi listrik tetap menyala sementara lokasi belakang kantor menuju tenggelam adalah langkah beresiko bagi PLN.


Saya tinggal tepat di depan pusat kawasan barang dan jasa. Jika anda pernah mengunjungi Manado Town Square (mantos), Manado Trade Center (mtc) atau Megamall – untuk menyebut beberapa – berarti anda pernah melewati rumah saya. Terakhir kawasan ini cukup viral di medsos karena peristiwa gelombang laut yang tinggi.


Pemadaman listrik terjadi cukup lama. Umumnya, yang dipikirkan lebih dulu ialah segera mencari lilin atau sumber cahaya lain, tapi saya yakin, bagi ‘generasi merunduk’ yang setiap waktu hidup dengan telepon genggam tentu bukan itu. Yang pertama muncul dikepala mereka adalah menjaga handphone tetap menyala.


Begitu pula saya, berhubung hujan mulai berhenti, secepatnya saya menyalakan mesin motor dan pergi mencari api, ehh, maksudnya mencari lokasi sumber daya, untuk apa? Seperti yang saya bilang, untuk menjaga handphone tetap menyala. Waktu itu dipikiran hanya terlintas satu tempat, dimana lagi kalau bukan warung kopi.


Fix, pergi ke warung kopi bukan untuk ngopi tapi mengisi daya HP mungkin alasan yang cukup masuk akal.


Sudah 15 menit keliling, warung kopi yang saya temui semuanya tutup. Saya coba ke wilayah manado utara lewat jembatan soekarno (jembatan yang menghubungkan pusat kota dengan wilayah utara manado), namun saya tidak menemukan apa-apa selain gelap gulita.


Saya lupa ini pemadaman total, artinya semua wilayah di Manado tentu mengalami mati lampu (baca: pemadaman listrik). Kalaupun ada yang buka, mungkin ia bertahan dengan bantuan energi dari genset atau sejenisnya. Tapi kepalan tanggung, keinginan mengisi daya HP sudah di ubun-ubun. Layar sudah terkembang, pantang pulang sebelum menang. Ahhhh


Dengan semangat 45 motor terus dipacu. Akhirnya saya menemukannya juga. Warung kopi itu berada tepat dipinggiran jalan. Persis sekitar 100 meter dari jembatan megawaty. Namanya ‘Warkop 90’.

Ngomong-ngomong, jika kita berdiri tepat di jembatan megawaty dan memandang ke arah laut maka kita akan melihat pula jembatan soekarno yang saya maksud, lengkap dengan pernak pernik tiang pancang dan lampu jalan.


Lahh, ada Soekarno, ada pula Megawaty. Mengapa para mantan presiden ada disini. Bagaimana ceritanya? Jelas, itu hanya jembatan dengan nama, tidak perlu berlebihan.


Tetapi begitulah Manado, kita akan menemukan berupa nama dan symbol, seperti: Tugu Lilin, God Bless Park (GBK), Gedung Religi dll, meskipun seringkali kehilangan makna atau substansi. Substansi pencanangan manado sebagai kota do’a oleh pemerintah kota. Substansi do’a adalah harapan. Harapannya, Manado menjadi kota untuk semua kita. Maksudnya, menjadi kota yang melayani kita semua, bukan hanya segelintir elit atau kelompok tertentu.


Terpaku pada bentuk (symbol) lupalah makna. Semoga bukan hanya sekedar symbol. Mungkin lain waktu saya akan coba mengulas bagaimana perebutan ruang makna atas kota di bawah bayang-bayang perang symbol (symbol war).


Ahh, bicara apa sihh. Oke, kita kembali ke warung kopi dulu.


Seperti prediksi saya, warung kopi 90 bertahan dengan penerangan dari bantuan genset, makanya masih buka. Tanpa basa-basi saya langusng megeluarkan carger dan mencari colokan, sampai lupa memesan kopi. Tapi ini sudah malam, jika memesan kopi nanti susah tidur. Oke, malam ini jangan kopi. Pesan teh hangat saja kalau begitu.


Belum lama saya duduk, orang-orang mulai berdatangan dengan tujuan yang sama : mengisi daya handphone masing-masing. Bahkan ada yang membawa terminal colokan sendiri. Memang kebutuhan untuk menjaga handphone tetap menyala rasanya seperti sama dengan kebutuhan untuk makan.


Maksudnya begini.


Sekarang, handphone bukan lagi kebutuhan sekunder, tetapi telah menjadi kebutuhan primer. Seperti kebutuhan untuk makan misalnya, dengan makan anda bertahan hidup dan eksis. Posisi handphone pun begitu. Semacam versi plesetan dari digtum Decartes. Pokonya, jika aku (memiliki) handphone maka aku ada. Hehehe


Saya punya pengalaman berada di daerah tanpa akses jaringan sama sekali. Pertama di desa Jiko Belanga, Bolaang Mongondow Timur, kedua di desa Tobayagan Selatan, Bolaang Mongondow Selatan. Kedua daerah ini berada jauh dari ibu kota kabupaten. Orang-orang disana kebanyakan tidak punya handphone, buat apa punya handphone jika jaringan pun tak ada, kalaupun ada, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh, atau malah mendaki bukit, mereka percaya ditempat tinggi jaringan mudah di dapat.


Bagi warga di sana kehidupan seperti itu biasa saja, itu ‘normal’. Kata normal tentu dimaknai berbeda oleh mereka.


