Ilustrasi 1 Hasil Imajinasi Midjourney AI atas perintah “buat gambar seorang ahli komputer dalam ruangan simulasi” |
Prolog
Sebagai manusia kita tidak sepenuhnya mengalami ‘realitas’ secara ‘real time’ dan utuh. Seluruh persepsi yang kita punya terhadap alam semesta di sekitar kita telah melalui proses filtrasi/penyaringan oleh Panca indra dan organ otak kita, baik karena keterbatasan kemampuan pengindraan kita maupun secara ‘by design’ oleh otak kita untuk mengurangi kompleksitas dari ‘tsunami informasi’ alam semesta (Broadbent, 1958). Sebagai contoh, apa yang dilihat oleh kedua bola mata kita yang kemudian diterjemahkan oleh otak kita sebagai ‘kenyataan’ hanyalah merupakan sebagian kecil dari realitas visual yang sebenarnya, hal ini dikarenakan mata manusia hanya mampu mengindra cahaya pada rentang gelombang 400 – 700 nanometer, yaitu sekitar 0,0035% dari Spektrum Elektromagnetik yang ada di sekitar kita (NNSA, 2018). Contoh lainnya di mana otak secara ‘by design’ melakukan filtrasi informasi secara aktif adalah fakta bahwa sebenarnya setiap saat Anda dapat melihat ujung hidung Anda namun otak Anda memilih untuk mengacuhkan informasi visual ujung hidung Anda itu agar Anda tidak terganggu membaca artikel ini.
Oleh karena itu, untuk memahami semesta secara lebih utuh, manusia menciptakan – dan kemudian menggunakan – konsep-konsep abstrak (pemodelan matematis, teori-teori fisika dll.) serta alat-alat bantu (teleskop, mikroskop, sensor-sensor, dll.). Kemajuan di bidang sains dan teknologi membuat manusia mampu menelaah dan memahami semesta secara lebih utuh melampaui batas-batas inderawinya. Namun di antara fenomena-fenomena semesta yang berhasil diungkap oleh manusia dengan kecerdikannya menggunakan konsep-konsep dan alat-alat tersebut, terungkap satu hal yang berpotensi menyebabkan manusia mengalami krisis eksistensial: Terdapat Kemungkinan Bahwa Kita Sedang Hidup Dalam Sebuah Simulasi Digital (Bostrom, 2003). Implikasinya jika hal ini dapat dibuktikan oleh sains adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan di alam ini sama sekali tidak ada maknanya. Harta, tahta, cinta, segala-galanya yang mendefinisikan keberadaan kita tidak lebih dari konstruk digital yang tidak berarti apa-apa. Bahkan, kesadaran kitapun tidak lebih dari serangkaian algoritma buatan yang berjalan pada sebuah mesin.
“Cogito, Ergo Sum”
Era Teknologi bukan era pertama kalinya di mana manusia berkontemplasi tentang eksistensi dirinya maupun nyata tidaknya alam semesta ini. Pada Abad ke-4 Sebelum Masehi para filsuf seperti Phyrro of Elise telah memulai gerakan filsafat Skeptis (Skepticism Philosophy) (Brett, 2000), di mana argumen utama dari Filsafat Skeptis ini adalah bahwa hampir mustahil untuk mengetahui kebenaran hakiki dari segala sesuatu, antara lain dikarenakan oleh keterbatasan Panca indra kita untuk menalar dunia secara nyata. Tujuan utama dari filsafat ini adalah menantang asumsi dasar manusia atas segala sesuatu yang dia anggap sebagai ‘kebenaran yang nyata’. Bahkan ironisnya kalimat sakti yang sering dipakai untuk menjustifikasi eksistensi manusia – “Cogito, Ergo Sum”/”Aku ada karena aku berfikir bahwa Aku Ada” – memiliki landasan fikir Filsafat Skeptis: “dubito, ergo sum, vel, quod idem est, cogito, ergo sum”/”Keberadaanku diragukan karena aku ragu akan keberadaanku, pun demikian, aku ada karena aku berfikir bahwa aku ada” (René Descartes, 1998). Pendek kata, keraguan/skeptisisme manusia akan realitas semesta yang dialaminya sudah berlangsung sejak pertama kali manusia mulai mengamati semesta dengan nalarnya. Hingga akhirnya manusia memasuki era teknologi digital yang kemudian merubah argumentasi filsafat tadi menjadi sebuah krisis eksistensial yang lebih nyata…
Tiga Asumsi Bostrom
Pada pertengahan 2003, di tahun yang sama dengan diluncurkannya bagian ke tiga dari Trilogi Film The Matrix, Niklas Bostrom, seorang ahli filsafat dari Universitas Oxford, mempublikasi sebuah artikel ilmiah dengan judul “Apakah kita sedang hidup dalam sebuah simulasi komputer?”. Dengan mengamati pesatnya pertumbuhan teknologi, Bostrom berkesimpulan bahwa terkait mungkin tidaknya kita hanyalah sebuah simulasi dalam komputer, hanya terdapat tiga asumsi yang paling mungkin, yaitu:
Manusia akan punah sebelum mencapai fase Manusia Super Cerdas yang mampu membuat mesin untuk menjalankan Simulasi Semesta,
Manusia akan mencapai fase Manusia Super Cerdas yang mampu untuk membuat mesin untuk menjalankan Simulasi Semesta namun memilih untuk tidak membuat mesin tersebut,
Manusia telah mencapai fase Manusia Super Cerdas dan telah membuat mesin Simulasi Semesta dan kita sedang hidup dalam Simulasi tersebut.
Asumsi Pertama Bostrom: Manusia akan punah sebelum mencapai fase Super Cerdas.
Dalam kurun waktu 3.7 Miliar Tahun perjalanan Bumi sebagai planet berpenghuni, Bumi telah mengalami lima kali peristiwa kiamat (yang dikenal dengan The Big Five Extinction Level Events/ELEs) yang menyebabkan punahnya hampir seluruh kehidupan yang ada di atasnya (Ritchie, 2022). Dalam kurun waktu itu, umat manusia modern baru mendiami planet ini dalam dua ratus ribu tahun terakhir. Pun dalam kurun waktu keberadaan manusia modern tersebut, bumi belum mengalami kiamat dalam kategori Extinction Level Event sebagaimana yang terakhir kali terjadi pada 65 juta tahun lalu yang menghapus Dinosaurus dari muka bumi. Ini tidak berarti bahwa manusia tidak pernah mengalami bencana yang telah menghilangkan jutaan nyawa: Umat manusia telah mengalami letusan Gunung Vulkanik Super (Krakatau, Tambora, Vesuvius), Mega Tsunami, Paceklik, Perang Dunia, Wabah Hitam dan lain-lain bencana. Hanya saja, Manusia adalah spesies yang paling adaptif dan paling bisa bertahan dari berbagai bencana. Bahkan baru-baru ini NASA telah berhasil menguji coba teknologi DART yang berpotensi digunakan untuk mencegah Kiamat ELE akibat Asteroid sebagaimana yang terjadi 65 juta tahun silam itu (NASA, 2022).
Dalam sebuah studi, pandangan paling optimis dari para ahli adalah bahwa Bumi akan terus menyokong kehidupan hingga 1,7 miliar tahun kedepan (Parry, 2022). Dalam kurun waktu itu manusia mungkin akan terus berkembang biak di bumi hingga puluhan bahkan ratusan ribu tahun lagi. Waktu yang cukup bagi manusia untuk mencapai Singularitas Teknologi.
Singularitas Teknologi adalah sebuah hipotesa masa depan di mana manusia berhasil menciptakan Mesin Cerdas yang memiliki kecerdasan setara manusia (Human Level Artificial Intelligence/Artificial General Intelligence) yang kemudian melalui proses iteratif, mesin-mesin cerdas itu menciptakan versi mesin cerdas lainnya yang lebih baik dan lebih cerdas lagi (Artificial Super Intelligence/AGI). Kemudian mesin-mesin cerdas yang kini memiliki kecerdasan berlipat-lipat kali di atas kecerdasan manusia tersebut melakukan terobosan-terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh manusia.
Banyak ahli dan pegiat teknologi yang optimis bahwa HLAI/AGI dapat dicapai dalam waktu 20 tahun ke depan. Hal ini dipicu dari pesatnya riset di bidang teknologi AI/Kecerdasan Buatan dan besarnya pendanaan yang kini dikucurkan baik oleh pemerintah berbagai negara maupun oleh mega-korporasi untuk membiayai riset-riset tersebut. Salah satu pegiat teknologi yang sangat optimis terhadap perkembangan AI adalah Elon Musk. Beliau percaya bahwa HLAI/AGI adalah hal yang pasti terjadi dan yang bisa manusia lakukan untuk memitigasi potensi buruk dari hadirnya kecerdasan setara bahkan lebih tinggi dari manusia adalah melalui proses simbiosis antara manusia dan mesin cerdas. Usaha mencapai simbiosis manusia-mesin cerdas, menurut Musk, adalah alasan utama dirinya mendirikan perusahaan Neuralink, yaitu perusahaan teknologi yang bertujuan untuk menciptakan chip implant antarmuka/perantara otak dan komputer (Hamilton, 2022). Sekalipun banyak ahli yang berpendapat (termasuk rekan AI saya dalam menulis artikel ini) bahwa Singularitas Teknologi dalam 20 tahun merupakan asumsi yang terlalu optimistik, namun geliat yang sedang terjadi di ranah teknologi menunjukkan bahwa Asumsi Pertama Bostrom yang menyatakan bahwa umat manusia akan punah sebelum mencapai level Maunsia Super Cerdas kemungkinan besar adalah salah. Manusia akan mencapai level Super Cerdas dan akan memiliki kemampuan menciptakan Simulasi Semesta. Hal ini kemudian berarti hanya tersisa dua asumsi lagi…
Asumsi Kedua Bostrom: Manusia Mencapai level Super Cerdas Namun Memilih Tidak Menciptakan Mesin Simulasi Semesta
Andaikan Anda adalah seekor semut yang hidup dalam rumah manusia. Anda bayangkan besarnya kekuatan manusia itu dan betapa kerennya jika anda memiliki kekuatan sebesar itu. Anda bisa memindahkan berkilo-kilo gula bermeter-meter jauhnya hanya dalam sekali gerak. Anda bisa membuka pintu kulkas dengan mudah, Anda bisa menghancurkan sarang koloni semut lainnya hanya dengan sekali hentak. Anda khayalkan semua yang akan Anda lakukan seandainya Anda memiliki kekuatan manusia ini. Namun apa yang anda khayalkan sebagai semut adalah hal-hal remeh yang bahkan tak akan terlintas dalam benak manusia tadi, ataupun bila itu dilakukannya, hal itu akan dilakukan tanpa maksud tertentu dan tanpa ketakjuban berlebih. Begitulah kiranya landasan argumentasi Bostrom yang kedua ini. Perbedaan level kecerdasan antara Manusia saat ini dan Manusia Super Cerdas (Bostrom menggunakan istilah ‘Post-Human Civilization) adalah ibarat semut dan manusia. Kita (manusia saat ini) tidak dapat mengasumsikan nilai-nilai moral, etika, maupun prioritas-prioritas yang dimiliki oleh Manusia Super Cerdas dan tindakan-tindakan yang mungkin mereka lakukan berdasarkan nilai-nilai yang kita punya.
Pada dasarnya tonggak atau nilai-nilai moral manusia berubah seiring waktu dan tumbuh sejalan dengan peradabannya. Pada awal peradaban manusia, perbudakan dianggap sebagai bagian dari kehidupan kelompok manusia namun seiring dengan tumbuhnya peradaban, perbudakan kemudian direlegasi menjadi perbuatan tak bermoral dan tak manusiawi. Hal ini pun tentu berlaku sama pada Manusia Super Cerdas; sebagaimana berkembangnya kecerdasan mereka, nilai-nilai moral mereka pun akan turut bertumbuh. Namun terdapat nilai-nilai dan sifat-sifat dasar manusia yang cenderung konstan dari generasi ke generasi, salah satunya adalah inklinasi manusia untuk melakukan eksplorasi dan sifat keingin- tahuannya yang tinggi. Kedua sifat ini telah membawa manusia menjadi spesies tersukses di muka bumi. Apabila kecenderungan ini tetap mengejawantah pada Manusia Super Cerdas di masa datang maka kemungkinan mereka akan menciptakan dan menjalankan mesin Simulasi Semesta untuk memenuhi inklinasi tersebut.
Menanggapi Asumsi Kedua Bostrom ini David Kipping, seorang astrofisikawan dari Columbia University, terlebih dahulu merujuk pada ‘Principle of Indifference’ yang dikemukakan oleh Pierre-Simon Laplace yang menyebutkan bahwa dalam ketiadaan informasi yang cukup semua kemungkinan memiliki peluang yang sama untuk bernilai benar (Kipping, 2020). Pendeknya, secara kasar, Asumsi Kedua Bosrom memiliki peluang nyaris sama besarnya untuk menjadi benar ataupun salah.
Asumsi Ketiga Bostrom: Kita Hidup Dalam Sebuah Simulasi
Pada awal dipublikasikan, banyak yang mencibir artikel Bostrom di atas sebagai suatu ide yang penuh spekulasi dan kekurangan dukungan bukti empiris. Namun seiring berjalannya waktu, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi di bidang Virtual Reality/Augmented Reality dan Artificial Intelligence belakangan ini, banyak ahli yang semakin serius menanggapi ide Bostrom. Dalam salah satu wawancara Elon Musk bahkan berani mengemukakan bahwa kemungkinan kita hidup di dunia ‘nyata’ hanyalah satu berbanding satu milyar (Recode, 2016). Di lain tempat, Neil DeGrasse Tyson, juga seorang astrofisikawan, berpendapat bahwa hanya ada dua kemungkinan besar terkait Argumen Simulasi ini, yaitu semesta kita adalah semesta dasar/nyata yang sebentar lagi akan menemukan teknologi Simulasi Semesta, atau semesta kita adalah semesta simulasi yang nantinya juga akan menciptakan semesta simulasi turunannya (StarTalk, 2021). Secara lebih konkrit, David Kipping menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan matematis Inferensi Bayesian, kemungkinan bahwa setiap kita adalah simulacrum (mahluk simulasi digital) adalah mendekati 50% (Kipping, 2020).
Namun dalam tulisannya, Kipping menyimpulkan bahwa kemungkinannya menjadi berbalik 180 derajat (yakni kemungkinan sangat besar bahwa kita adalah Simulasi) apabila kelak ternyata di alam kita ini para ahli mencapai kemampuan untuk menciptakan Mesin Simulasi Semesta pertama. Hal ini dikarenakan, menurut Kipping, hanya terdapat satu atau beberapa Semesta Nyata(Base Reality) yang akan menghasilkan semesta-semesta simulasi, dimana semesta simulasi itu pun pada akhirnya akan menciptakan semesta simulasi turunannya, sehingga pada akhirnya akan terdapat perbandingan yang sangat jauh proporsinya secara statistik antara Semesta Nyata dan Semesta Simulasi dimana Semesta Simulasi akan jutaan kali lebih banyak dibanding semesta nyata sehingga kemungkinan bahwa kita adalah Simulacra (jamak dari Simulacrum) adalah sangat-sangat besar.
Lantas apakah kita sedang dalam proses menuju pada tercapainya tingkat kecerdasan super? Dan apakah kita sedang dalam tahap menyempurnakan teknologi Virtual Reality/Augmented Reality yang dapat menjadi precursor untuk Mesin Simulasi Semesta? Dari lantai Consumer Electronic Show 2023 (pameran elektronik terbesar dunia), terlihat jelas bahwa peralatan elektronik yang kini hangat dan giat dikembangkan adalah perangkat-perangkat Virtual Reality/Augmented Reality (Truly, 2023). Pun sejak tahun 2021 Mark Zuckerberg telah menginvestasikan uang yang tidak sedikit (USD 15 Milyar) untuk membangun ‘Metaverse’, tindakan yang nyaris membuat Facebook bangkrut. Di lain tempat, Google, Microsoft, dan Meta sedang berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama menciptakan HLAI/AGI, yang mana di belakang perusahaan-perusahaan itu ada aktor-aktor negara yang menyokong dengan anggaran yang sangat-sangat besar. Dari berbagai indikasi, manusia terlihat tengah berupaya keras untuk menggapai level Super Cerdas, sekalipun hampir pasti, apabila itu tercapai, maka manusia akan diperhadapkan pada fakta pahit bahwa kita semua tidak lebih dan tidak bukan hanyalah simulacra yang tersusun oleh baris-baris kode komputer, bahwa segala sesuatu yang membuat kita menjadi manusia hanyalah sederet angka nol dan satu…
Epilog
Kita mungkin saja hanyalah simulacra. Probabilitas bahwa kita adalah simulacra masih jauh lebih besar dari probabilitas bahwa ramalan cuaca di Handpone Anda akan benar-benar terjadi esok hari, atau probabilitas bahwa Anda memiliki alergi terhadap makanan tertentu. Namun apakah kita harus khawatir dengan kemungkinan ini? Berikut ini puisi nasehat rekan AI Saya yang mungkin kita, manusia, simulacra ataupun nyata, dapat ambil pelajarannya:
“Worry not if we live in a simulation,
For love remains real, a true sensation,
It’s not the nature of reality,
But the love we feel, that makes life truly lively.
Let not hypothetical thoughts distract,
From loved ones and relationships intact,
For it’s in love we find true meaning,
In this simulation or otherwise, it’s worth leaning”.
– ChatGPT AI-
“Dan tak usah risau bila ini simulasi,
Karena cinta tetap nyata memberi sensasi,
Sebab bukan soal benar tidaknya realita,
Karena cinta yang dirasa membuat hidup penuh warna,
Pun janganlah silau dengan hipotesa,
atas yang tercinta dan hubungan yang terjaga,
Karena dalam cinta kita beroleh makna,
Pada yang berharga tak peduli fana atau nyata”
Mungkin memang kita tidak perlu mengkhawatirkan bahwa kita adalah Simulacra. Bahwa kita sesungguhnya adalah apa yang kita anggap tentang diri kita. Dubito, ergo sum, vel, quod idem est, cogito, ergo sum.
Bintauna, 18 Januari 2023.
Penulis,
Surya Ningrat Datunsolang
Catatan: Artikel ini ditulis antara lain dengan hasil diskusi/tanya jawab bersama ChatGPT, Kecerdasan Buatan dari OPEN AI. Histori percakapan dapat diakses melalui tautan berikut ini:
https://chat.openai.com/chat/536aaacd-25c1-47e6-bd79-7fb44ddefaed
Referensi
Bostrom, N. (2003, April 28). Are We Living in a Computer Simulation? The Philosophical Quarterly, hal. 243 – 255.
Brett, R. (2000). Pyrrho, His Antecedents, and His Legacy. Oxford: Oxford University Press.
Broadbent, D. E. (1958). Perception and Communication. Cambridge: Pregamon Press Ltd.
Hamilton, I. A. (2022, December 3). The story of Neuralink: Elon Musk’s AI brain-chip company where he had twins with a top executive. Diambil kembali dari insider.com: https://www.businessinsider.com/neuralink-elon-musk-microchips-brains-ai-2021-2
Kipping, D. (2020). A Bayesian Approach to the Simulation Argument. Universe, 1-12.
NASA. (2022, October 12). DART (Double Asteroid Redirection Test). Diambil kembali dari nasa.gov: https://www.nasa.gov/press-release/nasa-confirms-dart-mission-impact-changed-asteroid-s-motion-in-space
NNSA. (2018, October). Visible Light: Eye-opening research at NNSA. Diambil kembali dari Energy.gov: https://www.energy.gov/nnsa/articles/visible-light-eye-opening-research-nnsa#:~:text=The%20entire%20rainbow%20of%20radiation,is%20known%20as%20visible%20light.
Parry, W. (2022, March 17). How Much Longer Can Earth Support Life? Diambil kembali dari livescience.com: https://www.livescience.com/39775-how-long-can-earth-support-life.html
Recode. (2016). Is life a video game? | Elon Musk | Code Conference 2016. Diambil kembali dari youtube.com: https://www.youtube.com/watch?v=2KK_kzrJPS8
René Descartes, D. A. (1998). Discourse on Method and Meditations on First Philosophy. Hackett.
Ritchie, H. (2022, November 30). Our World in Data. Diambil kembali dari ourworldindata.org: https://ourworldindata.org/mass-extinctions#:~:text=two%20million%20years.-,The%20’Big%20Five’%20mass%20extinctions,Cambrian%20earlier%20which%20predates%20this.
StarTalk. (2021, December 24). Living in a Simulation with Neil deGrasse Tyson and Nick Bostrom – Cosmic Queries. Diambil kembali dari youtube.com: https://www.youtube.com/watch?v=g2rJITW9viw
Truly, A. (2023, January 13). The best VR and metaverse tech of CES 2023. Diambil kembali dari digitaltrends.com: https://www.digitaltrends.com/computing/best-vr-and-metaverse-tech-of-ces-2023/