Menu

Mode Gelap
 

Headline · 30 Sep 2022 06:02 WITA ·

Catatan September: Sebuah Refleksi atas Peristiwa Berdarah G 30 S


 Catatan September: Sebuah Refleksi atas Peristiwa Berdarah G 30 S Perbesar

“Tidak ada kematian yang sia-sia, begitu juga dengan kematian 6 Jenderal dan 1 Perwira ditanggal 30 September. Mereka mati atas nama bangsa Indonesia.” –Herman Dunggio

Benarkah PKI yang paling bertanggung jawab atas peristiwa berdarah 30 september itu?

PKI adalah partai yang berniat mendirikan negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus buku, yang menggalang pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-organisasi pesaingnya. Namum sejarah mencatat bahwa PKI merupakan organisasi berbahaya dan terlarang. 

Tetapi saya tidak dapat mengerti bagaimana orang-orang dapat membenarkan cara partai tersebut ditindas, kebohongan-kebohongan propaganda negara untuk memicu kekerasan, penangkapan masal tanpa dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan berkepanjangan tanpa pengadilan, penghilangan paksa dan pembunuhan kilat. Sekarang, setelah 57 tahun berlalu, kita seharusnya sudah mampu berhenti berpikir semata-semata dalam kerangka dikotomis tentang peristiwa-peristiwa tersebut, seakan-seakan tiap kritik terhadap kisah rezim Suharto hanya dapat didorong oleh kecintaan terhadap PKI. Dan jika kita bersedia berpikir jernih tentang pertanyaan siapa yang harus bertanggung jawab atas G 30 S maka kita harus menelisik apa yang sesungguhnya terjadi pada awal Oktober 1965 tersebut.

Di masa sekarang, peristiwa bersejarah ini memberikan banyak pembelajaran bagi generasi muda. Pemutaran ulang film G-30-S oleh beberapa stasiun TV memang penting sebagai pengingat sejarah terutama untuk generasi milenial serta tidak menjadi polemik berkepanjangan di masyarakat. Penayangan film ini merupakan hal penting karena peristiwa G-30-S sudah menjadi bagian sejarah bagi bangsa, sehingga pemerintah perlu memiliki satu suara dalam menunjukkan bahaya dari komunis, dan gambaran bahwa tidak berlakunya sistem komunis di Indonesia.

Namun daripada itu, peristiwa Gerakan 30 September PKI atau G-30-S merupakan peristiwa sejarah yang tidak mudah diuraikan secara sederhana. Bahkan, sampai detik ini, tidak ada yang benar-benar mengerti tentang kebenarannya. Jejak sejarah yang tersaji dalam buku, artikel, jurnal, film, maupun sumber literatur lainnya hanyalah sebuah spekulasi yang tersusun atas kronologis tak pasti. Bahkan, tak jarang menimbulkan kontradiksi satu sama lainnya. 

Salah satu faktor kuat tentang mengapa rekonstruksi sejarah tentang G-30-S tak kunjung tuai konsensus di kalangan akademisi, sejarawan, maupun tokoh intelektual lainnya adalah karena adanya simpul-simpul peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Beberapa diantaranya adalah dieksekusinya Aidit tanpa proses, dilengserkan nya Soekarno atas dugaan keterlibatannya dalam G-30-S yang juga tanpa keputusan pengadilan tentang keterlibatan atau ketidak bersalahan Soekarno. Surat Perintah Sebelas Maret, sebuah naskah kontroversi yang dinyatakan hilang, seolah hanya menjadi diksi guna mengkudeta Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Kabar Mengenai Keterlibatan Soekarno

Dengan keterlibatan Soekarno, dimunculkan dari transkrip pengadilan terhadap salah satu ajudan presiden, Kolonel Bambang Widjanarko yang membuat pengakuan bahwa Soekarno telah menitipkan nota kepada Letnan Kolonel Untung pada malam sebelum kejadian, bahwa antara presiden dan para asistennya terjadi pembicaraan tentang perlunya penindakan terhadap pimpinan Angkatan Darat yang tidak loyal atau cenderung menyabot kebijakan politik Soekarno perihal konfrontasi dengan Malaysia. Sinyalemen ini, menunjukkan bahwa Soekarno menyadari adanya rencana gerakan melawan pimpinan Angkatan Darat. Menyadari hal ini, PKI kemudian melibatkan diri dan mengambil alih rencana tersebut menjadi gerakan untuk kaum komunis berasumsi kan restu dari penguasa yang akan menjadikan gerakan itu menjadi unggul secara moril.

Tuduhan akan keterlibatan Soekarno tentu memicu reaksi keras dari kalangan nasionalis dan Soekarnois. Kaum Naionalis cenderung mempercayai adanya ‘intervensi’ dan ‘konspirasi’ asing (barat) dalam menciptakan ‘percobaan kudeta’. Pendapat demikian mengacu pada statement Soekarno sendiri mereaksi G-30-S dalam “Pelengkap Nawaksara” tertanggal 10 Januari 1967 yang menjelaskan bahwa peristiwa G-30-S terjadi karena ‘keblinger’nya para pimpinan PKI, menunjukkan bahwa gerakan itu merupakan rencana pimpinan partai yang salah membaca situasi, bukan gerakan resmi partai. Selain itu, lihainya subversif Nekolim, yaitu sebagaimana Barat mungkin memprakondisikan krisis 1965 melalui agen-agen rahasia dan penciptaan rumor-rumor politik serta adanya oknum-oknum (militer) yang ‘tidak benar’, mereka memanfaatkan situasi itu untuk rencana-rencananya sendiri dalam mengeliminasi komunis dan menggerogoti kekuasaan Soekarno.

Sampai saat ini, argumentasi di atas masih menjadi rumusan paling meyakinkan didukung dengan beberapa penelitian mutakhir seperti ‘Dalih Pembunuhan Massal’ oleh John Roosa yang juga mencapai kesimpulan yang tidak jauh dari penjelasan Soekarno tersebut.

Menurut John Rosa dalam bukunya yang berjudul ‘Dalih Pembunuhan Masal’ itu ia mengatakan; PKI adalah sebuah partai dengan anggota kurang lebih tiga juta orang. Kalau pemerintah berniat bersikukuh bahwa “PKI” mengorganisasikan G-30-S, maka pemerintah harus mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang mengorganisasikan gerakan tersebut. Apakah tiga juta anggota partai secara keseluruhan bertanggung jawab? Ataukah sebagian? Atau hanya pimpinan partai? Untuk menemukan jawabannya, silahkan baca penjelasan lengkapnya dalam buku tersebut.

Berbeda dengan Kaum Nasionalis dan wacana yang berkembang di Indonesia, para pengamat Barat cukup terbuka untuk menguji ‘Hipotesis’ keterlibatan Soekarno. Mereka melihat, G30S bukan sebuah kudeta berkaitan perebutan kekuasaan secara total. Argumentasi ini didasari oleh sebuah kenyataan yang tak dapat dinafikan bahwasannya di Indonesia, golongan anti Soekarno termasuk para intelektual rata-rata berasumsi bahwa Soekarno ikut bertanggung jawab atas G30S dan situasi krisis secara umum yang mengakibatkan benturan. Mereka menganggap rezim Soekarno adalah pemerintahan tirani yang biasa melakukan penindasan terhadap lawan politik demi melanggengkan kekuasaan.

Mari sedikit mengulas pendapat Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa yang fenomenal dengan keteguhan dan independensinya membuat ia menjadi sebuah nama bersejarah dalam lingkungan mahasiswa sampai saat ini. Gie beranggapan bahwa kesalahan PKI terletak pada Avon turisme politik elit partai akibat terlalu bergantung pada Soekarno, sehingga ia melihat pembantaian ratusan ribu orang terduga komunis sebagai suatu tragedi kemanusiaan.

Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno

Kemunculan Soeharto sebagai tokoh sentral pasca G30S telah menimbulkan banyak spekulasi, terutama karena ia bukan kelompok inti perwira tinggi Angkatan Darat yang berpengaruh secara politis. Sejak pagi hari 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil keputusan bahwa gerakan Untung akan menjadi dasar kuat untuk melaksanakan pembasmian massal terhadap PKI. Mengingat Soekarno berada di Pangkalan Udara Halim, Soeharto menduga bahwa Soekarno menjadi salah satu inisiator gerakan penculikan para jenderal. Karena itu, Soeharto memutuskan untuk mengambil alih komando Angkatan Darat dan mengabaikan inisiatif Soekarno.

Mengingat Soeharto dan kelompoknya telah membulatkan pikiran untuk memperlakukan G-30-S sebagai tindakan makar, indikasi keterlibatan presiden sebenarnya sangat problematik. Karena itu ia beberapa kali mendesak Soekarno untuk menyatakan sikap mengutuk G-30-S dan PKI setelah keterlibatan partai dalam gerakan itu mulai terungkap. Akan tetapi Soekarno tidak bergeming dari pandangan politiknya mengenai kaum komunis dan kontribusi ideologi Marxisme secara umum terhadap perjuangan nasionalis meraih kemerdekaan.

Menyadari keteguhan sikap Soekarno, maka Soeharto mulai melakukan strategi dengan melekatkan paradigma ganda. Di satu sisi ia mengesankan bahwa presiden melindungi kaum komunis, namun disisi lain ia tidak mau membuktikan itu melalui pengadilan terbuka berdalih menghargai sang ‘Foundung Father’ dan tidak mau menciderai kaum Soekarnois yang mungkin akan mengakibatkan konflik horizontal yang lebih jauh.

Tetapi, jika sedikit memperhatikan logika politik praktis yang dimainkan Soeharto, maka sangat memungkinkan keengganan Soeharto mengklarifikasi peran Soekarno dalam G-30-S terkait kebijakannya yang ‘kontra-revolusi’ dengan melindungi PKI. Bahwa bisa jadi Soeharto sebenarnya sedang bermaksud merangkul sebagian pendukung Soekarno yang anti terhadap komunis seperti bekas pengikut Tan Malaka yang beralih menjadi pendukung Soekarno maupun kalangan nasionalis berlatarbelakang priyayi. Mereka berusaha menebar wacana bahwasannya G-30-S yang didalangi PKI merupakan upaya penggulingan kekuasaan terhadap pemerintah yang sah.

Hal ini jelas justru mengandung asumsi bahwa Soekarno tidak menjadi bagian dari G-30-S. Maka setidaknya dapat diambil sedikit kesimpulan yang muaranya dari nalar berfikir dan skeptisme bahwasannya tergulingnya Soekarno bukan karena keterlibatannya pada G-30-S, namun akibat Soekarno bersikukuh dengan pandangannya terhadap persatuan nasional antara ideologi-ideologi yakni Nasionalis, Islamis, dan Marxisme atau dengan kata lain Soekarno menjadi korban atau yang dikorbankan karena kesetiaannya pada idealismenya.

Namun dilain sisi satu-satunya pemimpin kunci G-30-S yang lolos dari regu tembak, yaitu Kolonel Abdul Latief, menolak menjelaskan G-30-S secara rinci. Ketika akhirnya diajukan ke depan pengadilan pada tahun 1978, sesudah bertahun-tahun dikurung dalam sel isolasi, ia juga tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan bagaimana mereka mengorganisasi G-30-S. Pada akhirnya pidato pembelaannya menjadi terkenal dan tersebar luas karena satu pernyataannya yang mengejutkan bahwa ia telah memberi tahu Suharto tentang gerakan itu sebelumnya. Arti penting pernyataan itu lalu menutupi kenyataan bahwa Latief tidak menceritakan barang sedikit pun tentang G-30-S itu sendiri. (Buku; Dalih Pembunuhan Masal G-30-S dan Kudeta Suharto, halaman 7, Oleh Johm Roosa)

Itulah, catatan di akhir september mengenai peristiwa G-30-S yang sampai hari ini kebenaran pastinya masih kerap menjadi tanda tanya. (?)

Penulis,

Herman Dunggio

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

ODI PURWANTO : “Seniman Beladiri yang Mendapatkan Banyak Sabuk Kehormatan”

17 Maret 2025 - 22:56 WITA

KICKBOXING DARI AKAR KUNO HINGGA RING MODERN

6 Maret 2025 - 19:04 WITA

Ilustrasi petarung Kickboxing (sumber : pinterest)

SJL-MAP : Kami Titip Bolmut di Tangan Bapak

28 November 2024 - 04:25 WITA

Puan: Penantian yang Jauh Lebih Panjang dari Ukuran Waktu

24 November 2023 - 02:45 WITA

REFLEKSI HARI PAHLAWAN : (Keteladanan Nilai – nilai Perjuangan Pahlawan)

10 November 2023 - 16:29 WITA

Refleksi 17-an: Bendera Partai Masi Lebih Tinggi dari Merah Putih

16 Agustus 2023 - 16:53 WITA

Trending di Opini