Jika dibandingkan dengan penduduk urban yang sehari-hari hidup dengan akses jaringan dan layanan internet. Mereka akan berpikir dua kali untuk berlama-lama disana. Kehidupan tanpa akses jaringan dan layanan internet bahkan akan dianggap tidak ‘normal’.


Tiga hal yang perlu diperhatikan: jaringan, telephone genggam, layanan internet. Ketiga hal ini memberikan perubahan perilaku sosial yang cukup fundamental dalam kehidupan zaman kiwari.


Ini bermula saat dunia mulai mengenalkan telepon pintar atau smartphone. Mulanya handphone atau telephone genggam ‘zaman old’ hanya berfungsi untuk menelepon dan mengirim pesan singkat (sms).


Nah, pada smartphone tidak hanya itu.


Smartphone dilengkapi dengan fitur-fitur terbaru dan fasilitas layanan internet, seperti yang ada ditangan anda saat ini. Dengannya, kita bisa mengakses apa saja dan bertemu dengan siapa saja. Adanya fitur video call misalnya, bisa membuat anda ngobrol ambal tatap muka. Hal yang tidak bisa ditemukan pada jenis handphone zaman old.


Selain itu, aplikasi sosial media berupa whatss app, facebook dan instragram juga turut memunculkan fenomena dunia baru atau apa yang sering kita sebut sebagai dunia maya. Dalam gawai berukuran telapak tangan manusia dewasa itu, kita bisa melakukan dan mengetahui apa saja. Seketika dunia bisa dilipat dan berada dalam genggaman kita.


Tanpa kita sadari kemudahan-kemudahan semacam itu turut menciptakan ketergantungan. Ketergantungan akan informasi dan memberikan informasi. Kita menjadi objek yang mengkonsumsi informasi sekaligus subyek yang memberikan bahkan, mereproduksi informasi. Hal ini terpola setiap hari dan menjadi kebiasaan.


Kita tidak hanya membutuhkan telepon untuk sekedar menelepon atau mengirim pesan singkat. Kebiasaan perilaku seperti di atas akhirnya mendorong kita untuk membutuhkan sesuatu yang lebih dari telponan dan sms-an, yaitu kebutuhan akan akses layanan internet. Sehingga kuota internet lebih penting daripada pulsa biasa. Pada konteks ini, sebagus apapun smartphone yang anda miliki, tanpa kuota internet, barang itu tidak berarti apa-apa.


Sampai disini hal ini mungkin terasa biasa saja. Manusia ‘modern’ mengalami ketergantungan informasi itu fenomena biasa. Tetapi bagaimana jika hasrat untuk memenuhi kebutuhan informasi malah mengendalikan manusia? bukan sebaliknya. Atau bagaimana jika teknologi informasi menjadi kendali atas diri manusia: dimana manusia kehilangan independensi atas pilihan-pilihannya sendiri.


Kalaupun ada pilihan, pilihan tersebut sudah disediakan oleh sistem yang berada diluar kendali manusia. Sejenis independensi setengah hati, atau dalam istilah Heidegger ia disebut forced freedom: kita punya independensi memilih tapi pilihan kita sudah disediakan.


Anggaplah media sosial sebagai sistem yang berada diluar kendali manusia, yang menyediakan berbagai informasi apapun yang dibutuhkan manusia, dan sebagai konsumen informasi, manusia menggunakannya sebagai dasar perilaku hidupnya. Dimana manusia berpikir dan bertindak berdasarkan apa yang dilihat, dibaca dan dimaknai dari media sosial.


Persoalnnya, apa yang dimaknai itu belum tentu benar. Apalagi, sebagaimana kita ketahui hari ini, kebenaran di media sosial sudah bergeser dari kualitas menjadi kuantitas. Maksudnya, ukuran kebenaran bukan lagi didasari oleh validitas data, melainkan oleh banyaknya viewers, like, subscribe dan komentar.


Artinya, perubahan perilaku sosial manusia bisa dikendalikan oleh sistem diluar dirinya (medsos), yang belum tentu benar. Ini yang rumit.

Tak terasa hari sudah larut, saya mendapat kabar listrik dirumah sudah menyala, tanda bahwa situasi sudah mulai kembali stabil. Secepatnya saya menyalakan mesin motor, dan langsung tancap gas kembali pulang dengan daya handphone yang terisi penuh.


Lumayan lah yahh. hehehe


Penulis:

Zainuddin Pa’i

    

 

    

Ramadhan dan Bola Api

www.terasinomasa.club Selepas shalat tarawih saya dan kaka tertua, duduk berbincang di depan Rumah tempat di mana kami bermain dulu. Di tempat itu, yakni sebuah...
admin
2 min read

LONG-LONG : Mainan Tradisional Bulan Ramadhan yang Hilang di…

Ilustrasi, Teras Inomasa Salam sejahtera sahabat TI, dan apa kabar kalian semua, semoga semuanya senantiasa dalam kondisi sehat wal afiat, dan terus dapat melakukan...
admin
3 min read

Tradisi Masyarakat Muslim Bolaang Mongondow: Awal dan Akhir Ramadan

Sumber foto dari penulis  Bulan ramadan adalah bulan suci yang penuh berkah dan ampunan bagi umat Islam. Datangnya bulan suci ramadan selalu disambut antusias...
admin
3 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *